mardi 8 septembre 2020

SKEMA UMUM SEJARAH ISLAM DI INDONESIA

Mata Kuliah

Sejarah Indonesia Masa Islam  

SEJ619202 – 3 sks | Selasa | Pkl. 14.4016.40  Kelas B

Jurusan Pendidikan Sejarah FKIP Untirta

 


SKEMA UMUM SEJARAH

MASUK DAN BERKEMBANGNYA ISLAM DI INDONESIA

Diringkas dari berbagai sumber oleh

Moh Ali Fadillah


PERMASALAHAN

Penyebaran agama Islam merupakan peristiwa penting dalam sejarah Indonesia tetapi proses masuknya Islam ke Indonesia masih belum jelas. Pertama, permasalahan itu muncul antara lain disebabkan oleh terbatasan sumber (Snouck Hurgronje, 1907: Drewes, 1968: 434; Berg 1955: 112). Kedua asal-usul Islam di Indonesia, kapan, mengapa dan bagaimana penduduk Indonesia mulai memeluk agama Islam merupakan masalah yang belum men jawaban yang memuaskan. Selain pertanyaan di atas, juga penting untuk mendapat perhatian terkait dengan konsep dan definisi tentang Islam dalam studi sejarah, apakah Islam sebagai agama ataukah sebagai penganutmya, masing-masing cendekiawan mengkaji sejarah Islam dari perspektif berbeda: sosial, budaya dan juga politik (Azra, 2002: 17;  Ricklefs, 1992: 3).

PROSES ISLAMISASI

Secara geografis, posisi kepulauan Indonesia sangat jauh dari tempat kelahiran Islam di Timur Tengah, maka untuk memulai kajian sejarah Islam perlu memahami terlebih dahulu kondisi social dan budaya Timur Tengah di satu sisi dan juga perlu memahami latar belakang budaya dan social di nusantara  sebelum kedatangan Islam pada sisi lain. Perbedaan jarak dan kultural dapat mempengaruhi berbedaankarakter Islam di tempat perkembangannya.  Itu sebabnya ada pendapat bahwa di tempat lain masuknya Islam didahului oleh penaklukan, tetapi di tempat lain seperti di Indonesia dilakukan tanpa penaklukan (Azra, 2002:18). Menurut Snouck Hurgronje, proses Islamisasi yang terjadi secara damai adalah disebabkan oleh daya tarik agama Islam itu sendiri bagi masyarakat Indonesia (Berg, 1955: 112).

Proses yang terjadi di Indonesia berlangsung secara alami. Para para ahli menggambarkan hal itu melalui dua cara: Pertama, penduduk pribumi berkenalan dengan pendatang beragama Islam kemudian menganutnya. Kedua, para pendatang asing itu, dari berbagai tempat seperti Arab, India, Cina dan tempat lainnya, yang telah memeluk agama Islam bermukim secara permanen di satu tempat di wilayah Indonesia, kemudian berkeluarga dengan menikahi penduduk setempat. Dalam disertasinya Het boek van Bonang, B. Schrieke (1916) menguatkan bahwa selain kontak perdagangan, selanjutnya terjadi pula perkawinan antara  bangsawan Indonesia yang sudah beragama Islam dengan kerabatnya yang belum Islam atau antara bangsawan Indonesia yang belum Islam (perempuan) dengan tokoh ulama penyebar Islam (Berg, 1955: 113; Ricklefs, 1992: 3).

