Kalpataru & Kehati Award
Dengan semua kearifan yang relatif tetap terjaga, semestinya
orang Baduy bukan sekedar ‘obyek’ dalam destinasi pariwisata. Tetapi yang
terpenting, mereka adalah tipe petani yang memiliki semua kualitas untuk
menghadapi berbagai tantangan zaman. Karena komitmen dan upayanya untuk
memelihara lingkungan, pada tahun 2004 (sudah cukup lama memang), desa adat ini
telah memperoleh anugerah Kalpataru dan Kehati Award.
Penganugerahan lingkungan eloknya menjadi teladan bagi
kita, sekurang-kurangnya bagi wilayah sekitar, dalam mengelola sumberdaya alam
yang kian terdesak oleh berbagai kepentingan. Setidaknya kita perlu merenungkan
kembali, bagaimana sebuah masyarakat yang kerap dianggap “primitif”, illiterate, dan tak kenal teknologi
modern, ternyata mampu menghidupi sendiri sekaligus melestarikan semua
sumberdaya bagi kehidupan dan ekosistem sekitar. Maka mudah dimengerti mengapa
orang Baduy menolak segala bantuan yang berdampak pada kerusakan alam yang
pasti akan berdampak pada degradasi sosial. Dalihnya memang buyut
(melanggar adat), namun ini sebuah fenomena self-conservation yang sulit
ditemukan analognya di daerah lain.
Sesungguhnya prioritas mereka bukan pada inovasi
infrastruktur, apalagi berdalih kemiskinan dan keterbelakangan, tetapi lebih
pada konservasi alam dan budaya baik bagi intra-generasi maupun antar-generasi.
Kelestarian itu bukan cuma penting bagi kontinuitas sumberdaya, tetapi juga
menjadi ‘jaminan’ bagi sebuah kemandirian agraris sebagai prinsip fundamental
bagi keberlanjutan sebuah tradisi. Maka harus diakui bahwa uniformitas nilai
kelokalan Baduy ternyata mampu membangun sebuah kemandirian. Lantas, bagaimana
dengan kita? Jika gamang bertanya kepada bangsa lain tentang kedaulatan pangan
dan kelestarian alam, kini saatnya kontemplasi terarah pada kearifan lokal di
Desa Kanekes. Jadi tak keliru, jika homebase
Baduy adalah back to nature bagi
kita (Moh. Ali Fadillah).
Aucun commentaire:
Enregistrer un commentaire