Jurnal
Kebudayaan dan Pariwisata IX/11, 2004.
Pusitbang Kemenbudpar, Jakarta.
perjalanan ke desa kanekes,
banten selatan:
beberapa PERMASALAHAN PARIWISATA
baduy
MOH. ALI FADILLAH
Sampai sekarang, wisata budaya Baduy masih terus menjadi subyek promosi pariwisata di Propinsi Banten. Pada setiap musim libur tahunan, kawasan pemukiman Baduy di Desa Kanekes telah menjadi salah satu destinasi wisata baik yang berbasis lingkungan maupun budaya. Namun kunjungan wisatawan itu tetap membawa dampak, di satu pihak memberi manfaat finansial bagi warga sekitar tetapi di lain pihak juga menimbulkan masalah sosial termasuk juga kelestarian lingkungan. Kunjungan PATA Task Force telah merekomendasikan pemecahan masalah tersebut, tetapi sampai saat ini belum mengarah kepada rencana aksi. Sebaliknya, semakin tinggi frekuensi kunjungan wisatawan semakin beragam pula dampak yang ditimbulkannya. Beberapa masalah di lapangan telah menunjukkan semakin rumitnya persoalan pariwisata Baduy, namun sampai kini instansi-instansi pariwisata belum memberikan perhatian seksama terhadap perkembangan pariwisata Baduy.
Pendahuluan
Dalam berbagai bentuk promosi pariwisata, perkampungan Baduy selalu menjadi
salah satu destinasi penting bagi perjalanan wisata ke daerah Banten.
Lebih-lebih sekarang, sejak daerah bekas Keresidenan Banten menjadi Propinsi
pada tahun 2001, promosi pariwisata semakin gencar dilakukan baik oleh instansi
pariwisata propinsi, kabupaten maupun oleh sejumlah tour operator atau travel
agent.
Dengan menempuh jarak hanya 150 km dari Jakarta ke arah barat daya,
komunitas Baduy selalu diperkenalkan
sebagai sebuah potret kehidupan unik suku asli yang berdiam di pegunungan
selatan Banten. Nama Baduy pun semakin popular di kalangan wisatawan yang
mengenalnya sebagai komunitas asli di pegunungan Sunda (Sunda Highlands) yang masih mempraktekan kepercayaan asli (agama Sunda
Wiwitan) dan tradisi kemasyarakatan yang khas serta menggunakan bahasa
Sunda tua.
Eksotisme lain yang diperkenalkan dalam dunia pariwisata adalah bahwa orang
Baduy tetap mempertahankan kebudayaan mereka meskipun zaman telah berubah. Satu
di antara keunikan itu ditunjukkan oleh kekuatan mereka untuk menolak berbagai
unsur teknologi modern seperti listrik, irigasi, kendaraan bermotor, paku,
sabun dan cermin. Fenomena paling menarik dari wisata Baduy ini adalah
kekaguman mereka pada kenyataan bahwa di zaman modern ini, komunitas Baduy
masih tergolong masyarakat illiterate (non baca-tulis), dengan alasan
bahwa agama mereka melarang pendidikan. Pelanggaran terhadap segala sesuatu
yang dianggap tabu (buyut) itu akan berakibat pada permanent exile
(keluar dari desa adat Baduy).
Daya tarik wisata lain dipancarkan pula oleh kenyataan bahwa struktur dan
sistem sosial masyarakat Baduy sangat unik bukan saja di Indonesia tetapi juga
dalam kawasan budaya Asia Tenggara. Banyak unsur budaya tua seperti dari zaman
Nirleka (prasejarah), Hindu-Budha, dan juga Islam telah terserap dan
disesuaikan dengan tradisi kebudayaan Baduy. Potensi budaya tersebut
memungkinkan orang untuk mengelompokkan komunitas Baduy sebagai “Museum Hidup”
yang penting bukan saja untuk berbagai studi ilmu-ilmu sosial tetapi juga bagi
kunjungan wisatawan baik untuk kepentingan edukatif maupun rekreatif.
Salah satu keunikan nyata yang tetap terpelihara terdapat di kampung Baduy
Dalam. Dengan total penduduk sekitar 8000 jiwa, mereka amat taat pada aturan
adat (pikukuh) yang diketuai oleh ketiga pu’un (ketua adat) di
Cibeo, Cikartawana dan Cikeusik yang sangat kharismatik. Salah satu bentuk
pelestarian adat itu telah ditunjukkan oleh Orang Baduy dengan tetap
mempertahankan tradisi membangun pemukiman. Rumah-rumah tinggal mereka yang
dikenal dengan istilah sula nyanda dibuat dalam bentuk khas dari bahan
kayu dari hutan sekitarnya. Demikian pula semua peralatan rumah tangga terbuat
dari bahan-bahan sederhana yang disediakan alam sekitar.
Mata pencaharian mayoritas orang Baduy bertani secara sederhana (ladang),
mengumpulkan kayu untuk dapur dan juga bahan bakar. Bagi keperluan spiritual,
masyarakat Baduy juga mengenal apa yang disebut upacara keagamaan baik untuk
kepentingan pertanian, menjaga kelestarian alam, serta juga kesehatan dan
keselamatan mereka.
