HAJI SANUSI LESTARIKAN SILAT BETAWI
Usia terus bertambah, tetapi postur pria bernama H Sanusi itu tetap tegak dan penampilannya jauh lebih muda ketimbang umurnya,
89 tahun. Pendekar Silat asal Sawah Besar, Jakarta ini tetap aktif, tak punya penyakit serius, dan tidak berpantang makan apa pun. Bahkan, beragam keluhan yang sering menimpa warga senior, seperti kolestrol tinggi, hipertensi, asam urat, dan gula darah tinggi, pun jauh dari dirinya. Dia tak punya pantangan makan apa pun. “Sejak muda, saya hanya makan sekali sehari. Saya hanya makan siang sekitar pukul 14.00,” kata pria yan
g akrab dipanggil “Babe Uci” di rumahnya di Manggarai Selatan, Jakarta Selatan.
Hanya ketika sangat lapar dan harus pergi dia makan dua keeping biscuit sebagai pengganjal perut. Kebiasaan itu bermula ketika Babe Uci tinggal di pesantren di Tasikmalaya, Jawa Barat, saat usianya 15 tahun. Disana para santri membiasakan diri makan secukupnya dan seadanya. Mereka tak pernah berlebihan dan selalu makan bersama. Menurut Sang guru, makan banyak akan menutupi hati. Selanjutnya Babe Ucu menuturkan, “Banyak makan bukan hanya membuat hati tertutup lemak, melainkan juga membuat orang menjadi tamak, serakah, dan rela berbuat apa saja demi memuaskan nafsu”. Dengan prinsip hidup itu jawara ini mampu mendisiplinkan diri karena berlatih pencak silat sejak usia 12 tahun di Sawah Besar, Jakarta.
Silat Berawal dari Pesantren
Berkat kemampuan dan kegigihannya melestarikan silat Betawi, Sanusi (89) atau akrab disapa Babe Uci dinobatkan sebagai Maestro Seni Tradisi Bidang Pencak Silat. Tidak tanggung-tanggung penghargaan ini berhasil diraihnya dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Republik Indonesia pada tahun 2014 lalu. Ia pun tak segan menunjukkan jurus dasar silat gerak cepat ala Perguruan Silat Pusaka Djakarta di Kampung Bali Matraman, Manggarai Selatan, Jakarta Selatan, Kamis (6/2/2020). Dengan pakaian pangsi berwarna hitam dan sabuk putih, ia berpose di gang rumahnya. Seraya berkata, “Waktu itu guru saya bernama Musari selalu mengajarkan latihan pencak silat dimulai usai mengaji, begitu setiap malamnya. Dan baru di usia 17 tahun saya sudah mengajar,” begitu tuturnya.
Anak pertama dari enam bersaudara ini tetap mengingat, sang guru silat tidak sembarangan melatih dan lagi tidak semua anak terpilih ikut latihan. Hanya mereka yang rajin shalat dan mengaji yang boleh ikut berlatih. Dulu, mereka biasa berlatih setelah shalat isya dan mengaji. Mereka berlatih dari pukul 20.00 hingga dini hari dibimbing sang pelatih, Mursadi bin Ramidun. “Pukul 02.00, kami baru selesai berlatih dan pulang sembari membawa obor sebagai penerang jalan,” katanya lagi.
Kenangnya kemudian, kala itu kawasan Sawah Besar merupakan kampong dengan kebun penuh pepohonan dan tanpa listrik. Dia menjelaskan, mereka yang belajar pencak silat harus rajin shalat dan mengaji karena harus pandai meredam keinginan berkelahi yang sering timbul ketika orang belajar bela diri. Sebagai pesilat, mereka harus lebih pandai menahan diri karena keahlian silat bukan untuk pamer diri. Sang guru juga sering membawa Uci kecil berkeliling ke perguruan silat di sejumlah daerah. Tidak hanya menyambangi kampung-kampung di seputar Jakarta, seperti Kwitang, Rawa Belong, Menteng Dalam, dan Pasar Minggu, tetapi mereka juga ke kota lain seperti Bekasi, Bogor, dan Garut.
