Sumber
Informasi Kotawaringin
Kotawaringin adalah
nama sebuah kerajaan kecil yang didirikan pada awal abad XVII dengan daerah
kekuasaan mencakup Kabupaten Kotawaringin Barat dalam wilayah Propinsi
Kalimantan Tengah. Dengan luas 21.000 km2, Kotawaringin sejak masa awal sejarah
telah memiliki sumber-sumber alam yang melimpah terutama hasil hutan dan bahan
tambang. Dari angka-angka statistik mulai awal abad XIX sampai pertengahan abad
XX, diketahui penduduknya mengalami pertumbuhan relatif lambat, yang hanya
didiami oleh 5 sampai 10 jiwa per Km2 (Fadillah, 1996). Menurut Sensus Penduduk
Indonesia Tahun 2010, penduduk Kabupaten Kotawaringin Barat bersama daerah
otonom pemekarannya: Sukamara dan Lamandau berjumlah 343.002 jiwa dengan tingkat kepadatan mencapai 17,60.
Sebuah laporan
detil yang disusun oleh Von Gaffron pada tahun 1853 menunjukkan bahwa penduduk
Kotawaringin terdiri dari beberapa kelompok etnik dan ras. Dari 7.643 jiwa
penduduk, populasi Dayak menempati urutan terbanyak, diikuti oleh orang Melayu
di posisi kedua, sedangkan orang Bugis, Jawa, Arab dan China
berjumlah tidak lebih dari 100 orang (Pijnappel Gzn., 1860).
Dalam historiografi
Indonesia, nama Kotawaringin sangat kurang dikenal. Sejarahnya sendiri tidak
pernah diungkapkan secara persis baik untuk mewakili sebuah periode maupun
sebuah wilayah. Tidaklah mengherankan apabila orang menganggap Kotawaringin kurang memainkan peran penting dalam sejarah nasional, padahal kisah the open settlement
Kotawaringin telah dibukukan dalam Carita
Lambung Mangkurat dan Turunan Raja-raja Banjar dan Kotawaringin;
sebuah kronik dinasti raja-raja Banjar.
Penemuan manuskrip
itu telah lama menarik perhatian para filolog Belanda, misalnya J. Hageman (1857).
Peneliti lain dapat disebut Van der Ven (1860) yang telah menerbitkan sebuah
artikel tentang silsilah raja-raja
Banjarmasin. Penelitian lebih seksama telah dilakukan oleh A.A. Cense (1928)
untuk penyusunan disertasi dan dilanjutkan oleh J.J. Ras pada tahun 1952,
juga untuk disertasinya (1990). Tetapi meskipun manuskrip yang sekarang lebih
populer disebut Hikayat Banjar itu
dalam beberapa bagiannya masih bersifat legenda, ia dapat digunakan sebagai
salah satu sumber sejarah Kesultanan Banjarmasin dan juga Kotawaringin. Berdasarkan
pada manuskrip itu diketahui bahwa
kesultanan Banjarmasin pada abad XVII telah memainkan peran penting di pesisir
selatan Kalimantan (Cense, 1928: 109; Ras, 1990: 440).
Mengingat peran
historik Banjarmasin cukup penting di Nusantara, banyak sejarawan Eropa menaruh
minat untuk mengkajinya lebih dalam. Sebagai contoh L.C.D. van Dijk, yang bersumber pada arsip-arsip VOC, telah mengungkapkan pentingnya
kerajaan itu dalam hubungan perniagaan dan sekaligus politik dengan maskapai dagang
Belanda pada abad XVII dan XVIII (Dijk, 1962: 56-60). Demikian pula sejarawan
Inggris, Willi O. Gais (1922: 21-24), juga telah memusatkan kajiannya pada
hubungan perdagangan Banjarmasin dengan maskapai dagang Inggris, East India Company. Sebuah kajian menarik juga dilakukan oleh
Rees (1865-7), yang telah mengungkapkan secara rinci krisis politik yang
terjadi di Banjarmasin pada abad XIX setelah mana Kesultanan Banjar harus
mengakui kedaulatan Belanda di daerah kekuasaannya.