Semua jejak budaya tradisional Baduy itu kini seolah “dijual” oleh berbagai
agen pariwisata, tetapi dari sini pula masalah bermunculan. Melalui promosi
itulah, kini Desa Kanekes menarik banyak pengunjung, dan sekaligus juga menarik
penduduk luar untuk ikut mengambil bagian dalam industri jasa pariwisata. Maka
tidak heran di sejumlah tempat berbagai pelanggaran adat menjadi sulit lagi
diawasi secara seksama oleh komunitas Baduy sendiri. Demikian pula di
jalur-jalur tracking / hicking wisatawan banyak ditemukan
sampah. Hal itu telah menyebabkan masyarakat Baduy melakukan pembersihan dalam
periode tertentu.
Berkenaan dengan dampak kegiatan pariwisata itu, banyak tokoh masyarakat
mempertanyakan kembali kepentingan pariwisata bagi masyarakat Baduy sendiri.
Beberapa instansi bahkan telah melakukan upaya penertiban sarana pariwisata di
pintu masuk utama di Ciboleger, sekaligus dilakukan upaya-upaya pengamanan agar
kenyamanan daerah tujuan wisata dan wisatawan mendapat kenyamanan yang
seimbang. Namun kenyataannya masalah-masalah lingkungan dan sosial budaya
tekait dengan kegiatan pariwisata belum dapat diidentifikasi secara komprehensif,
sehingga berbagai keberatan dari masyarakat Baduy belum juga terselesaikan
sampai saat ini.
Seluruh aktivitas budaya baik yang
terkait dengan agrikultur maupun pengelolaan hutan di desa Kanekes selalu
menarik perhatian pengunjung. Wisatawan tentu saja menjadi pengunjung dengan
frekuensi tinggi, namun tidak jarang pula menarik sejumlah pejabat baik dari
Jakarta maupun dan daerah-daerah di Propinsi Banten.
Beberapa masalah penting terkait
dengan keberadaan masyarakat Baduy tersebut ternyata telah menjadi perhatian
Departemen Pertanian. Kunjungan Dr. Ir. Sumarno, sebagai Direktur Jenderal Bina
Produksi Hortikultura, ke Desa Kanekes pada tanggal 18 - 19 Mei 2004 lalu
sesungguhnya merupakan cerminan kepedulian pemerintah pusat terhadap
masalah-masalah yang timbul dalam masyarakat Baduy. Dengan kunjungan
tersebut diharapkan dapat dirumuskan
beberapa permasalahan krusial dan mengajukan sejenis rekomendasi strategis yang
erat kaitannya dengan bidang pertanian khususnya bagi pengembangan tanaman
buah-buahan yang potensial di desa Kanekes dan sekitarnya.
Setelah melakukan perjalanan dari Serang, ibukota Propinsi Banten dan
dilanjutkan dengan singgah di pendopo Kabupaten Lebak di Rangkasbitung untuk
sebuah pertemuan resmi dengan Bupati Lebak, Dr. Ir. Sumarno bersama beberapa
pejabat dari Departemen Pertanian, Dinas Pertanian Propinsi Banten, Kabupaten
Tangerang, Serang, Pandeglang serta Lebak memasuki wilayah Kecamatan Leuwidamar
sekitar jam 21.00 WIB.
Dengan beberapa pertimbangan teknis, Dirjen Hortikultura dan beberapa
pejabat dari Deptan, Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Propinsi Banten, dan
Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Lebak menginap di kediaman H. Sudirman, yang
juga pernah diinapi mantan Presiden Soeharto sewaktu berkunjung ke Baduy, di
Desa Cisimeut sekitar 7 km di luar Desa Kanekes. Sedangkan rombongan lainnya
melanjutkan perjalanan ke Ciboleger (gerbang utama) untuk masuk ke Desa
Kanekes. Rombongan kedua yang terdiri dari Kepala Dinas Pertanian dan
Pertenakan Kabupaten Tangerang, Serang dan Pandeglang beserta dengan jajarannya
itu, sambil mempersiapkan perjalanan esok hari ke Cibeo, bermalam di kampung
Kaduketug III (Babakan Jaro), sebagai pemukiman Baduy Luar yang bertetangga
dekat dengan Ciboleger (gerbang masuk ke perkampungan Baduy). Di kampung inilah
Jaro Dainah, Kepala Desa Kanekes yang bertugas khusus menangani masalah-masalah
administratif desa Kanekes berkedudukan.
Pagi hari, sekitar jam 7.00 WIB, rombongan Dirjen Bina Produksi
Hortikultura sudah tiba di Ciboleger dan langsung menemui Jaro Dainah ditemani
beberapa pejabat adat Desa Kanekes yang sudah menunggu di kediaman resminya di
Kaduketug babakan. Setelah melakukan pembicaraan singkat, ritual penerimaan
tamu secara resmi dilakukan yang kemudian diakhiri dengan tukar menukar
cinderamata. Dirjen dan beberapa anggota rombongan secara simbolis diberi
pakaian khas Baduy yang terdiri dari satu stel pakaian khas termasuk ikat
kepala.
Setelah membahas beberapa cara paling mudah untuk berjalan kaki sejauh
kira-kira 10 km menaiki dan menuruni bukit terjal, sekitar 30 orang
diberangkatkan menaiki jalan setapak ke arah selatan dengan tujuan utama Cibeo,
salah satu di antara tiga kampung Baduy Dalam yang relatif lebih dekat, untuk
bertemu dengan Pu’un Cibeo, Bapak Nakiwin.
Rombongan tamu dari kota itu dipimpin oleh Jaro Dainah yang didampingi
beberapa pejabat adat dari Baduy Dalam di bawah koordinasi Sdr. Alim alias Ayah
Mursid.
