Executive
Summary
Kebijakan Pangan Sultan Ageng Tirtayasa
MOH. ALI FADILLAH
Disampaikan
pada
Seminar
Peran Alumni Perguruan Tinggi dalam Pembangunan Masyarakat Banten
Dies Natalis Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Ikatan
Keluarga Alumni UNTIRTA
Serang,
3 Oktober 2004
Penalaran
Berdirinya
Kesultanan Banten menandai peralihan rezim dari kekuasaan Sunda Hindu berpusat
di Banten Girang ke tangan kekuasaan Islam Jawa berpusat di muara Cibanten
sejak 1527. Pembangunan kota Islam itu digambarkan oleh penulis Babad Banten
dalam sebaris kalimat “gawe kuta bata kalawan kawis”. Setelah mengalami
tiga kali suksesi yang mulus, sejak tahun 1596 perjalanan sejarah Banten
mengalami beberapa kali “pasang-surut”
yang disebut Dr. John N. Miksic (1986) sebagai periode “kejayaan berfluktuasi”,
kalau tidak dapat disebut golden age yang semu.
Selama
hampir tiga dasawarsa (1596 – 1624) Banten terus dilanda krisis. Kronik Sajarah
Banten dengan segala metaforanya, juga tidak luput mengungkapkan situasi
sulit itu, terutama pada setiap suksesi kekuasaan. Banyak kesaksian orang-orang
Portugis, Belanda, disusul oleh para pedagang Inggris, Denmark dan Perancis,
mencatat detil-detil peristiwa yang mengungkapkan betapa krisis kekuasaan
senantiasa melanda kerajaan itu, baik dipicu oleh masalah internal maupun
intervensi asing.
Dengan
konvergensi bukti sejarah itu, seorang sarjana Perancis, Dr. Claude Guillot
(1992) dengan yakin menyatakan bahwa Banten selama tiga puluh tahun itu telah
mengalami apa yang disebutnya la guerre civile (perang sipil) karena
politik ekonomi Banten yang hanya terfokus pada monokultur lada, sementara
kebutuhan pangan kurang mendapat perhatian. Ketika eksportasi lada stabil di
pasaran dunia, beras bisa diimpor, tetapi manakala terjadi gangguan (blokade
laut) oleh kekuatan ekonomi Belanda (VOC) di jalur perdagangan maritim,
eksportasi lada pun terhenti dan ketakseimbangan moneter mengancam stabilitas
ekonomi. Pada periode itu, Banten pernah mengalami apa
yang disebut ‘krisis pangan’, karena produksi padi terbatas sementara penduduk
semakin padat.
Dalam situasi sulit itu, banyak bermunculan
tokoh penyelamat dengan berbagai kebijakannya, tetapi diantara mereka, tokoh
yang patut dikenang dalam historisitas Banten adalah Sultan Ageng Tirtayasa, sebagai raja
Banten paling disegani oleh para pembesar VOC di Batavia karena kecerdasan, keteladan, dan keberaniannya.
Permasalahan
Dalam kasus ini, karya besar Sultan Ageng
Tirtayasa adalah contoh kongkrit dari sebuah kebijakan publik yang hendak
mempromosikan pentingnya melepaskan ketergantungan pada kekuatan asing yang
berakibat pada monokultur lada; sebuah ketergantungan ekonomi yang pada
akhirnya menghempaskan Banten pada situasi chaos sekitar empat abad
lalu.
Maka bisa dibilang bahwa Sultan Ageng adalah
sosok raja Banten yang mampu mengaktualisasikan kembali kebijakan swasembada
pangan bagi tanah dan rakyat Banten melalui proyek-proyek besar di bidang
pertanian. Tetapi sepenting itukah nilai
kesejarahan Sultan Ageng? Tulisan kecil ini akan mencoba mengulas kembali,
apakah kebijakan itu mampu mengeluarkan Banten dari krisis multi-dimensi dan
bagaimana gagasan-gagasan cemerlangnya dapat menjadi pelajaran berharga dalam
kerangka mengisi kekosongan pengetahuan kita tentang mentalitas orang Banten
bagi perencanaan pembangunan sekarang dan masa depan Banten.