Sayangnya, meskipun
kepangeranan Kotawaringin disebut sebagai penerus dinasti Banjar, perhatian
peneliti lebih banyak dicurahkan pada kesultanan Banjar daripada Kotawaringin.
Kecenderungan pada subjek terpilih itu tidaklah sukar
untuk dimengerti, karena orang mengetahui bahwa Banjarmasin
sejak abad XVI telah memainkan peran penting dalam bidang politik dan ekonomi
perdagangan di mana para pedagang mancanegara seperti Belanda, Inggris dan Cina
selain pedagang dari daerah lain di Nusantara, datang dan berniaga di Banjarmasin. Sebaliknya Kotawaringin tetap saja
dikenal sebagai sebuah kerajaan minor yang wacana historisnya masih tetap
diselimuti legenda. Sebabnya, karena sampai tahun 1990-an
belum ada penelitian seksama dari disiplin sejarah, arkeologi, antropologi
dan ilmu-ilmu sosial lain di daerah itu.
Diawali dengan
keinginan mengungkapkan “the silent
history” Kotawaringin melalui sumber-sumber informasi yang
serba sedikit itu, dengan sponsor Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Jakarta)
dan Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (Paris), kami telah
melakukan penelitian arkeologi di Kotawaringin Lama antara tahun 1991 dan 1994, dan diketahui bahwa Kotawaringin Lama adalah bekas
ibukota pertama Kerajaan Kotawaringin. Penelitian telah
menemukan bukti-bukti arkeologis yang menunjukkan kekunaan dan sekaligus
kompleksitas ibukota, yang antara lain diindikasikan oleh konsentrasi sisa
bangunan kuna seperti “keratin”, masjid
typique,
makam-makam raja, serta struktur lainnya. Sementara ragam aktivitas pemukiman
telah ditandai oleh deposit pecahan keramik impor terutama berasal dari Cina,
Thailand dan Vietnam yang menunjukkan kurun waktu tertua dari abad XIV sampai
abad XVII, serta ratusan fragmen wadah tembikar dari berbagai bentuk.
Dengan demikian,
baik peninggalan yang bersifat monumental maupun artefaktual, keseluruhannya
telah menjadi bukti bahwa sejak abad XVII di Kotawaringin pernah berkembang
sebuah masyarakat yang telah teroganisir baik dalam domain sosial politik, ekonomi maupun budaya. Dengan mengacu
pada data arkeologis, beberapa manuskrip dan sumber-sumber yang lebih kontemporer, deskripsi lebih jelas
tentang tipe kota yang tumbuh dan berkembang di tepi-tepi
sungai Kotawaringin (Lamandau dan Arut) diharapkan dapat berkontribusi bagi
pengayaan pengetahuan kita tentang awal mula dan perkembangan kota di
Kalimantan (by Moh. Ali Fadillah)***
Bibliography
Behrend, Timothy.
1985. "Kraton and Cosmos in Traditional Java", Archipel, 37: 173-185; Cense, A.A. 1928. De Kroniek van Bandjarmasin, Leiden: Santpoort (NH); Chijs, Van
der. 1891. Dagh-Register Anno 1640-41,
Batavia; Dijk, L.C.D. van. 1862. Nederlandsch vroegste betrekkingen met Borneo, den Solo-Archipel,
Cambodja, Siam- en Cochin-Chine, Amsterdam; Ditlinbinjarah,
1980a. "Laporan Studi Kelayakan dan Pemugaran Bangunan Astana Alnursari,
Kotawaringin Lama", Jakarta: Depdikbud; Ditlinbinjarah,
1980b. "Laporan studi kelayakan dan pemugaran Kraton Kuning Pangkalan
Bun", Jakarta: Depdikbud; Fadillah, Moh. Ali.