Namun pendapat itu tidak sepenuhnya diterima oleh ahli lain. Ricklefs misalnya, membenarkan bahwa proses Islamisasi tidak diawali dengan penaklukan, namun setelah sebuah kerajaan Islam berdiri adakalanya agama Islam disebarkan oleh kerajaan itu dengan peperangan ke daerah lainnya (Ricklefs, 1992: 21-2). Pendapatnya mewakili versi lain tentang proses Islamisasi di Indonesia, artinya proses penyebaran Islam di Nusantara tidak secara seragam dalam penerimaan Islam antara daerah satu dan lainnya. Perbedaan itu tidak hanya pada soal tahapan waktu, tetapi juga mencakup wilayah geografi dan budaya yang berbeda. Pada masyarakat pesisir yang bersifat terbuka, Islam dengan mudah diterima, sedangkan masyarakat di daerah pedalaman dengan budaya agaris lebih lambat menerima Islam karena masih memegang kuat kepercayaan lamanya.  Oleh karenanya keragaman bukan hanya dikarenakan distribusi geografis, tetapi juga latar belakang sosio-kultural, ekonomi, dan politik sehingga sulit merumuskan proses Islamisasi hanya dengan sebuah teori tentang konversi atau periodesasi umum untuk seluruh Indonesia (Azra, 2002: 18-20).

Untuk menjelaskan proses konversi dari satu agama ke agama yang lain, Azra mengambil pendapat Nock yang mendefinisikan penerimaan Islam sebagai agama profetik yang menuntut komitmen penuh, tidak memberikan kompromi bagi adanya jalan keselamatan yang lain. Tetapi sebagaimana kenyataan yang terjadi bahwa penerimaan Islam di Indonesia masih mempertahankan kepercayaan lama. Oleh sebab itu menurut Azra, penerimaan Islam di Indonesia lebih tepat disebut adhesi, yang artinya adalah konversi ke dalam Islam tanpa meninggalkan kepercayaan dan praktek keagamaan yang lama. Berdasarkan bukti-bukti tersebut dapat ditafsirkan bahwa Islamisasi di Indonesia merupakan suatu proses yang bersifat evolusioner, merupakan suatu proses yang panjang menuju kompromi yag lebih besar terhadap eksklusivitas Islam (Azra, 2002: 20-21).

Berdasarkan historiografi tradisional-lokal ada beberapa hal yang bisa disimpulkan berkaitan dengan proses Islamisasi. Pertama, Islam di Nusantara dibawa langsung dari tanah Arab. Kedua, Islam diperkenalkan oleh para guru atau juru dakwah. Ketiga, orang-orang yang pertama kali menerima Islam adalah para penguasa. Keempat, sebagian besar para juru dakwah datang di Indonesia pada abad ke-12 dan 13. Selain para pedagang yang berperan dalam proses Islamisasi  peranan juru dakwah dianggap sangat penting. Semula juru dakwah digambarkan sebagai satu pengaruh yang searah tetapi pada masa kemudian juru dakwah tidak lagi berasal dari luar tetapi dari orang-orang Indonesia sendiri yang belajar di Mekah.

Sejak Islam berkembang di Asia Tenggara, dinamika Islam di Timur tengah secara berkelanjutan mempengaruhi wacana Islam di dunia Melayu-Indonesia. Dalam hal ini jaringan ulama international yang berpusat di Mekah sangat berperan penting dalam transmisi dorongan pembaruan pada abad ke-17 dan 18 ke kawasan dunia Melayu. Pada mulanya kontak antara kaum muslim di Asia Tenggara dengan para pedagang muslim dari Timur Tengah  terjadi di kota-kota pelabuhan. Selain berdagang mereka sangat berperan dalam memperkenalkan Islam kepada penduduk setempat, tetapi penetrasi lebih intensif agaknya dilakukan oleh para ulama dari Timur Tengah dan Asia Selatan, biasanya mereka tinggal di bawah perlindungan para Sultan (Azra, 2002: 90-91).

Dengan makin berkembangnya kerajaan-kerajaan muslim di Asia Tenggara telah membuka kesempatan kepada para Muslim untuk melakukan ibadah haji ke Mekah. Selain itu, banyak pula yang menetap dan  belajar tentang ilmu Islam. Adanya komunitas “Jawi” sebagai sebutan oleh orang-orang Madinah dan Mekah yang mengacu pada orang-orang Jawa yang tinggal di sana. Istilah Jawi ini sebenarnya tidak hanya terbatas kepada orang-orang Jawa, tetapi juga meliputi orang-orang Melayu, baik Jawa, Sumatra, Semenanjung Melayu dan Patani (Azra, 2002: 91). Menurut Azra sangat mungkin hubungan intelektual dengan dunia Timur Tengah dan Indonesia  sudah terjadi sebelum abad ke-17 mengingat  hubungan ekonomi , politik sudah dilakukan di sepanjang jalur perdagangan dan haji (Azra, 2002: 92).