Fragilitas monokultur lada
Ekonomi Banten menjelang abad XVII, seperti
dipresentasikan oleh banyak sumber, terutama berbasis pada tanaman dan
eksportasi lada yang diproduksi di pedalaman dan jajahan Sumatra Selatan
(Lampung dan Bengkulu). Masalah utama yang dihadapi “negara-kota” Banten adalah
karena ekonomi itu didasarkan pada kebijakan monokultur. Kemakmuran penduduk
juga digambarkan demikian kuat terasosiasi dengan keuntungan dari eksportasi
lada, yang telah membuat Banten mencapai reputasi sebagai negara pengekspor
lada kedua terbesar setelah Aceh di Asia Tenggara.
Kenyataannya, boom ekonomi itu tidak dibarengi dengan penyediaan
bahan pangan yang cukup untuk ibukota dengan penduduk mencapai 150.000 jiwa
dalam ruang mukim yang relatif kecil. Ketergantungan pada ekonomi lada ternyata
eqivalen dengan ketergantungan penduduk pada importasi beras dari
pelabuhan-pelabuhan pesisir utara Jawa Tengah, padahal sampai pada akhir abad
XV, Banten dikenal oleh para pedagang Portugis sebagai salah satu pelabuhan
yang mengekspor beras dan bahan pangan lain (Coressao, 1944).
Masalahnya, banyak bangsawan Banten menganggap perdagangan lada hanya
menguntungkan orang asing dan bahkan dipandang sebagai sumber konflik yang berakibat
terjadinya “perang saudara” . Oleh
karena itu, pemegang jabatan “wali
raja”, Pangeran Ranamanggala segera memutuskan untuk menghentikan semua
kegiatan perdagangan di seluruh teritorial Banten dan mewajibkan penduduk untuk
kembali menanam padi dan umbi-umbian akibat ketidakmampuan negara mengimpor
beras. Keputusan yang tidak populis itu
amat dirasakan akibatnya oleh seluruh populasi Banten, karena dengan tangan
besinya ia memerintahkan untuk membabat habis tanaman lada.
Tentu saja perubahan orientasi ekonomi yang
dioperasikan secara brutal itu membawa konsekuensi dramatik terhadap populasi
secara keseluruhan. Perang kota pun tak
dapat dihindarkan. Kronik Sajarah Banten menyebutnya Geger Pailir
(huru hara di hilir sungai). Dalam beberapa tahun, produksi lada menurun tajam,
meskipun sejumlah petani masih tetap menjual lada secara sembunyi-sembunyi,
tetapi harga lada di pasaran amat rendah. Pada tahun 1618, harga sekarung lada
masih berkisar antara 5,5 dan 6,5 real, tetapi setahun sesudah kampanye pencabutan
pohon lada (1620), harga di pasaran jatuh menjadi 0,75 real, bahkan tiga tahun
kemudian hanya 0,5 real. Akibatnya sangat fatal, sekitar 6000 pedagang
meninggalkan Banten dan mencoba peruntungan baru di Batavia yang baru saja
dibangun oleh VOC.
Beberapa pendatang mencatat, betapa penduduk
tidak sanggup lagi mengikuti perubahan-perubahan yang begitu radikal.
Kesengsaraan penduduk diperparah lagi oleh epidemi yang melanda Banten tahun
1625. Menurut estimasi saksi Belanda,
selama 5 bulan, sepertiga penduduk kota
musnah. Situasi politik semakin memburuk, ditambah lagi dengan blokade jalur
laut oleh Batavia untuk memastikan perjanjian monopoli, dan tekanan Mataram
dengan politik “unifikasi” seluruh Jawa yang menuntut pengakuan Banten atas
kedaulatan raja Jawa itu tahun 1626.
Krisis
kepercayaan segera dialami pemerintah Banten, seperti ditandai oleh pengabaian
untuk menanam lada kembali. Sebagian besar penduduk sudah terlanjur melanjutkan
usaha pertanian mereka dengan mencoba membuka lahan baru dan irigasi untuk padi
dan tebu. Anjuran pemerintah untuk kembali menanam lada menjadi tidak efektif.
Tetapi, tahun 1636, pemerintah terpaksa mewajibkan penanaman lada kembali.
Namun keputusan itu sudah terlambat, karena Batavia telah tampil sebagai
pesaing utama Banten.