Dalam berbagai kesulitan mendaki dan menuruni bukit terjal pegunungan
Baduy, rombongan tampak merasakan keaslian alam, ketika meluangkan pandangan ke
seluruh landskap dari punggung perbukitan. Seluruh pandangan mata rombongan itu
dapat menikmati pemandangan alam yang asri dan tenang di kejauhan. Di kiri
kanan jalan setapak tampak pula pemandangan khas ladang-ladang masyarakat Baduy
dengan latar belakang berupa hutan primer dan sekunder yang demikian terjaga
kelestariannya. Demikian pula sungai-sungai yang tetap mengalirkan air yang
bening, tampak sekali ibarat lukisan alam ketika berada di atas sasak
rawayan (jembatan terbuat dari konstruksi bambu) yang dibuat seperti
jembatan gantung. Pemandangan semakin menarik ketika berada di
punggung-punggung bukit, gugusan gunung yang berada di sebelah barat laut
(Gunung Karang dan Pulasari) dan di sebelah tenggara (pegunungan Kendeng)
sangat jelas kelihatan dari perbukitan Baduy.
Sesekali para tamu dari kota itu bersyukur dapat menemukan tempat istirahat
di beberapa saung huma (rumah ladang) yang diterima dengan ramah oleh
pemiliknya. Umpan balik pun terasa di kalangan rombongan, agaknya karena
situasi lingkungan alam seperti itu, ternyata telah membuat mereka memikirkan
kembali jati diri masing-masing sebagai mahluk dan merasakan betapa besar
kekuasaan Sang Pencipta.
Perjalanan yang ditempuh melalui jalur timur itu, memang merupakan jalur
yang sengaja dipilih agar rombongan tidak menemui tanjangan yang terlalu terjal
dan panjang. Konsekuensinya, jalur ini membutuhkan waktu relatif lama mengitari
punggung bukit dan lembah-lembah yang kaya dengan air pegunungan. Melalui jalur
ini hanya ditemukan sebuah kampung saja, yakni Kaduketer, kampung terakhir di
wilayah Baduy Luar sebelum memasuki wilayah Baduy Dalam.
Kelompok pertama, terutama orang-orang muda mampu
mencapai Ciboleger sekitar jam 12.00 siang. Sedangkan lainnya, sedikit demi
sedikit menyusul sampai seluruhnya tiba sekitar jam 13.00. Dalam
kelompok-kelompok kecil, mereka mencari tempat beristirahat melepaskan lelah
yang amat sangat di rumah-rumah warga Baduy Dalam yang teduh.
Cibeo, begitulah penduduk menamai kampung itu, setelah
melakukan perjalanan selama empat jam, Rombonan Dirjen Bina Produksi
Holtikultura yang terus didampingi oleh Jaro Dainah dan Ayah Mursyid sebelum
memasuki kampung Cibeo telah sampai pada tujuan utamanya, bertemu dengan sang Pu’un
di saung huma (dangau) miliknya. Tidak ada penyambutan resmi, tidak ada
upacara khusus atau formalitas lainnya seperti halnya di kota-kota besar. Di
rumah ladang itulah dua orang anak bangsa, dengan berbagai perbedaan
agama-kepercayaan, genealogi, budaya, dan peran sosial masing-masing
dipersatukan dalam satu kepentingan:
menjaga kelangsungan hidup manusia dan sekaligus memelihara kelestarian
lingkungannya.
Dalam format
“saling mendoakan” yang diikrarkan kedua tokoh itu, pada temu muka
selama lima menit saja, di tengah alam pegunungan yang jauh dari hiruk-pikuk
modernisasi, masing-masing membawa kesan sendiri untuk melakukan pesan-pesan
pembangunan yang amat dibutuhkan masyarakat.
Sejumlah masalah pasti telah mengendap dalam kesucian hati keduanya.
Bagi sang pu’un, kelangsungan hidup masyarakat Baduy masih dan akan
terus bergantung pada alam dan lingkungannya, kalau tanah-tanah ulayat Baduy
terus mengalami gangguan penebangan, penyerobotan lahan dan tekanan budaya dari
orang-orang di luar Baduy, mereka tidak akan kemana-mana, mereka akan tetap
hidup di “mandala”nya: Desa Kanekes. Bagaimana memecahkan permasalahan
tersebut, itulah inti dari pertemuan itu.
Sebagai Direktur Jenderal waktu itu, tentu Dr. Ir.
Sumarno beserta staf dan jajarannya di Departemen Pertanian atau di Dinas
Pertanian Propinsi dan Kabupaten, memiliki pendekatan sendiri untuk membantu
memecahkan masalah kehidupan masyarakat Baduy. Dengan melihat potensi
perkebunan buah-buahan di daerah Baduy yang dapat meningkatkan produktivitas
mereka di luar produksi beras, barangkali merupakan langkah awal yang baik
untuk memulai memprogramkan pemberdayaan masyarakat di bidang pertanian,
khususnya tanaman holtikultura yang sesuai dengan kondisi dan daya dukung alam
perbukitan Baduy di Desa Kanekes.
Perjalanan
pulang
Setelah semua anggota rombongan dan pengiring selesai
menyantap makan siang berupa nasi timbel dengan lauk pauk seadanya, perjalanan
pulang diarahkan ke jalur timur. Jalur
yang dianggap oleh orang Baduy paling mudah bagi orang kota dengan melewati
jalan setapak yang tidak terlalu banyak tanjakan dan turunan yang terjal.