REFERENSI

Azra, Azyumardi. 1999.  Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII M. Bandung: Mizan, 1999.

Berg, C. C. Het rijk van de vijfvoudige Buddha. (Verhandelingen der Koninklijke

Bruinessen. Martin van. 1999. “Global and Local in Indonesian Islam”, Southeast Asian Studies, Vol. 37, No.2, September 1999. Nederlandse Akademie van Wetenschappen, Afd. Letterkunde, vol. 69,

Carool Kersten. Carool. 2017.  A History of Islam in Indonesia: Unity in Diversity.  Edinburgh: Edinburgh University Press.

Choi, Dong Sull. 1996.  he Process of Islamization and its Impact on Indonesia”, Comparative Civilization Review,  vol. 34, Number 34, Spring  1996.

Drewes, G. W. J. 1966. “The Struggle between Javanism and Islam as Illustrated by the Serat Dermagandul”. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 122: 309-365.

Feener, R. Michael and Anna M. Gade. 1998. Patterns of Islamization in Indonesia: A Curriculum unit for post secondary level eduatiors, Cornell University Southeast Asia Program Outreach.

Graaf, H.J. de and Th.G.Th. Pigeaud (1976). Islamic states in Java, 1500–1700: Eight Dutch books and articles by Dr H.J. de Graaf as summarized by Theodore G.Th. Pigeaud. The Hague: Martinus Nijhoff. [Verhandelingen KITLV 70.].

Johns, A. H. 'Islam in Southeast Asia: Reflections and new directions'. Indonesia no. 19 (Apr. 1975), pp. 33-55.

--. 'Malay Sufism, as illustrated in an anonymous collection of 17th century tracts'.JMBRAS vol. 30, pt. 2 (no. 178) (Aug. 1957).

--'Sufism as a category in Indonesian literature and history'. jSEAH vol. 2, no. 2 (July 1961), pp. 10-23.

Johns, A.H. (1993). ‘Islamisation in Southeast Asia: Reflections and reconsiderations with special reference to the role of Sufism’, Southeast Asian Studies 31–1:43–61.

Lombard, Denys, and Claudine Salmon (1985). ‘Islam et Sinité’, Archipel 30–1:73–94.

Pelras, Christian. 1985. “Religion, Tradition and the Dynamics of Islamization in South-Sulawesi”. In: Archipel, volume 29, 1985. L'Islam en Indonésie I. pp. 107-135;

Pitsuwan, Surin (1985). Islam and Malay Nationalism: A Case Study of theMalay Muslims of Southern Thailand. Bangkok: Thammasat University, Thai Khadi Research Institute.

Reid, Anthony, 1984. The lslamization of Southeast Asia https://books.google.co.id/books/about/The_Islamization_of_Southeast_Asia.html.

Ricklefs, M. C.  1981. A History of Modern Indonesia c. 1300 to the present, Macmillan Asian Histories Series.

Ricklefs, M. C. 'Banten and the Dutch in 1619: Six early "pasar Malay" letters'. BSOAS vol. 39, pt. 1 (1976), pp. 128-36.

Ricklefs, M.C. (2006). Mystic Synthesis in Java: A History of Islamization from the Fourteenth to the early Nineteenth Centuries. Norwalk, CT: East Bridge Signature Books.

Sunarso,  Ali. “Historiography of Indonesian Islam, Historical Analysis of the Transitional Era of Social and Political System in Java in the 15-16th Century and the Contribution of Javanese Kings in Islamization”, International Journal of Islamic Studies and Humanities,  Volume 1, Number 1, April 2018: 9-20.