Selama
lebih dari satu dasawarsa, berbagai huruhara, pemberontakan, dan gerakan
perlawanan bermunculan. Kebijakan penanaman kembali lada membangkitkan berbagai
pemberontakan di pedalaman; daerah yang justeru dahulu secara tradisional
produsen lada. Banten harus mengirim tentara 6000 orang untuk menghentikan
perlawanan mereka. Di jajahan Sumatra, situasi lebih tajam. Kepala-kepala lokal
di Silebar, Bengkulu, dan Lampung memanfaatkan kelemahan pemerintah pusat
akibat kesulitan-kesulitan internal untuk terus menentang kebijakan
sultan. Tanpa kendali yang ketat dari
otoritas Banten, mereka dapat leluasa menjual lada langsung ke pedagang asing.
Namun, untuk memastikan haknya, Banten mengirim tentara ke teritori jauh itu,
dan memberi sangsi kepada para pembangkang.
Proyek
pembangunan pertanian
Barangkali karena kompleksitas
masalah itu, banyak perhatian sejarawan difokuskan pada orde ekonomi
perdagangan Banten dengan berbagai konfliknya yang nyaris tanpa penyelesaian.
Sementara itu berbagai kebijakan sultan yang terkait dengan bidang pertanian
menjadi kurang diungkapkan.
Claude Guillot (1995), melalui
sebuah artikelnya, La politique vivirière du Sultan Ageng, merupakan
satu-satunya ahli yang mencoba mengingatkan kita untuk mengenang kembali
sejumlah proyek besar Sultan Ageng Tirtayasa dalam kebijakan agrikultur di
hampir seluruh pesisir utara Banten. Untuk mendapatkan informasi rinci di bawah
ini diringkaskan beberapa catatan dari Dagh Register yang selalu
tertarik untuk mendokumentasikan kebijakan Sultan Ageng melalui controleur atau
residennya di Banten.
Proyek
pertama Sultan dalam bidang pertanian dimulai pada bulan September 1569
dengan memerintahkan Kiai Arya Mangunjaya, salah seorang menterinya, mengumpulkan kepala-kepala masyarakat untuk
mengumpulkan bibit pohon kelapa sebanyak 100 unit/orang. Pohon-pohon itu harus
ditanam sepanjang sungai Ontong Java (Cisadane), tapal batas timur
dengan Batavia.
Proyek
kedua, berlangsung sejak tahun
1663. Proyek ini harus diselesaikan selama empat tahun, yaitu penggalian kanal
yang menghubungkan sungai Tanara ke sungai Pasilian (Cimanceuri) melewati
Balaraja. Sultan sendiri memimpin keberangkatan 150 kapal dengan 500 orang
pekerja.
Proyek
ketiga terjadi tahun 1664, sultan merealisasikan dua proyek hidraulik besar.
Selama musim kering mengerjakan pembangunan bendungan. Sayangnya kita tidak
tahu di mana lokasinya. Hanya tahu pembangunan disertai oleh pelarian dari
Batavia.
Proyek
keempat (1670-1672), dimulai
pada bulan Oktober 1670 memutuskan untuk menggali kanal baru antara
Pontang dan Tanara. Dalam proyek itu dilibatkan tentara 16.000 orang di antara
mereka ada 200 pelarian Batavia. Sultan menempatkan saudara iparnya: Kiai
Ngabehi Wangsanala untuk memimpin pekerjaan itu. Kurang dari satu bulan
kemudian, sementara kanal lainnya sedang digali, sultan didampingi beberapa
pembesar kerajaan berangkat ke lokasi proyek besar itu memimpin 10.000 orang.
Proyek
kelima (1675-1677) membangun
bendungan di atas sungai Pontang, agar air Ciujung dapat dialirkan ke kanal
Tirtayasa. Selama itu pula dibangun pekerjaan irigasi di bagian barat Banten, memperbaiki
irigasi sawah di daerah Anyer. Pada saat yang sama, Sultan Ageng memerintahkan
penggalian kanal 3 km panjangnya di daerah Tirtayasa, dekat Tanara di mana
sultan mendirikan istana. Di dekat lokasi proyek Tirtayasa, raja sepuh itu
memutuskan untuk menggali lagi kanal baru. Sebanyak 2/3 populasi laki-laki dari
ibukota mengikuti operasi dan adanya larangan 1/3 penduduk meninggalkan kota
untuk alasan keamanan. Pekerjaan terbesar terakhir adalah membuat bendungan
selama musim kering di sungai Tanara di
mana keluarga raja dan pembesar kerajaaan dapat bersenang-senang di air kanal
Tirtayasa. Realisasi proyek ini dipercayakan kepada saudaranya: Pangeran Kidul.