Dengan sisa-sisa tenaga yang masih ada, rombongan
segera dihadapkan pada penurunan yang amat terjal dan panjang untuk
menyeberangi sungai Ciujung; batas sebelah timur yang memisahkan Baduy Dalam
dan Baduy Luar. Sambil menyusuri tebing
sungai yang amat curam, rombongan satu demi satu dan berurutan berjalan sampai
ke kampung terdekat, Cipaler. Sama seperti
pada jalur keberangkatan, jalur inipun harus ditempuh selama sekitar empat jam
untuk sampai ke Babakan Jaro di Kaduketug (base-camp).
Sepanjang perjalanan sesekali rombongan berpapasan
dengan penduduk yang kembali dari ladang mereka. Seluruh kampung yang dilewati
tampak tertata dengan rapih dan bersih. Pada setiap kampung itu tampak
sekolompok leuit (lumbung) didirikan sedikit agak jauh dari pemukiman.
Banyak jalan setapak seolah dibuat untuk kemudahan orang berjalan dengan diberi
pengerasan menggunakan batu-batu sungai. Demikian pula beberapa tebing yang
memisahkan satu rumah dan rumah lainnya, dipadatkan dengan batu-batu secara
rapih dan artistk. Semua landskap itu amat ideal untuk program “desa wisata” di
kawasan Baduy Luar.
Sesungguhnya bukan jarak tempuh yang berat, tetapi
karena kelelahan yang hebat dengan kondisi tubuh yang pegal dan rentan keram
otot, nyaris semua anggota rombongan mengharuskan diri beristirahat pada setiap
kampung yang dilewati. Setelah melewati kampung Cipaler, rombongan tiba di
Cicakal, dilanjutkan melalui kampung Marengo, Balingbing dan akhirnya sampai di
Babakan Jaro saat matahari mulai tenggelam (magrib).
Malam itu juga rombongan Dirjen Bina Produksi Hortikulura langsung
berpamitan untuk kembali ke Jakarta. Demikian pula rombongan Dinas Pertanian
dan Peternakan Propinsi Banten, Kabupaten Lebak, Tangerang, dan Pandeglang
setelah makan malam di kedai nasi Ciboleger, kembali ke tempat asalnya
masing-masing. Tetapi beberapa anggota rombongan yang karena kondisi tubuhnya
tidak memungkinkan untuk melanjutkan perjalanan pulang, memilih untuk
beristirahat dan menginap semalam lagi di rumah penduduk Baduy Luar di
Kaduketug, Babakan Jaro.
Sekarang, setelah
setiap anggota rombongan berada di dunianya masing-masing, mengenang perjalanan
ke Cibeo ibarat membuka referensi baru untuk segera melakukan sesuatu yang
penting baik bagi masyarakat Baduy sendiri di desa Kanekes maupun masyarakat
lainnya di luar Desa Kanekes. Yang pasti, ekspedisi ke Cibeo bukan sekadar
perjalanan turistik. Kunjungan kerja itu mestinya menjadi bahan pembahasan untuk
merancang langkah pembangunan ke depan, khususnya di bidang pertanian.
Dari berbagai
referensi terutama bersumber pada A.A. Pennings (1902), Yudistira Garna (1987), dan beberapa karangan lainnya
baik berupa buku maupun artikel seperti Juwisno (1985), Nurhadi Rangkuti dkk
(1988), Suhada (2003), diketahui bahwa Desa Kanekes yang dikenal sekarang
merupakan perkembangan dari beberapa kebijakan yang telah diimplementasikan
untuk menentukan status hukum pemukiman orang Baduy. Sampai saat ini, Kanekes
merupakan sebuah desa adat di wilayah Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak,
Propinsi Banten.
Namun dibandingkan
dengan nama Kanekes, kebanyakan orang lebih mengenal desa itu dengan nama
Baduy, apakah untuk menyebut lingkungan (tanah Baduy) atau juga untuk menamai
penduduknya (orang Baduy). Keberadaan
komunitas Baduy sesungguhnya telah diakui sejak abad XVIII ketika Kesultanan
Banten masih berdiri di bawah pengawasan Pemerintah Hindia Belanda. Ketika itu
secara resmi ada pengakuan dari Pemerintah Hindia Belanda melalui otoritas
Kesultanan Banten bahwa wilayah Desa Kanekes mencakup bentang alam yang
dibatasi oleh sepanjang aliran sungai Cisimeut sampai ke selatan pegunungan
Kendeng. Sejak itu batas ini dikenal
sebagai batas “tanah titipan”.
Pengakuan pemerintah secara formal akan adanya kampung
Baduy ini terjadi lagi pada awal abad XX, ketika pemerintah Hindia Belanda
menerapkan program penanaman karet dalam mendukung industri getah di wilayah
selatan Kabupaten Lebak. Kebijakan
kolonial dalam bidang perkebunan itu diawali dengan pengukuran batas-batas desa
untuk menentukan lahan perkebunan, ladang serta lahan permukiman penduduk.
Desa Kanekes merupakan tempat kediaman orang Baduy yang
memiliki kekhususan dalam mengurus soal-soal kemasyarakatan dan lingkungan alam
sekitarnya. Sampai tahun 2000, desa adat Baduy mengalami pertumbuhan cukup
signifikan. Dengan jumlah penduduk mencapai 7.317 jiwa, Desa Kanekes telah memiliki tidak kurang dari
52 kampung dalam areal seluas 5.101,85 hektar. Namun, kendati berbagai perubahan
tidak dapat dihindari dalam proporsi penduduk melalui pemekaran
kampong-kampungnya, masyarakat Baduy masih tetap terikat pada kesatuan kawasan,
keturunan dan juga budaya yang serupa (Garna, 1987; Suhada, 2003).