 

Berikan komentar ringkas

Kelompok 1. Berikan gambaran ringkas tentang kondisi sosial dan budaya Timur Tengah sebelum Islam

Kelompok 2: Berikan rincian singkat beberapa teori tentang proses Islamisasi di Indonesia

Kelompok 3: Tuangkan tahapan waktu perkembangan Islam di Indonesia dari awal masuknya sampai berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia

Kelompok 4: Uraikan peran para cendekiawan (ulama) dalam penyebaran agama Islam di Indonesia

Kelompok 5: Berikan gambaran ringkas tengang jenis kebudayaan Islam baik yang bersifat tangible maupun intangible di Indonesia

Kelompok 6:  Uraikan peran masyarakat Islam dalam menghadapi penjajahan dan pembentukan Negara kesatuan Republik Indonesia

 

jeudi 3 septembre 2020

HAJI SANUSI LESTARIKAN SILAT BETAWI

HAJI SANUSI LESTARIKAN SILAT BETAWI

 
Oleh
Muhammad Ibnu Fadillah 
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah
FKIP UNTIRTA

 


Usia terus bertambah, tetapi postur pria bernama H Sanusi itu tetap tegak dan penampilannya jauh lebih muda ketimbang umurnya,

89 tahun. Pendekar Silat asal Sawah Besar, Jakarta ini tetap aktif, tak punya penyakit serius, dan tidak berpantang makan apa pun. Bahkan, beragam keluhan yang sering menimpa warga senior, seperti kolestrol tinggi, hipertensi, asam urat, dan gula darah tinggi, pun jauh dari dirinya. Dia tak punya pantangan makan apa pun. “Sejak muda, saya hanya makan sekali sehari. Saya hanya makan siang sekitar pukul 14.00,” kata pria yan

g akrab dipanggil Babe Ucidi rumahnya di Manggarai Selatan, Jakarta Selatan.

Hanya ketika sangat lapar dan harus pergi dia makan dua keeping biscuit sebagai pengganjal perut. Kebiasaan itu bermula ketika Babe Uci tinggal di pesantren di Tasikmalaya, Jawa Barat, saat usianya 15 tahun. Disana para santri membiasakan diri makan secukupnya dan seadanya. Mereka tak pernah berlebihan dan selalu makan bersama. Menurut Sang guru, makan banyak akan menutupi hati. Selanjutnya Babe Ucu menuturkan, Banyak makan bukan hanya membuat hati tertutup lemak, melainkan juga membuat orang menjadi tamak, serakah, dan rela berbuat apa saja demi memuaskan nafsu”. Dengan prinsip hidup itu jawara ini mampu mendisiplinkan diri karena berlatih pencak silat sejak usia 12 tahun di Sawah Besar, Jakarta.

Silat Berawal dari Pesantren

Berkat kemampuan dan kegigihannya melestarikan silat Betawi, Sanusi (89) atau akrab disapa Babe Uci dinobatkan sebagai Maestro Seni Tradisi Bidang Pencak Silat. Tidak tanggung-tanggung penghargaan ini berhasil diraihnya dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Republik Indonesia pada tahun 2014 lalu. Ia pun tak segan menunjukkan jurus dasar silat gerak cepat ala Perguruan Silat Pusaka Djakarta di Kampung Bali Matraman, Manggarai Selatan, Jakarta Selatan, Kamis (6/2/2020). Dengan pakaian pangsi berwarna hitam dan sabuk putih, ia berpose di gang rumahnya. Seraya berkata, “Waktu itu guru saya bernama Musari selalu mengajarkan latihan pencak silat dimulai usai mengaji, begitu setiap malamnya. Dan baru di usia 17 tahun saya sudah mengajar,” begitu tuturnya.

Anak pertama dari enam bersaudara ini tetap mengingat, sang guru silat tidak sembarangan melatih dan lagi tidak semua anak terpilih ikut latihan. Hanya mereka yang rajin shalat dan mengaji yang boleh ikut berlatih. Dulu, mereka biasa berlatih setelah shalat isya dan mengaji. Mereka berlatih dari pukul 20.00 hingga dini hari dibimbing sang pelatih, Mursadi bin Ramidun. “Pukul 02.00, kami baru selesai berlatih dan pulang sembari membawa obor sebagai penerang jalan,” katanya lagi.