Jika
boleh disimpulkan, kelima proyek besar Sultan Ageng di bidang pertanian itu
harus dilihat sebagai sebuah “gerakan nasional” yang pernah dikampanyekan oleh
seorang pemimpin Banten. Selama 30-an tahun, selusinan proyek besar telah
direalisasika melalui koherensi berbagai pekerjaan. Secara geografis bisa
dicermati bahwa proyek-proyek suksesif itu tercatat sebagai kebijakan publik
yang sesungguhnya sudah dielaborasi sebelum tahun 1659, artinya sejak awal
pemerintahannya, yang mencanangkan penataan semua daratan pantai yang luas,
dari Anyer sampai ke Tangerang.
Proyek besar itu bertujuan bukan
hanya untuk pengembangan tanaman pangan tetapi juga memenuhi rencana pemerintah
untuk restrukturasi semua teritori. Estimasi sementara untuk menunjukkan
hebatnya realisasi pekerjaan itu dapat ditunjukkan oleh durasi dan besaran
pekerjaan yang didukung oleh para pejabat tinggi dan keterlibatan berbagai
elemen masyarakat dalam jumlah besar. Selama tiga dasawarsa itu, kanal yang
sampai sekarang masih dikenang masyarakat sebagai “terusan sultan” atau “parit
pangeran” mencapai panjang total antara 30 - 40 km. Dengan dukungan tiga buah
“dam” yang diperkirakan berada pada tiga sungai utama, pekerjaan hidraulik itu
dapat mengairi 30 - 40.000 ha sawah
disertai dengan ribuan ha untuk kebun kelapa. Perlu ditambahkan: sejak proyek
dimulai sampai selesai pekerjaan,
terjadi migrasi 30.000 penduduk Banten menempati daerah pertanian baru.
Penutup
Sesungguhnya
periode kemerdekaan Banten hanya berlangsung selama 150-an tahun (1527-1682). Pada periode itu,
Banten diperintah oleh lima raja (1) Maulana Hasanuddin (1527-1570?), (2)
Maulana Yusuf (1570?-1580?) diselingi oleh pemerintahan perwalian (1580-1594),
(3) Maulana Muhammad (1594-1596), diselingi oleh pemerintahan perwalian
(1596-1624), (4) Sultan Abdul Kadir (1624-1651), (5) Sultan Ageng Tirtayasa
(1651-1682).
Kita
bisa memperkirakan bahwa pada periode awal kesultanan, produksi agrikultur
lebih dari cukup untuk menghidupi kota dengan penduduk belum padat. Maulana Yusuf adalah raja pertama yang sejak
pertengahan abad XVI, mengimplikasikan bermulanya politik pembangunan bidang
pertanian pada sekitar tahun 1550. Dalam kronik lokal, sang raja mendapat
sanjungan melalui ungkapan: kuat nambut karya […] kathah karya kabecikan,
asusuk, abendung kali karana aweh manpaat (Sajarah Banten, pupuh
XXII, 2/3). Sumber itu menunjukkan bahwa
raja Banten kedua telah memiliki investasi di sektor pertanian. Tetapi
sepeninggalnya, setelah diselingi pemerintahan Muhammad yang hanya 2-3 tahun,
ada periode perwalian yang panjang di mana para pedagang menguasai post-post
penting pemerintahan antara 1580-1609.
Tampak
sekali, periode sebelum Sultan Ageng naik tahta, elit kota terbagi ke dalam dua
kelompok besar. Para pedagang tentu saja hanya berpikir untuk mengembangkan
perdagangan dengan mengesampingkan semua intervensi kekuasaan politik. Mereka
tampaknya selalu memandang penting produk-produk importable dan exportable.
Sementara
itu kebangsawanan tampak mempunyai visi berbeda dengan selalu memikirkan
masalah pertanian. Tampak jelas bahwa dalam kronik Sajarah Banten, mereka
lebih terpusat untuk memperjuangkan pemberdayaan trilogis: kekerabatan, kesatuan agama, dan pertanian, yang
cenderung pada memperjuangkan swasembada pangan. Kecenderungan autarkis itu amat kontradiktif
dengan semangat burjois yang dianut para pedagang dalam eksportasi lada.