Pada periode ini pemukiman Baduy sudah diakui bukan hanya
di Desa Kanekes saja, tetapi ada beberapa kampung milik mereka di luar desa
Kanekes disebut dangka yang seluruhnya ada 9 dangka. Dari
kesembilan dangka tersebut, hanya dua terletak di dalam desa Kanekes
yaitu: Kaduketug dan Cihulu, sedangkan 7 kampung dangka lainnya berada
di luar Kanekes, yaitu: Cihandam, Cilanggar, Panyaweuyan, Nungkula, Kamancing,
Kompol dan Nangkabengkung.
Pada awal abad XX telah tercatat bahwa desa adat yang
termasuk ke dalam sistem pemerintahan Kanekes ada 35 kampung yang terdiri dari
3 kampung tangtu (Baduy Dalam), 23 kampung panamping (Baduy Luar)
dan 9 kampung dangka. Beberapa tahun kemudian terjadi penambahan
kampung, tetapi tidak menampakkan kenaikan yang tinggi. Pada tahun 1941
misalnya, N.J.C. Geise, seperti dikutip Yudistira Garna (1987) mencatat ada 34
kampung di Desa Kanekes di luar kampung dangka. Kemudian pada tahun 1972
menjadi 39 buah kampung, dan tahun 1986 mencapai 43 kampung termasuk tiga
kampung dangka di luar Desa Kanekes. Penambahan kampung yang relatif
kecil itu disebabkan karena dampak dari program yang menekankan pertambahan
kampung di luar desa Kanekes.
Pertambahan kampung yang lamban tersebut, menurut Garna
(1987; 1988) merupakan bagian dari tradisi pemukiman dalam masyarakat Sunda.
Sebuah pemukiman mulanya hanya terdiri dari beberapa rumah pada lahan baru yang
biasanya disebut umbulan. Jika
tempat ini mengalami pertambahan beberapa rumah lagi, maka kumpulan rumah itu
disebut babakan. Babakan-babakan
itu bisa bertambah besar karena banyak menarik penduduk untuk bertempat tinggal
di tempat itu, tetapi dapat juga berkurang atau bahkan ditinggalkan karena
beberapa pertimbangan, misalnya karena alasan adat, kondisi tanah dan
ketersediaan air. Oleh karena itu jumlah kampung di desa Kanekes kerap kali
berubah (Garna, 1984; 1987).
Untuk memastikan keberadaan permukiman Baduy ini, pada
tahun 1986 Pemerintah Kabupaten Lebak telah memasang patok-patok beton di
sekeliling Desa Kanekes. Bersamaan dengan itu Pemerintah Daerah juga
mengupayakan pembagian administratif atas Desa Kanekes berdasarkan
pengelompokan tiga kampung inti. Ketiga
kampung utama itu berada di daerah tangtu, tempat yang hanya
diperuntukan bagi warga Baduy Dalam. Dalam system itu, Desa Kanekes dibagi ke
dalam tiga blok. Blok pertama merupakan kumpulan kampung Baduy yang berpusat di
Cibeo yang membawahi 9 buah kampung. Blok kedua terdiri dari 10 kampung yang
berpusat di Cikartawana, dan Blok ketiga terdiri dari 16 kampung yang pusatnya
berada di Cikeusik. Dengan demikian, kampung-kampung Baduy seluruhnya berjumlah
40 buah kampung yang pada umumnya berada di daerah Baduy Luar (panamping).
Beberapa kelompok kampung Baduy Luar itu diantaranya mengalami penambahan
dengan dibukanya pemukiman baru yang disebut babakan.
Desa Kanekes sebenarnya bukan hanya penamaan bagi lingkungan permukiman
orang Baduy, tetapi juga didalamnya mencakup bentang alam yang cukup luas
dibandingkan dengan jumlah penduduknya. Lingkungan alam yang lazim dipandang
sebagai “tanah titipan” itu terdiri dari daratan tinggi dengan lembah-lembah
yang dialiri anak-anak sungai Ciujung mengalir ke pantai utara Jawa. Di antara
lahan perbukitan baik yang landai maupun terjal itu terdapat areal pertanian
padi kering (huma). Namun sebagian besar dari lingkungan Desa Kanekes
merupakan hutan lindung yang subur dengan berbagai jenis pohon besar.
Potensi hutan hujan tropik itu ternyata menarik minat penduduk di luar desa
Kanekes untuk mengambil (menebang) kayu-kayu besar dan juga mengambil hasil
hutan bagi keperluan mereka. Penduduk luar desa Kanekes itu jauh lebih besar
jumlahnya dibandingkan dengan orang Baduy yang mendiami lahan yang relatif
kecil dan tertutup. Penebangan pohon-pohon besar itu sekarang tetap menjadi
masalah baik bagi orang Baduy sendiri maupun bagi kepentingan keseimbangan
ekosistem sekitarnya.
Mata pencaharian utama orang Baduy adalah pertanian lahan
kering yang berpindah-pindah dalam waktu tertentu. Orang Baduy mungkin tinggal
satu-satunya komunitas di Pulau Jawa
yang melanjutkan tradisi itu dengan hanya menggantungkan sumber kehidupannya
pada ladang di mana padi menjadi tanaman utama. Dalam tradisi penanaman padi,
orang Baduy tidak menggunakan alat seperti cangkul, bajak atau menggunakan
pupuk dan anti hama yang modern. Alat kerja dominan mereka adalah parang,
kujang, beliung, kored dan aseuk (tugal). Semua perkakas kerja itu dengan
sendirinya menjelaskan tipe teknologi pertanian mereka yang merupakan warisan
nenek moyang orang Baduy.