Selain mempelajari aliran gerak silat lain, tujuan berkeliling juga untuk menjaga dan menjalin silaturahmi dengan para guru lain. Hal yang paling istimewa di Jakarta, setiap kampung memiliki aliran silat sendiri. Tidak kurang dari 300 aliran silat tercatat diwariskan di ibukota, Jakarta. Menurut Babe Uci, ia telah menguasai tujuh aliran, “Saya tidak tahu mengapa begitu banyak aliran (silat) di Jakarta. Begitulah adanya. Perbedaan aliran ini terlihat jelas dalam pertarungan karena setiap aliran punya gaya dan gerak berbeda,” ujar dia.
Pada awalnya, melatih silat dilakukan di pesantren. Saat itu, dia berusia 17 tahun atau dua tahun setelah mulai menuntut ilmu di tempat tersebut. Dia prihatin melihat banyak kawan yang “bengong” kala senggang dan tak punya kegiatan lain setelah pelajaran usai dan semua kewajiban dilaksanakan. Dia lalu menawarkan diri mengajar silat dan semua temannya antusias. Kegiatan mengajar silat itu dia lakukan tanpa sepengetahuan kiyai di pesantren. Mereka diam-diam berlatih pada malam hari. “Ketika kami lulus, tidak hanya ilmu agama yang kami dapat, kami juga pandai silat dan guru-guru pun bingung dari mana kami belajar silat dan kapan menekuninya. Saya diam saja, tak membocorkan rahasia bersama”, kata Babe Uci yang menuntut ilmu di pesantran selama 10 tahun. Stelah menamatkan belajar di pesantren, Babe Uci kemudian mendirikan pusat latihan yang dinamai Perguruan Silat Pusaka Djakarta yang beraliran gerak cepat pada tahun 1957.
Sang Koreografer Film Laga Indonesia
Pada antara tahun 1980 - tahun 1990, banyak produksi film laga menemui kesuksesan dan membuka pasar film laga berbasis silat yang terutama diproduksi di perusahaan-perusahaan film Hong Kong. Keberhasilan film laga itu mempengaruhi para produser film di Indonesia. Mereka sangat tertarik membuat film laga dengan aksi ilmu bela diri. Sejak itu bermunculah film-film lagi khas Indonesia yang mengambil latar sejarah dan budaya di tanah air. “Ketika itu, sineas Hongkong masih sibuk membuat film tentang kerajaan kuno. Tak ada yang bergenre film laga seperti sekarang.” Ujar dia tentang film yang pengambilan gambarnya bertempat di Sukabumi, Jawa Barat, itu.
Babe Uci bangga dengan kesuksesan Djampang Mentjari Naga Hitam. Namun, dia prihatin karena Hongkong yang semula meniru langkah Indonesia membuat film laga malah lebih terkenal sebagai salah satu negeri produsen film laga. Meski dia yang mendapat tawaran menjadi koreografer silat di film, Babe Uci tidak pernah kerja sendiri. Dia mengajak para guru silat andal yang lain ikut merancang gerakan adegan perkelahian. Bersama-sama mereka menyusun, menilai, dan memilih gerakan untuk film. Sejak film itu, Babe Uci pun terlibat dalam sejumlah film laga lain, diantaranya Si pitung 1 hingga Si Pitung 4, Si Bongkok, Laki-laki Pilihan, Panji Tengkorak, Selimut Malam, Sangkuriang, Tangkuban perahu, dan Nyai Dasimah. Total ada 28 film.
