Nilai modernitas kelima telah ditunjukkan oleh
karakter “Open Culture” orang Banten terhadap budaya luar. Sejak berdirinya
kesultanan, Banten mempresentasikan diri sebagai sebuah negara-kota yang
berbasis pada perdagangan internasional. Kota Banten di sini menjadi potpourie
ethnique atau ‘wadah pelebur’ unsur-unsur budaya dari berbagai kebudayaan
besar yang datang membawa identitas budaya masing-masing. Interaksi antar-etnik
bahkan antar-ras telah mengimplikasikan sebuah kebudayaan yang ‘terbuka’ bagi
berbagai kemajuan. Keterbukaan budaya itu misalnya tampak pada penggunaan
bahasa. Bahasa Melayu memang telah lama menjadi lingua-franca di
Nusantara termasuk juga di Banten. Tetapi karena keluasan hubungannya dengan
kekuasaan-kekuasaan pesisir utara Jawa, Banten kemudian menjadi pewaris jauh
dari bahasa Jawa pesisiran. Selain bahasa Sunda sebagai bahasa ibu pada awalnya,
maka di Banten, bahasa Melayu dan Jawa telah menjadi bahasa umum baik dalam
urusan pemerintahan maupun interaksi dalam berbagai kehidupan sosial, agama dan
ekonomi perdagangan. Namun harus dicatat, banyak kalangan warga Banten juga
menguasai bahasa asing, terutama Arab. Hal ini bisa dilihat dari berbagai karya
keagamaan hasil pemikiran putera-putera Banten seperti Syekh Nawawi al-Bantani,
Syekh Abdul Karim Tanara, dan Kiai Asnawi di Caringin. Bahkan, aksara Arab juga
digunakan secara resmi dalam pemerintahan. Dengan demikian, penguasaan
bahasa-bahasa yang umum pada masa itu, menjadikan Banten mampu mendobrak
kebekuan hubungan antar-etnik dan antar-bangsa sekaligus membuat kebudayaan
dapat berkembang dalam dinamika kontemporenitas yang diperlukan (Moh. Ali
Fadillah).
Aucun commentaire:
Enregistrer un commentaire