 Kenangnya kemudian, kala itu kawasan Sawah Besar merupakan kampong dengan kebun penuh pepohonan dan tanpa listrik. Dia menjelaskan, mereka yang belajar pencak silat harus rajin shalat dan mengaji karena harus pandai meredam keinginan berkelahi yang sering timbul ketika orang belajar bela diri. Sebagai pesilat, mereka harus lebih pandai menahan diri karena keahlian silat bukan untuk pamer diri. Sang guru juga sering membawa Uci kecil berkeliling ke perguruan silat di sejumlah daerah. Tidak hanya menyambangi kampung-kampung di seputar Jakarta, seperti Kwitang, Rawa Belong, Menteng Dalam, dan Pasar Minggu, tetapi mereka juga ke kota lain seperti Bekasi, Bogor, dan Garut.

Selain mempelajari aliran gerak silat lain, tujuan berkeliling juga untuk menjaga dan menjalin silaturahmi dengan para guru lain. Hal yang paling istimewa di Jakarta, setiap kampung memiliki aliran silat sendiri. Tidak kurang dari 300 aliran silat tercatat diwariskan di ibukota, Jakarta.  Menurut Babe Uci, ia telah menguasai tujuh aliran, “Saya tidak tahu mengapa begitu banyak aliran (silat) di Jakarta. Begitulah adanya. Perbedaan aliran ini terlihat jelas dalam pertarungan karena setiap aliran punya gaya dan gerak berbeda,” ujar dia.

Pada awalnya, melatih silat dilakukan di pesantren. Saat itu, dia berusia 17 tahun atau dua tahun setelah mulai menuntut ilmu di tempat tersebut. Dia prihatin melihat banyak kawan yang bengong kala senggang dan tak punya kegiatan lain setelah pelajaran usai dan semua kewajiban dilaksanakan. Dia lalu menawarkan diri mengajar silat dan semua temannya antusias. Kegiatan mengajar silat itu dia lakukan tanpa sepengetahuan kiyai di pesantren. Mereka diam-diam berlatih pada malam hari. “Ketika kami lulus, tidak hanya ilmu agama yang kami dapat, kami juga pandai silat dan guru-guru pun bingung dari mana kami belajar silat dan kapan menekuninya. Saya diam saja, tak membocorkan rahasia bersama”, kata Babe Uci yang menuntut ilmu di pesantran selama 10 tahun. Stelah menamatkan belajar di pesantren, Babe Uci kemudian mendirikan pusat latihan yang dinamai Perguruan Silat Pusaka Djakarta yang beraliran gerak cepat pada tahun 1957.

Sang Koreografer Film Laga Indonesia

Pada antara tahun 1980 - tahun 1990, banyak produksi film laga menemui kesuksesan dan membuka pasar film laga berbasis silat yang terutama diproduksi di perusahaan-perusahaan film Hong Kong. Keberhasilan film laga itu mempengaruhi para produser film di Indonesia. Mereka sangat tertarik membuat film laga dengan aksi ilmu bela diri. Sejak itu bermunculah film-film lagi khas Indonesia yang mengambil latar sejarah dan budaya di tanah air.Ketika itu, sineas Hongkong masih sibuk membuat film tentang kerajaan kuno. Tak ada yang bergenre film laga seperti sekarang.” Ujar dia tentang film yang pengambilan gambarnya bertempat di Sukabumi, Jawa Barat, itu.

Babe Uci bangga dengan kesuksesan Djampang Mentjari Naga Hitam. Namun, dia prihatin karena Hongkong yang semula meniru langkah Indonesia membuat film laga malah lebih terkenal sebagai salah satu negeri produsen film laga. Meski dia yang mendapat tawaran menjadi koreografer silat di film, Babe Uci tidak pernah kerja sendiri. Dia mengajak para guru silat andal yang lain ikut merancang gerakan adegan perkelahian. Bersama-sama mereka menyusun, menilai, dan memilih gerakan untuk film. Sejak film itu, Babe Uci pun terlibat dalam sejumlah film laga lain, diantaranya Si pitung 1 hingga Si Pitung 4, Si Bongkok, Laki-laki Pilihan, Panji Tengkorak, Selimut Malam, Sangkuriang, Tangkuban perahu, dan Nyai Dasimah. Total ada 28 film.