Pemilihan lahan untuk huma di dalam desa Kanekes
ditentukan oleh adat, termasuk di dalam adat itu juga diatur durasi pengerjaan
tanah itu serta cara pewarisannya dari generasi terdahulu kepada generasi
berikutnya. Oleh karena itu lahan di sekitar Desa Kanekes baik bakal huma
maupun bekas huma, hampir semuanya sudah dikerjakan dan menjadi milik garapan
orang Baduy. Khusus untuk tanah yang berada di daerah territorial kampung tangtu
(taneuh larangan), hanya diperuntukkan bagi orang Baduy Dalam, yang
secara adat tidak diperkenankan bekerja di luar wilayah mereka. Sedangkan orang
Baduy Luar dapat mengerjakan tanah di luar itu, bahkan sekarang banyak orang
Baduy Luar memiliki dan mengerjakan tanah di luar Desa Kanekes.
Pengerjaan huma dapat memakan waktu selama 4 tahun.
Bekas-bekas huma yang ditinggalkan itu akan berubah menjadi kebon (kebun) yang
ditanami berbagai tanaman obat atau untuk keperluan upacara seperti: koneng
beureum (Curcuma longum), honje (Ellataria speciosa), sirih (chavica
betle), bongban (Momordica charantia), talas (colocasia esculenta), laja
(Alpinia galanga), cengek (cabe rawit), roay (Dolichoa lablab),
jahe (zingiber officinale) dan panglay (zingiber cassummanar).
Pada umumnya, jenis padi yang ditanam di huma selama satu
kali dalam setahun itu terdiri dari 3 jenis, yaitu padi putih, padi merah dan
padi hitam (sativa glutinosa). Dalam pengerjaan huma itu, setelah padi tumbuh
beberapa bulan, ditanam pula tanaman tambahan seperti cabe rawit, ketimun,
kacang panjang, katuk, kelor, labuh, watu (Sesamun inducum), pisang dan terong.
Tanah huma yang telah selesai dikerjakan satu kali atau setahun masa tanam
kemudian ditinggalkan untuk selama 4 hingga 7 tahun agar menjadi hutan kembali.
Sebelum ditinggalkan, jika bekas huma itu miliknya, tanah akan ditanami
berbagai tanaman keras seperti kelapa, aren, petai (parkia speciosa), rambutan,
jengkol, durian, dukuh, kokosan (lansium domesticum) dan juga kopi.
Secara sekilas tampak bahwa lingkungan desa Kanekes, pada
beberapa lokasi masih merupakan kawasan hutan lindung. Beberapa sumber tutur
yang sempat diwawancarai dan dikuatkan oleh hasil penelitian ahli Antropologi,
Kehutanan dan Pertanian, diketahui bahwa hutan di desa Kanekes ditumbuhi
berbagai jenis pepohonan seperti aren, sempur (dilenia aurea enspeciosa),
bungur, kihiang (albissia procera), rasamala (altingia exelsa), saninten
(castanopsis soo), jamuju (podocarpus imbrikata Bc), kaliandra (caliandra
caldothirtus Meisen), dan berbagai jenis bambu seperti: apus, lame (alstonea
spectabilis) dan puspa (schima norohae reimo). Di beberapa bagian hutan, pohon
kayu tertentu boleh ditebang untuk keperluan bahan pembuatan rumah tinggal,
lumbung (leuit), keperluan rumah tangga dan upacara yang pelaksanaannya
diatur sedekiman rupa supaya tidak habis dan tanaman baru dapat tumbuh lagi.
Karena pandangan seperti itu, orang Baduy membagi hutan
sesuai dengan kemungkinannya untuk digunakan. Kategori hutan pertama disebut leuweung
kolot (hutan tua), dimaksudkan untuk menyebut hutan yang terletak di bagian
hulu dan pinggiran sungai, atau juga di pucak gunung. Kategori hutan kedua
disebut leuweung tutupan (hutan tertutup) yang terletak di lereng gunung
dan lembah. Dan untuk kategori hutan ketiga disebut leuweung ngora
(hutan baru), dimaksudkan untuk menyebut bekas huma yang sudah
ditinggalkan lebih dari 4 tahun pada mana pepohonan boleh ditebang dan dibuat
huma kembali. Pengelompokan hutan
lainnya disebut jami, yaitu berupa semak belukar dan beberapa pohon
besar. Dalam kategori hutan terakhir ini biasanya ditanami pohon durian, petai,
kelapa, aren dan tanaman kebun lainnya.
Khusus untuk pohon aren, bagi masyarakat Baduy mempunyai
peran amat penting, karena dari aren orang Baduy dapat memproduksi gula dalam
jumlah besar. Perhitungan tahun 1972-3 diperkirakan produksi gula kawung
mencapai 21.440 ton. Daya tarik ekonomi ini telah menyebabkan banyak tengkulak
datang ke Desa Kanekes untuk didistribusikan ke pasar-pasar besar di
Rangkasbitung dan kota-kota besar lainnya di Banten dan Jakarta.
Selain gula kawung, para tengkulak itu juga membeli
berbagai jenis buah-buahan lokal yang amat laku di pasaran, yaitu durian,
rambutan, dukuh, pisitan dan petai. Tengkulak itu pada umumnya pedagang besar
yang berasal dari luar Baduy, tetapi sekarang banyak pula orang Baduy Luar yang
menjadi tengkulak.
