PERTUMBUHAN EKONOMI PARIWISATA
DUNIA: RESUME
SEJARAH AWAL
MOH. ALI FADILLAH
“The rapid growth of tourism on our planet
has shown several advantages. The most striking character of this growth is
that tourism has facilitated the mass mobility
both driven by the desire to know something, explore new places
(foreign), feel the difference in the environment,
and gain new experiences”.
Gejala
perjalanan global itu dapat diidentifikasi sebagai pola migrasi yang memungkinkan
terus berkembang selama ‘tekanan’ selalu melanda kehidupan manusia. Sekurang-kurangnya
ada tiga pola migrasi dalam masyarakat. Pertama, migrasi ke daerah perkotaan sebagai
kelanjutan dari fenomena masyarakat industri abad XIX. Kedua, migrasi dari dan
ke tempat bekerja sebagai konsekuensi dari proses urbanisasi dan separasi ruang
berskala luas. Dan ketiga, migrasi rekreatif sebagai fungsi dari kedua gejala
di atas dan karenanya menjadi migrasi jenis baru. Ketiga
gejala itu semakin menguat karena dirangsang selain oleh berbagai tekanan dan
uniformitas urban life, juga diakomodasikan oleh standard kehidupan
dan mobilitas sebagaimana dikondisikan oleh sistem ekonomi urban itu sendiri.
Sebagai migrasi terbaru, perjalanan rekreasi telah mengalami pertumbuhan
fenomenal dan mengarah pada perubahan besar dalam life-style.
Pariwisata Terus Berkembang
Memang
pariwisata akan mengikuti pola migrasi tersebut, yang memungkinkan terjadinya
fluktuasi, tetapi kegiatan pariwisata akan tetap menjadi bagian dari kehidupan manusia
dan mungkin hanya akan berubah dalam bentuk dan muatannya mengikuti proses
waktu. Oleh sebab itu, karena watak pariwisata yang multi-dimentional, berbagai kaitannya dengan sektor manufaktur dan
retail, serta bisnis musiman atau ekonomi non-formalnya, membuat pariwisata
sangat sulit ditaksir besaran pasarnya.
Meskipun
demikian, orang selalu menemukan cara membuat estimasi, baik menurut frekuensi
perjalanan maupun total belanja wisatawan di destinasi wisata. Angka-angka
statistik kedatangan wisatawan internasional memperlihatkan kenaikan signifikan
sejak usai Perang Dunia II, dari 25 juta tahun 1950 menjadi 183 juta
wisatawan pada tahun 1970. Berdasarkan
angka itu, kunjungan wisatawan telah mengalami kenaikan sebesar 10% selama dua
dasawarsa.
Kenaikan
itu rupanya menjadi penting ketika dikonversikan ke dalam penghasilan devisa
negara. Sebagai contoh, dari belanja wisatawan di destinasi, pariwisata dunia
telah memberi kontribusi US$ 488 milyard pada tahun 1978, yang ternyata merepresentasikan 6% GNP dunia. Jumlah
ini bahkan ekivalen dengan GNP Jerman Barat pada waktu itu. Estimasi WTO (World Tourism Organization) paling baru menunjukkan bahwa belanja
pariwisata dunia mengalami kenaikan menjadi US$ 919 milyard tahun 1981. Memang
pertumbuhan itu menurun tajam ketika krisis minyak bumi dan inflasi sejumlah
mata uang melanda dunia pada tahun 1970-an. Tetapi setelah dikalkulasi,
kenyataannya penghasilan dari pariwisata tetap menunjukkan peningkatan sebesar
3 – 10% per tahun.
Meskipun
mulai tahun 1973 tingkat ekspansinya terhambat sebagai dampak kenaikan harga
BBM dunia, namun mengawali tahun 1980an, pariwisata mulai bergairah kembali,
seperti diestimasikan oleh WTO, kedatangan wisatawan internasional mencapai 280
juta. Jika angka itu dihitung dari indikator yang mudah diukur, maka belanja
wisatawan pasti melebihi jumlah itu.
Demikian
pula dengan wisatawan domestik yang berbasis pada perjalanan dalam negeri.
Kendati lebih sulit dikuantifikasikan, pada umumnya mencapai 75-80% dari
seluruh aktivitas pariwisata. Menurut laporan WTO, ada sekitar 2 milyar
perjalanan domestik pasca kenaikan BBM dunia (1981). Angka itu
merepresentasikan kenaikan 240% apabila dihitung sejak tahun 1975.