Menurut babe Uci, motivasi utamanya bekerja sebagai pengatur laga sebenarnya adalah untuk bisa memasyarakatkan pencak silat. Bela diri-bela diri lainnya bisa berkembang dengan baik lewat promosi secara tidak langsung dengan film-film laga, katanya. Tujuan mendirikan dan melestarikan silat Betawi. Kepada para murid yang piawai, dia membolehkan mereka mengajarkan ilmu silat kepada orang lain. Tahun 1969, Babe Uci mendapat tawaran sebagai kereografer film silat Djampang Mentjari Naga Hitam. Film itu dibintangi, antara lain oleh Sukarno M Noor, WD Mochtar, Moch. Mochtar, HIM Damsyik, Wolly Sutinah, dan Nani Widjaja. “Film ini laris, meledak. Ada bioskop yang pintunya sampai runtuh karena penonton terus berdatangan,” cerita Babe Uci.

Karena itu, ia berharap ada sinemas Indonesia yang membuat film laga yang tidak hanya bagus dari sisi cerita, tapi juga menampilkan pencak silat dengan kemasan yang baik. Kalau ada rumah produksi atau sutradara zaman sekarang yang mampu membuat film pencak silat yang baik seperti itu, saya akan senang sekali untuk membantu, katanya.

Meski demikian, Babe Uci hingga kini enggan terlibat dalam sinetron laga. Alasannya waktu pembuatan sinetron amat singkat ketimbang film layar lebar. Dia merasa tidak cukup waktu merancang adegan aksi. Puluhan tahun berkecimpung di dunia silat dan merancang aksi laga pada banyak film, Babe Uci tetap menjadi pribadi yang rendah hati dan sederhana. Dia tetap belajar silat dan mengajarkan ilmunya kepada orang lain. Namun, dia sedih karena tidak satupun dari 9 anaknya (2 lelaki, 7 perempuan), 35 cucu, dan 2 cicitnya mau menekuni silat. “Mereka lebih suka olah raga lain,seperti bola basket atau sepak bola,” kata anak pasangan Suraji dan Ariyeh ini. Satu harapan Babe Uci, naskahnya tentang pendekar silat dari Ngarai Sianok dapat difilmkan. “film itu memadukan silat gaya Sumatra, Jawa, Bali, dan Madura,” ujar dia.

Dalam buku Maen Pukulan Khas Betawi karya G.J. Nawi, dituliskan tentang adanya 317 aliran main pukulan Betawi. Beberapa di antaranya telah terdaftar sebagai warisan budaya tak benda dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Terbaru pada 2019, ada silat Mustika Kwitang, silat Pusaka Djakarta, silat Troktok, dan silat Sabeni Tenabang. Menyusul yang sudah ditetapkan lebih dulu adalah silat Beksi dan silat Cingkrik.

Silat Betawi, Jurus Gerak Cepat



Pada umumnya silat tradisional Indonesia dikenal dengan nama pencak silat, berbeda istilahnya bagi kebanyakan pesilat Betawi. Walaupun demikian, maksud yang terkandung tidak lain dan tidak bukan adalah pencak silat.
“Di Betawi istilahnya bukan pencak silat tetapi maen pukulan,” ujar Babe Uci di Graha Bhakti Budaya Jakarta. Tidak hanya itu, setiap wilayah memiliki keunikannya tersendiri dari maen pukulan yang sudah ada sejak lama. “Istimewanya di Betawi, tiap kampung mempunyai jurusnya sendiri-sendiri,” jelasnya,

Haji Sanusi menilai bahwa dengan adanya keberagaman main pukulan ini perlu dilestarikan dan dikembangkan dengan dibuat sekolah khusus silat. “Bikin Sekolah Silat Indonesia. Silat beksi ada gurunya, silat cingkrik ada gurunya, mau belajar Mustika Kwitang ada gurunya. Jadi tiap wilayah ada, kita enggak kehilangan pencak, kalau mau bergerak jangan tanggung-tanggung,” ujar Babe Uci.