Rekomendasi PATA Task Force
Sesungguhnya, berbagai masalah kontemporer itu pada pertengahan tahun 2002
telah menjadi perhatian khusus kalangan asosiasi pariwisata. Dalam
kunjungan PATA Task Force ke desa Kanekes, dihasilkan suatu rekomendasi yang
penting bagi orang Baduy dalam mengahadapi kegiatan kepariwisataan.
Sekurang-kurangnya ada tiga butir yang direkomendasikan: (1) The Baduys
may decide to stop accepting visitors to their village, yang merupakan
skenario paling ekstrim untuk melarang masuk atau membolehkan masuk dengan izin
khusus pihak otoritas Desa Kanekes, (2) Rotation system for Baduy villages,
sebuah kemungkinan untuk meminimalkan dampak kunjungan dengan cara mengatur
perjalanan ke obyek-obyek secara bergiliran, dan (3) Opening of all villages
in outer Baduy; sebuah cara yang memungkinkan pembukaan semua
kampung bagi kunjungan, tetapi perlu regulasi dan pengawasan yang tegas untuk
menjamin agar desa Baduy tidak kebanjiran pengunjung. Dengan cara itu
memungkinkan penduduk desa-desa seluruh
permukiman Baduy perlu mengikuti pelatihan
tentang Community Base Tourism (CBT).
Dengan konsep CBT itu, berbagai pertemuan harus diikuti oleh semua stakeholders untuk membahas sejumlah
permasalahan seperti: (1) dampak pariwisata bagi kehidupan sosial, ekonomi dan
lingkungan, (2) konsep-konsep CBT yang sesuai dengan adat-istiadat Baduy, (3)
berbagai sumberdaya yang dibutuhkan untuk kepentingan itu, (4) manfaat langsung
bagi komunitas Baduy dan terakhir (5) rencana aksi bagi program tersebut.
Berdasarkan pengalaman dari perjalanan ke Desa Kanekes, maka di sini
penting untuk segera menyikapi rekomendasi tersebut. Berkenaan dengan
rekomendasi pertama, saat ini menjadi tidak mungkin untuk dilaksanakan, karena
sebagian masyarakat Baduy terutama yang
bermukim di zona panamping (Baduy
Luar) telah memperoleh manfaat besar dari kunjungan pariwisata. Dengan menjual
beberapa jenis barang kerajinan, mereka mendapatkan penghasilan tambahan di
luar pendapatan pokoknya dari pertanian. Bahkan beberapa orang Baduy Luar kini
semakin gencar memproduksi berbagai souvenir pariwisata untuk memasok toko-toko
di pintu masuk Cibologer.
Berkenaan dengan rekomendasi kedua, bisa dilakukan tetapi dengan beberapa
kondisi (syarat). Hal ini perlu dipromosikan mengingat sampai sekarang belum
ada aturan yang membatasi jumlah pengunjung dalam periode waktu tertentu,
akibatnya terjadi gangguan terhadap aktivitas sehari-hari masyarakat Baduy.
Dengan kata lain, privasi warga Baduy kerap terganggu oleh para wisatawan dalam
jumlah besar (mass tourism) terutama
pada hari suci (kawalu). Dengan tujuan untuk mencegah konsentrasi
pengunjung pada satu tempat, maka kemungkinan untuk membuka gate way baru di beberapa pintu masuk
bukan sesuatu yang ditabukan. Persoalannya hanya terletak pada sistem
administrasi Desa Kanekes yang demikian
luas, tetapi hanya terpusat pada satu pelayanan, yaitu di Babakan Kadu Ketug,
tempat kediaman Jaro Pamarentah (kepala administratif).
Sedangkan untuk rekomendasi ketiga, hal itu sudah dilakukan dengan
sendirinya oleh warga Baduy sendiri, karena adanya anggapan bahwa pemukiman panamping (daerah Baduy Luar) memang
terbuka untuk umum dengan aturan yang dapat ditoleransi bagi dua kepentingan:
pariwisata dan pelestarian alam dan budaya.
Masalah yang kerap muncul ke permukaan adalah karena banyak rombongan
wisatawan membawa guide bukan orang
Baduy, dan belum semua memahami aturan-aturan adat yang harus dipatuhi.
Penutup
Perjalanan ke perkampungan Baduy bagi stakeholders
pariwisata sangat bermanfaat bagi penemuan masalah sebelum menentukan kebijakan
yang perlu dibuat untuk menyelesaikan masalah-masalah yang terkait dengan
kegiatan kepariwisataan. Dalam bidang pertanian, telah diindentifikasi bahwa
pada hutan-hutan dan perkebunan tradisional Baduy, beberapa jenis tumbuhan
buah-buahan yang dapat dijadikan sejenis plasma-nutfah. Pengembangan produksi
pertanian dan holtikultura dapat mengembangkan keanekaragaman produk pariwisata
yang selama ini selalu dikonsumsi sendiri.
Permasalahan yang paling krusial sekarang adalah persoalan limbah akibat
kunjungan wisatawan dalam frekuensi dan intensitas tinggi. Masyarakat Baduy,
yang karena komitmen dan upayanya yang keras untuk memelihara lingkungan, pada
tahun 2004 telah memperoleh penghargaan
baik dari pemerintah berupa “Kalpataru” maupun dari lembaga swadaya masayarakat
berupa “Kehati Award”. Namun para wisatawan hampir selalu memberi kesulitan
bagi masyarakat Baduy dengan berbagai jenis sampah di sepanjang jalan antara
perkampungan ‘Baduy Luar’ dan ‘Baduy Dalam’. Sebaliknya masyarakat Baduy juga
menemukan kesulitan untuk mengawasi pembuangan sampah terutama non-organik
seperti plastik dan bahan industri lainnya.