Sektor Andalan
Wajar
kalau kemudian pariwisata tetap dipandang sebagai industri futuristik. Alfin
Toffler dalam karyanya Future Shock
(1971) menganggap bahwa wisatawan sebagai ‘new nomades’. Gaya hidup mereka yang
lebih individual dan fleksibel dengan sendirinya menunjukan proses ‘demassification’
dari masyarakat industri yang begitu homogen, telah berdampak pada ekspansi industri
jasa yang revolusioner, yang tidak lagi berbasis barang pabrikan melainkan
mengarah pada produk pengalaman (product
of experience) yang tak terduga sebelumnya. Dengan munculnya tipe
masyarakat dunia yang diprediksi sebagai bagian dari The Third Wafe, industri pengalaman ini bisa menjadi salah satu
pilar industri besar, dan besar kemungkinannya akan menjadi fondasi yang kokoh bagi
sebuah economy of service di berbagai
belahan dunia.
Bangsa-bangsa
Eropa yang sadar kedatangan abad baru itu, telah menjadikan pariwisata sebagai
sektor andalan ekonomi nasional. Spanyol dan Austria misalnya, telah mendasari
banyak pembangunan pasca PD II pada pertumbuhan sektor pariwisata. Penghasilan
dari sektor ini pada tahun 1977 telah memberi kontribusi signifikan bagi peningkatan
ekspor produksi dalam negeri kedua negara itu sebesar 22,5% dan 21,7%. Begitu pula
dengan masyarakat Eropa lainnya, kontribusi pariwisata mencapai rata-rata 4,7%
dan menciptakan sumber utama bagi proyek pembangunan lainnya. Jadi pariwisata
sebagai industri yang intensif telah menjadi dasar pertimbangan politik ekonomi.
Pertimbangan itu antara lain
dicontohkan oleh Perdana Menteri Inggris, James Callaghan (1977) yang
menyatakan bahwa, “Sekarang, pertumbuhan dalam industri manufaktur dan
investasi baru memang membawa efisiensi lebih besar, tetapi tidak perlu diartikan menghasilkan pekerjaan
baru. Untuk alasan itulah kita perlu melihat industry of service dalam
pariwisata sebagai sumber income dan
peluang kerja yang penting”. Dengan kebijakan itu, tahun 1975 bisnis pariwisata
di Inggris telah menyerap satu setengah juta pekerja baik langsung maupun tak
langsung, yaitu 6% dari total lapangan kerja. Juga di Kanada, pariwisata telah
dipromosikan sebagai bisnis yang penting, setelah diketahui bahwa pariwisata
bisa mempekerjakan satu di antara sepuluh pekerja di negeri itu dan menjadi
kontributor devisa ketujuh terbesar dari hasil pertukaran mata uang asing. Pun
di Amerika Serikat, industri pariwisata diestimasikan menyumbang US$ 105 milyard
setiap tahun dan mampu menyerap tenaga kerja sekitar lima juta orang.
Dengan
angka statistik yang begitu impresif dan peluang pekerjaan yang diciptakan, pariwisata
bisa menjadi a little wonder dalam
berbagai political loby. Inggris Raya
dan Kanada bahkan mempunyai alasan untuk memandang industri
pariwisata sebagai generous development
grant. Itulah sebabnya di kedua negara itu, kekuatan kerja sektor swasta bekerjasama
dengan Pemerintah telah menghasilkan rencana pariwisata nasional pertama.
Sebagai
lembaga internasional, PBB juga mengakui besarnya manfaat ekonomi dan sosial
dari pertumbuhan industri pariwisata. Amerika Serikat sendiri yang dikenal
sebagai produsen senjata dunia terbesar, ternyata sejak tahun 1979, pariwisata
merupakan bisnis yang lebih besar daripada produksi senjata besi dan baja. Bisa
dibayangkan bahwa sekitar lima ratus
juta pekerja dan keluarganya, dari hasil itu, mampu membayar sendiri liburannya
untuk mengililingi dunia. Melihat efek ekonominya, wajar kalau kemudian dalam
Konferensi Pariwisata Internasional PBB 1981 di Manila mendeklarasikan bahwa
pariwisata merupakan aktivitas esensial bagi kehidupan bangsa berkat efek ganda
pariwisata bagi pembangunan sektoral seperti ekonomi, sosial, budaya, dan pendidikan
baik dalam lingkup masyarakat nasional maupun internasional.
Note:
Bahan renungan bagi mahasiswa MK “Geografi
Pariwisata”, Jurusan Pendidikan Sejarah, FKIP Untirta di penghujung jadwal
perkuliahan semester genap 2020. Berikan ulasan ringkas tentang bagaimana
pertumbuhan ekonomi pariwisata di Indonesia? Dan bagaimana dampak pertumbuhan itu bagi perekonomian daerah khususnya di Provinsi Banten? Mudah-mudahan isu ini dapat
menarik penelitian mahasiswa untuk bahan penyusunan skripsi dalam domain “Sejarah
Ekonomi Pariwisata di Indonesia dan di Provinsi Banten.