Menurut babe Uci, motivasi utamanya bekerja sebagai pengatur laga sebenarnya adalah untuk bisa memasyarakatkan pencak silat. Bela diri-bela diri lainnya bisa berkembang dengan baik lewat promosi secara tidak langsung dengan film-film laga, katanya. Tujuan mendirikan dan melestarikan silat Betawi. Kepada para murid yang piawai, dia membolehkan mereka mengajarkan ilmu silat kepada orang lain. Tahun 1969, Babe Uci mendapat tawaran sebagai kereografer film silat Djampang Mentjari Naga Hitam. Film itu dibintangi, antara lain oleh Sukarno M Noor, WD Mochtar, Moch. Mochtar, HIM Damsyik, Wolly Sutinah, dan Nani Widjaja. “Film ini laris, meledak. Ada bioskop yang pintunya sampai runtuh karena penonton terus berdatangan,” cerita Babe Uci.
Karena itu, ia berharap ada sinemas Indonesia yang membuat film laga yang tidak hanya bagus dari sisi cerita, tapi juga menampilkan pencak silat dengan kemasan yang baik. Kalau ada rumah produksi atau sutradara zaman sekarang yang mampu membuat film pencak silat yang baik seperti itu, saya akan senang sekali untuk membantu, katanya.
Meski demikian, Babe Uci hingga kini enggan terlibat dalam sinetron laga. Alasannya waktu pembuatan sinetron amat singkat ketimbang film layar lebar. Dia merasa tidak cukup waktu merancang adegan aksi. Puluhan tahun berkecimpung di dunia silat dan merancang aksi laga pada banyak film, Babe Uci tetap menjadi pribadi yang rendah hati dan sederhana. Dia tetap belajar silat dan mengajarkan ilmunya kepada orang lain. Namun, dia sedih karena tidak satupun dari 9 anaknya (2 lelaki, 7 perempuan), 35 cucu, dan 2 cicitnya mau menekuni silat. “Mereka lebih suka olah raga lain,seperti bola basket atau sepak bola,” kata anak pasangan Suraji dan Ariyeh ini. Satu harapan Babe Uci, naskahnya tentang pendekar silat dari Ngarai Sianok dapat difilmkan. “film itu memadukan silat gaya Sumatra, Jawa, Bali, dan Madura,” ujar dia.
Dalam buku Maen Pukulan Khas Betawi karya G.J. Nawi, dituliskan tentang adanya 317 aliran main pukulan Betawi. Beberapa di antaranya telah terdaftar sebagai warisan budaya tak benda dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Terbaru pada 2019, ada silat Mustika Kwitang, silat Pusaka Djakarta, silat Troktok, dan silat Sabeni Tenabang. Menyusul yang sudah ditetapkan lebih dulu adalah silat Beksi dan silat Cingkrik.
Silat Betawi, Jurus Gerak Cepat
Pada umumnya silat tradisional Indonesia dikenal dengan nama pencak silat, berbeda istilahnya bagi kebanyakan pesilat Betawi. Walaupun demikian, maksud yang terkandung tidak lain dan tidak bukan adalah pencak silat. “Di Betawi istilahnya bukan pencak silat tetapi maen pukulan,” ujar Babe Uci di Graha Bhakti Budaya Jakarta. Tidak hanya itu, setiap wilayah memiliki keunikannya tersendiri dari “maen pukulan” yang sudah ada sejak lama. “Istimewanya di Betawi, tiap kampung mempunyai jurusnya sendiri-sendiri,” jelasnya,
Haji Sanusi menilai bahwa dengan adanya keberagaman “main pukulan” ini perlu dilestarikan dan dikembangkan dengan dibuat sekolah khusus silat. “Bikin Sekolah Silat Indonesia. Silat beksi ada gurunya, silat cingkrik ada gurunya, mau belajar Mustika Kwitang ada gurunya. Jadi tiap wilayah ada, kita enggak kehilangan pencak, kalau mau bergerak jangan tanggung-tanggung,” ujar Babe Uci.