1996. "Kotawaringin (Bornéo) au XIXe Siècle, Etude Archéo-historique sur
l’Etat, les Cités et le Commerce", Thèse de
Doctorat, Paris: EHESS; Gais, Willi O. 1922. The Early relation of England with Borneo to 1805, Bern; Guillot,
Claude. Lukman Nurhakim, Sonny Wibisono. 1994. Banten avant l’Islam, Etude archéologique de Banten Girang (Java - Indonésie) 932? -1526, Paris:
EFEO; Hageman, J.
1857. "Bijdrage tot de Geschiedenis van Borneo", TBG, 6, hal. 220-246; Halewijn, M. 1838.
"Eenige Reizen in de binnenlanden van dit Eiland, door eenen Ambtenar van
het gouvernement, in het jaar 1824", TNI,
Ie jaarg., vol. 2, hal. 183-200; Heine-Geldern,
Von. 1956. "Conceptions of State
and Kingship in Southeast Asia", paper on
Southeast Asia Program Department of Asian Studies, n° 18, Cornell
University, hal. 20-35; Kielstra,
E. B. 1891. "De Ondergang van het Bandjermasinsche Rijk", De Indische Gids, vol. II, pp. 1360-1386; Lombard,
Denys. 1979. "Regard nouveau sur les ‘pirates malais’ (Ière moitié de XIXe
siècle)", Archipel, 18, hal.
231-249; Lombard, Denys. 1984. "Guide Archipel IV:
Pontianak et son arrière-pays", Archipel, 28, hal. 77-97; Mallinckrodt,
J. 1923. "De Dorpsofferplaats bij de Dajaks van Kota Waringin", Kolonial Tijdschrift, 23e jaargang, hal.
533-547; Mallinckrodt, J. 1925. "Een en Ander over de
Gebruiken aan het Kotawaringinsche Hof", Kolonial Tijdschrift, 14e jaargang, hal. 263-301; Meyer,
J. J. 1899. "Bijdragen tot de Kennis der Geschiedenis van het Voormalig
Bandjermasinsche Rijk, thans Residentie
Zuid-en Ooster-afdeeling van
Borneo", De Indische Gids, 21e
jaargang, I, hal. 257-280; Mills, J.V. 1979. "Chinese Navigations in
Insulinde about A.D. 1500", Archipel,
18, hal. 69-93; Nasir, Abdul Halim. 1985. Pengenalan Rumah Tradisional Melayu Semenanjung Malaysia, Kuala
Lumpur: Darul Fikir; Noorlander, J. C. 1935. Bandjarmasin en de Compagnie in de tweede halft der 18de eeuw,
Leiden; Paulus, J.(ed.). 1917-1940. Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië, ‘s-Gravenhage: MN; Pijnappel
Gzn., J. 1860. "Beschrijving van het westelijke
gedeelte van de Zuid-en Ooster- afdeeling van Borneo", BKI, 7, hal.. 243-346; Ras, J. J. 1990 .
Hikayat Banjar, Ed. II, Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka; Rees, W.A. van. 1865-7. De Bandjermainsche Krijg van 1859-1863, Arnhem; Riemsdijk,
1896. Dagh Register, Anno 1624-1629,
Batavia; Riwut, Tjilik. 1993. Kalimantan Membangun, Yogyakarta: Tiara Wacana; Saleh, Idwar. 1981/2. Banjarmasih, Banjarmasin: Museum Negeri Lambung Mangkurat
Propinsi Kalimantan Selatan; Saleh, Idwar. 1975. "Agrarian radicalism and
movement of native insurrection in South Kalimantan (1858-1865)", Archipel, 9, hal. 135-144; Sudibyo,
Yuwono. 1984. "Mesjid Kiai Gede Kotawaringin", Kamandalu, n° 3, Jakarta: Ditlinbinjarah, hal. 23-24, 27; Ven, A. Van der. 1860. "Aanteekeningen
omtrent het Rijk Bandjermasin", TBG,
9, hal. 93-133.
Aucun commentaire:
Enregistrer un commentaire