Walaupun demikian, Babe Uci menilai yang terpenting dalam setiap individu adalah akhlaknya, bukan silatnya. Ia pun siap membantu pemerintah dalam memberikan pengajaran silat kepada generasi penerus bila diberikan kesempatan. “Kita yang udah tua-tua ini siap bantu pemerintah buat mengajarkan silat-silat. Kalau ada sekolah orang tua enggak mesti ke kampung-kampung dan tiap bulan sudah pasti dapet gaji,” tutur Babe Uci disambut tawa audiens yang hadir.

Sejarah telah menorehkan bahwa silat Betawi tidak hanya hasil akulturasi budaya berbagai suku, etnis, agama, dan antargolongan. Silat Betawi adalah kegeniusan lokal yang terus mewarnai Jakarta. Berbekal kecintaan untuk terus melestarikan silat Betawi, Bang Uci mendirikan Perguruan Pencak Silat Pusaka Djakarta pada tahun 1953 di Jl Dr Saharjo, RT 09/10, Nomor: 15, Kelurahan Manggarai Selatan, Tebet, Jakarta Selatan, yang juga menjadi kediamannya. Namun, untuk latihan belum ada tempat tetap, bisa di lapangan atau kantor kelurahan. Jumlah murid saat ini ada ribuan orang, termasuk penulis sendiri yang saat ini sudah menjadi guru juga, Mereka yang mau ikut berlatih tidak dipungut bayaran.

Dijelaskannya aliran jurus yang menjadi andalan Perguruan Pencak Silat Pusaka Djakarta adalah gerakan cepat. Artinya, tidak memberi waktu kepada musuh untuk melawan atau menyerang balik. “Jurus gerak cepat adalah salah satu ciri khas perguruan ini. Penggabungan dari gerakan kaki dan tangan dengan tidak memberi waktu lawan untuk membalas,” katanya. Karena keunikan ilmu Gerak Cepat itu sendiri, katanya. Karakter aliran ini memang cukup unik, yakni mengandalkan kecepatan dalam perkelahian. Begitu lawan menyerang, langsung secepatnya kita harus tangkis dan balas, kata Sisu, salah satu murid Bang Uci.

Demikian juga dijelaskan Dadang, murid Abah Uci yang lain, “Serangan lawan hanya ditangkis dengan cepat dan dalam waktu bersamaan pesilat langsung meluncurkan serangan balasan. Kecepatan menjadi sangat penting agar lawan tidak memiliki kesempatan untuk melakukan serangan susulan”. Serangan dilakukan dengan menggunakan buku jari dan ujung jari ke daerah-daerah rawan dari tubuh lawan. Adapun serangan kaki dilakukan dengan melakukan sapuan terhadap kuda-kuda lawan. Lagi-lagi semua serangan harus dilakukan dengan cepat. Kalau gerakannya lambat, lawan akan mudah melakukan antisipasi, katanya.

Usia yang sudah tidak lagi muda membuat intensitasnya dalam memberikan pelatihan langsung semakin berkurang. Tapi, dirinya tetap berusaha untuk memantau saat latihan berlangsung. “Butuh waktu tiga hingga empat bulan untuk menguasai pencak silat ini. Hal terpenting, mau serius dan sungguh-sungguh, itu resepnya,” ujar Bang Uci penuh semangat.

Dalam usia senjanya, Bang Uci berharap, Pemprov DKI terus memberikan peluang dan kesempatan bagi pecinta seni Betawi untuk bisa menggelar kegiatan kesenian. “Saya sudah tidak lagi muda, tapi masih bangga dan cinta terhadap kesenian pencak silat Betawi. Kalau bukan kita yang melestarikan budaya sendiri, siapa lagi,” tandasnya.