Walaupun demikian, Babe Uci menilai yang terpenting dalam setiap individu adalah akhlaknya, bukan silatnya. Ia pun siap membantu pemerintah dalam memberikan pengajaran silat kepada generasi penerus bila diberikan kesempatan. “Kita yang udah tua-tua ini siap bantu pemerintah buat mengajarkan silat-silat. Kalau ada sekolah orang tua enggak mesti ke kampung-kampung dan tiap bulan sudah pasti dapet gaji,” tutur Babe Uci disambut tawa audiens yang hadir.
Sejarah telah menorehkan bahwa silat Betawi tidak hanya hasil akulturasi budaya berbagai suku, etnis, agama, dan antargolongan. Silat Betawi adalah kegeniusan lokal yang terus mewarnai Jakarta. Berbekal kecintaan untuk terus melestarikan silat Betawi, Bang Uci mendirikan Perguruan Pencak Silat Pusaka Djakarta pada tahun 1953 di Jl Dr Saharjo, RT 09/10, Nomor: 15, Kelurahan Manggarai Selatan, Tebet, Jakarta Selatan, yang juga menjadi kediamannya. Namun, untuk latihan belum ada tempat tetap, bisa di lapangan atau kantor kelurahan. Jumlah murid saat ini ada ribuan orang, termasuk penulis sendiri yang saat ini sudah menjadi guru juga, Mereka yang mau ikut berlatih tidak dipungut bayaran.
Dijelaskannya aliran jurus yang menjadi andalan Perguruan Pencak Silat Pusaka Djakarta adalah gerakan cepat. Artinya, tidak memberi waktu kepada musuh untuk melawan atau menyerang balik. “Jurus gerak cepat adalah salah satu ciri khas perguruan ini. Penggabungan dari gerakan kaki dan tangan dengan tidak memberi waktu lawan untuk membalas,” katanya. Karena keunikan ilmu Gerak Cepat itu sendiri, katanya. Karakter aliran ini memang cukup unik, yakni mengandalkan kecepatan dalam perkelahian. “Begitu lawan menyerang, langsung secepatnya kita harus tangkis dan balas”, kata Sisu, salah satu murid Bang Uci.
Demikian juga dijelaskan Dadang, murid Abah Uci yang lain, “Serangan lawan hanya ditangkis dengan cepat dan dalam waktu bersamaan pesilat langsung meluncurkan serangan balasan. Kecepatan menjadi sangat penting agar lawan tidak memiliki kesempatan untuk melakukan serangan susulan”. Serangan dilakukan dengan menggunakan buku jari dan ujung jari ke daerah-daerah rawan dari tubuh lawan. Adapun serangan kaki dilakukan dengan melakukan sapuan terhadap kuda-kuda lawan. Lagi-lagi semua serangan harus dilakukan dengan cepat. Kalau gerakannya lambat, lawan akan mudah melakukan antisipasi, katanya.
Usia yang sudah tidak lagi muda membuat intensitasnya dalam memberikan pelatihan langsung semakin berkurang. Tapi, dirinya tetap berusaha untuk memantau saat latihan berlangsung. “Butuh waktu tiga hingga empat bulan untuk menguasai pencak silat ini. Hal terpenting, mau serius dan sungguh-sungguh, itu resepnya,” ujar Bang Uci penuh semangat.
Dalam usia senjanya, Bang Uci berharap, Pemprov DKI terus memberikan peluang dan kesempatan bagi pecinta seni Betawi untuk bisa menggelar kegiatan kesenian. “Saya sudah tidak lagi muda, tapi masih bangga dan cinta terhadap kesenian pencak silat Betawi. Kalau bukan kita yang melestarikan budaya sendiri, siapa lagi,” tandasnya.
Melestarikan Silat Betawi
Dua pekan lalu, ratusan orang berseragam hitam-hitam memenuhi Gang Bedeng, Manggarai, Jakarta Selatan. Di sana, mereka memperagakan atraksi pencak silat yang mendapat sambutan cukup antusias.