Bagian dalam kota (intra-muros) hanya didiami oleh orang Banten yang
harus Islam. Sedangkan warga dari bangsa-bangsa lain tampak didorong ke luar
tembok kota bahkan sampai ke pemukiman pinggiran yang terletak sejauh dua
sungai di mana mereka dapat mencurahkan segala pikiran dan tenaga untuk
perdagangan.
Jadi
kita berhadapan dengan sebuah masyarakat yang betul-betul kontras dengan elit
bangsawan dan administratif, pribumi dan secara etnik homogen, terikat pada
tanah dan sebuah komunitas niaga yang orang asing dari berbagai bangsa, yang
secara simbolik, ada penolakan hak memiliki tanah. Pemisahan yang tegas tak
ragu-ragu menjelaskan instabilitas pada sebuah negara dagang, karena para
pedagang bisa dengan mudah pergi ke pelabuhan lain.
Kondisi
ini bisa dimengerti bahwa menghadapi situasi politik yang rentan konflik itu,
Sultan Ageng harus dengan tegas menentukan sebuah kebijakan yang menguntungkan
semua pihak dengan cara tetap menghidupkan perdagangan, tetapi diperkuat dengan
ketahanan pangan dalam negeri. Kebijakan ekonomi pasar kemudian diserahkan
kepada seorang syahbandar keturunan China, Kiai
Ngabehi Kaytsu yang dengan kesetiaannya kepada Sultan telah betul-betul
memainkan peran dalam mengefektifkan perdagangan maritime Banten.
Dalam
kerangka mengoperasionalkan kebijakan pertaniannya, Sultan Ageng, masih tetap
dengan semangat petani warisan Jawa, ingin mengembalikan Banten pada konsep
“negara agraris”. Maka penyediaan pangan
dalam negeri harus menjadi prioritas untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk.
Dengan kebijakannya itu, kesenjangan ekonomi dan politik yang telah menjadi
sumber malapetaka dapat diatasi secara menyeluruh.
Sekarang, tidak dapat disangkal
bahwa selama tiga puluh tahun, Sultan Ageng telah berhasil mewujudkan
“idealisme” untuk mencapai sebuah harmoni sosial di seluruh teritorial Banten,
untuk sebuah kehidupan yang makmur dan damai.
Kebijakan Sultan telah mampu merealisir sebuah tipe masyarakat yang
sinergis dalam sebuah negara agraris yang diidealkan memiliki kearifan lokal
menghadapi persaingan ekonomi global pada akhir abad XVII. Sebuah masyarakat autarkis memang harus
didahului dengan swasembada pangan sebelum model ekonomi makro berjalan dengan
segala konsekuensi sosial dan politiknya di “Negara” Banten.
Keseimbangan
ekonomi, dalam konteks Banten ini, bergantung pada bagaimana usaha pemerintah
mampu membangun konsiliasi antara kepentingan perdagangan dan kepentingan
negara. Fakta-fakta sejarah itu dengan sendirinya merupakan sebuah refleksi
model masyarakat agraris dalam menghadapi berbagai perubahan ekonomi dunia yang
kerap sulit diterka.
Ketidakberdayaan
Sultan Ageng menghadapi kekuatan militer Belanda pada tahun 1682 adalah cerita
lain dari episode sejarah Banten. Tetapi, kekalahan Banten itu harus dicatat
sebagai sebuah perjuangan hidup-mati untuk mempertahankan prinsip bahwa
kedaulatan Banten sejauh Cisadane di
timur dan Anyer di pesisir barat telah ditentukan oleh integrasi masyarakat ke
dalam semangat trilogi pembangunan yang mempersatukan berbagai ikatan
genealogis, semangat keagamaan, dan kekuatan agraris dalam sistem sosial dan
ekonomi politik yang berimbang antara kepentingan pemerintah dan kepentingan
rakyatnya di seluruh wilayah Banten.
Maka,
dari sudut apapun pandangan kita, karya monumental Sultan Ageng Tirtayasa yang
sekarang namanya diabadikan untuk sebuah universitas negeri di Banten, dan juga sebagai “Pahlawan Nasional”, sepatutnya bukan hanya untuk dikenang, tetapi dapat menjadi bahan
pengkajian berbagai disiplin ilmu untuk mengungkapkan kembali orisinalitas
gagasan, pemikiran, tindakan dan semangat kenegarawanan sebagai investasi besar
dalam sejarah politik, ekonomi dan
sosial di kawasan Asia Tenggara.
Referensi