Melestarikan Silat Betawi

Dua pekan lalu, ratusan orang berseragam hitam-hitam memenuhi Gang Bedeng, Manggarai, Jakarta Selatan. Di sana, mereka memperagakan atraksi pencak silat yang mendapat sambutan cukup antusias.

Tidak kalah menarik perhatian adalah kehadiran beberapa figur penting, seperti Presiden Persekutuan Pencak Silat Antarbangsa (Persilat) Eddie M. Nalapraya, Ketua Harian Ikatan Pencak Silat Indonesia Rachmat Gobel, Ketua Umum Persatuan Pencak Silat Putra Betawi Deddy Suryadi, dan Ketua Harian Persilat Rustadi Effendi. Pusaka Djakarta adalah silat yang dipelajari Babe Uci dari gurunya, Mursadi bin Rabidun (wafat pada 1975). Guru saya (almarhum) belajar dari banyak guru, seperti Pak Salim, Pak Minan, Pak Ningnong, Mandor Peris, dan Pangeran Pakpak dari Cirebon, katanya.  Pusaka Djakarta adalah silat yang dipakai oleh Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah atau Sayyid Al-Kamil dan para keturunannya.

Uci muda mulai belajar dari gurunya yang tinggal di Sawah Besar mulai 1943 sampai wafatnya pada 1975. Ketika itu usia beliau sudah 70-an, ujarnya. Babe Uci juga menyempatkan belajar aliran silat lain, seperti Cimande, Aliran Lima Waktu, dan Gerak Rasa. Niat utama saya adalah menjaga dan menjalin silaturahmi dengan guru-guru silat lainnya, katanya.

Setelah bekalnya dirasakan cukup, Babe Uci akhirnya membentuk perguruan silat. Dalam waktu tidak terlalu lama, Pusaka Jakarta akhirnya berkembang ke lima wilayah Jakarta. Hal ini karena Babe Uci menerapkan prinsip desentralisasi dengan membebaskan muridnya yang sudah mumpuni untuk mengajarkan ilmunya.

Biodata

H. SANUSI, Babe Uci. Lahir : Jakarta, 4 September 193, Istri : Nani

Pendidikan : Pesantren di Tasikmalaya selama 10 tahun

Pencapaian : (1) Mendirikan dan mengelola perguruan Silat Pusaka Djakarta, 1957-kini , (2) Film pertama “Djampang Mentjari Naga Hitam”, 1969, (3) Terlibat dalam pembuatan 28 film, (4) Memperoleh penghargaan, antara lain Anugrah Budaya dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, 2013.

Cabang Tempat Latihan: Manggarai (Pusat) Rasamala,  Pulo, Kalibata, DurenTiga, Kragilan (Banten) dan tempat lainnya.

Referensi

Nawi, G. J. 2016. Maen Pukulan Khas Betawi. Jakarta: pustaka obor Indonesia.

http://pencaksilat-pusakadjakarta-babeuci.blogspot.com/?m=1 / Diakses pada 2 September 2020

https://m.liputan6.com/regional/read/4164474/guru-besar-pusaka-djakarta-sarankan-pemerintah-bikin-sekolah-silat-indonesia / Diakses pada 2 September 2020

https://m-beritajakarta-id.cdn.ampproject.org/v/m.beritajakarta.id/amp/read/47872/sanusi-sang-maestro-seni-tradisi-bidang-pencak-silat-betawi?amp_js_v=a3&_gsa=1&usqp=mq331AQFKAGwASA%3D#aoh=15990675560853&referrer=https%3A%2F%2Fwww.google.com&_tf=Dari%20%251%24s&ampshare=http%3A%2F%2Fm.beritajakarta.id%2Fread%2F47872%2Fsanusi-sang-maestro-seni-tradisi-bidang-pencak-silat-betawi / Diakses pada 2 September 2020

http://mujahidrs.blogspot.com/2011/05/pencak-silat-pusaka-djakarta.html?m=1 /

Wawancara langsung