Tidak kalah menarik perhatian adalah kehadiran beberapa figur penting, seperti Presiden Persekutuan Pencak Silat Antarbangsa (Persilat) Eddie M. Nalapraya, Ketua Harian Ikatan Pencak Silat Indonesia Rachmat Gobel, Ketua Umum Persatuan Pencak Silat Putra Betawi Deddy Suryadi, dan Ketua Harian Persilat Rustadi Effendi. Pusaka Djakarta adalah silat yang dipelajari Babe Uci dari gurunya, Mursadi bin Rabidun (wafat pada 1975). Guru saya (almarhum) belajar dari banyak guru, seperti Pak Salim, Pak Minan, Pak Ningnong, Mandor Peris, dan Pangeran Pakpak dari Cirebon, katanya. Pusaka Djakarta adalah silat yang dipakai oleh Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah atau Sayyid Al-Kamil dan para keturunannya.
Uci muda mulai belajar dari gurunya yang tinggal di Sawah Besar mulai 1943 sampai wafatnya pada 1975. Ketika itu usia beliau sudah 70-an, ujarnya. Babe Uci juga menyempatkan belajar aliran silat lain, seperti Cimande, Aliran Lima Waktu, dan Gerak Rasa. Niat utama saya adalah menjaga dan menjalin silaturahmi dengan guru-guru silat lainnya, katanya.
Setelah bekalnya dirasakan cukup, Babe Uci akhirnya membentuk perguruan silat. Dalam waktu tidak terlalu lama, Pusaka Jakarta akhirnya berkembang ke lima wilayah Jakarta. Hal ini karena Babe Uci menerapkan prinsip desentralisasi dengan membebaskan muridnya yang sudah mumpuni untuk mengajarkan ilmunya.
Biodata
H. SANUSI, Babe Uci. Lahir : Jakarta, 4 September 193, Istri : Nani
Pendidikan : Pesantren di Tasikmalaya selama 10 tahun
Pencapaian : (1) Mendirikan dan mengelola perguruan Silat Pusaka Djakarta, 1957-kini , (2) Film pertama “Djampang Mentjari Naga Hitam”, 1969, (3) Terlibat dalam pembuatan 28 film, (4) Memperoleh penghargaan, antara lain Anugrah Budaya dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, 2013.
Cabang
Tempat Latihan: Manggarai (Pusat) Rasamala, Pulo, Kalibata, DurenTiga, Kragilan (Banten) dan tempat lainnya.
Referensi
Nawi, G. J. 2016. Maen Pukulan Khas Betawi. Jakarta: pustaka obor Indonesia.
http://pencaksilat-pusakadjakarta-babeuci.blogspot.com/?m=1 / Diakses pada 2 September 2020
https://m.liputan6.com/regional/read/4164474/guru-besar-pusaka-djakarta-sarankan-pemerintah-bikin-sekolah-silat-indonesia / Diakses pada 2 September 2020
http://mujahidrs.blogspot.com/2011/05/pencak-silat-pusaka-djakarta.html?m=1 /
Wawancara langsung
Penulisan sejarah dengan tema sejarah lokal sangatlah diperlukan, bagaimana tidak, sejarah lokal banyak yang terkubur oleh perkembangan zaman salah satunya adalah silat dari berbagai daerah yang mulai terkikis oleh peradaban, Indonesia dianugerahi oleh kekayaan adat dan budaya serta suku dan etnis yang menyebabkan banyaknya keanekaragaman kearifan lokal, hal itu dikarenakan Indonesia memiliki geografis yang dilewati jalur perdagangan dunia, tema sejarah lokal harus diangkat karena kita hanya memiliki sedikit sumber. Semoga penulisan karya tentang sejarah lokal terus berkembang maju dan diminati.
RépondreSupprimerPure Titanium Earrings by T-Shirts
RépondreSupprimerBuy Pure Titanium price of titanium Earrings titanium mokume gane by T-Shirts on titanium wood stoves T-Shirts.com! Free titanium bicycle shipping titanium dioxide in food to 185 countries. Select locations.