Pertanyaannya, sampai kapan mereka harus terus bergotongroyong membersihkan
lingkungannya pada setiap akhir musim liburan atau menjelang hari raya
“Kawalu”. Menghadapi persoalan ini, haruskah kita usulkan agar setiap wisatawan
membayar jaminan atau denda untuk setiap kali mereka membuang sampah?
Masalah lain terkait dengan pemberdayaan warga Baduy dalam kegiatan
pariwisata. Apa yang direkomendasikan oleh PATA Task Force untuk menerapkan konsep Community Base Tourism (CBT) sesungguhnya bukan hanya bagi
masyarakat Baduy, tetapi yang harus didahulukan pertama sekali adalah
masyarakat di luar Desa Kanekes yang justeru lebih banyak memanfaatkan kegiatan
pariwisata Baduy dengan berbagai layanan publik yang dibutuhkan wisatawan.
Sementara masyarakat Baduy sampai saat ini tetap menjadi petani yang masih
menolak baca-tulis, dengan jadwal aktivitas sehari-hari yang pasti untuk
bekerja di ladang atau beristirahat di rumah masing-masing dan dalam
waktu-waktu tertentu harus melakukan upacara ritual tanpa gangguan penduduk
luar. Sasaran kedua adalah wisatawan sendiri, agar sebelum memasuki kawasan
pemukiman Baduy, hendaknya mendapatkan informasi yang cukup tentang tata cara
berwisata ke Desa Kanekes.
Apabila Direktorat Jenderal Holtikultura, Departemen Pertanian telah
melakukan kunjungan kerja untuk menemukan masalah-masalah pertanian yang
sekarang sedang dihadapi masyarakat Baduy, bukankah sudah menjadi keharusan
instansi-instansi yang menangani sektor pariwisata untuk menyelesaikan
permasalahan yang diakibatkan oleh kegiatan pariwisata yang sedang dihadapi
masayarakat Baduy sekarang, setidaknya dapat melakukan cross-chek sebelum mengimplementasikan rekomendasi PATA Task Force 2002.
Hal itu perlu dipertimbangkan sejalan dengan perubahan-perubahan yang
terjadi akibat kecenderungan pariwisata yang terus berkembang. Tindakan cross-chek
sangat terkait erat dengan semakin bertambahnya apa “yang boleh” dan “yang
tidak boleh” dilakukan oleh pengunjung di kawasan Desa Kanekes.
Sebelum menutup tulisan ini ada baiknya disebutkan hal-hal pokok yang harus
diperhatikan oleh pengunjung. Menurut Kepala Desa Kanekes, seperti juga
sebagian telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris di dalam PATA Task Force Report, bahwa
pengunjung harus mematuhi segala aturan yang telah ditetapkan oleh adat
sebagaimana disebutkan di bawah ini: (1)
setelah mengisi buku tamu, pengunjung tidak diperbolehkan untuk (2) membawa
radio, tape recorder, alat foto atau kamera, dan berbagai jenis senjata, (3)
membunuh binatang kecuali untuk mempertahankan diri, (4) membuang sampah di
seluruh areal desa atau sungai, (5) membuang puntung rokok sembarangan. Di luar
kelima hal tersebut di atas masih ada beberapa aturan lain yang harus
dikomunikasikan dengan Kepala Desa Kanekes atau orang yang ditunjuk untuk
memberikan penjelasan kepada pengunjung. Dengan mengikuti aturan pokok tersebut
di atas, di satu pihak setiap wisatawan dapat dengan leluasa melakukan kegiatan
wisata dan di lain pihak masyarakat setempat pun akan senang hati menerima
kehadiran wisatawan.
Daftar Pustaka
Fadillah, Moh. Ali.
“Mitos Gunung Suci di Pandeglang, Banten: Sebuah Kontemplasi
Arkeologis”, dalam Tony Djubiantono & Moh. Ali Fadillah (eds.), Manusia dan Lingkungan: Keberagaman Budaya
dalam Kajian Arkeologi, Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia.
Garna, Yudistira K. 1988. “Perubahan sosial budaya
Baduy”, dalam Orang Baduy dari Inti Jagat,
Jakarta: Bentara Budaya.
Garna, Yudistira, K. 1987. Orang Baduy, Bangi: Unversitas Kebangsaan Malaysia.
Juwisno, 1985. Potret
Kehidupan Masyarakat Baduy, Serang.
Michrob, Halwany. 1988. “Lebak Sibedug dan Arca Domas di
Banten Selatan sebagai Aspek Budaya
Nusantara Masa Sebelum Islam”, Serang: Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama.
Pennings, A.A. 1902. “De Badoewi’s in verband met enkele
oudheden in de Residentie Bantam”, dalam TBG,
XLV: 370-386.
Rangkuti, Nurhadi (ed.). 1988. Orang Baduy dari Inti Jagat, Jakarta: Bentara Budaya.
Sedyawati, Edi. 1996. “Kebudayaan Banten dalam kaitannya
dengan Wawasan Kebudayaan Nasional”, dalam Hasan M. Ambary (ed.), Masyarakat dan Budaya Banten, Jakarta:
Puslit Arkenas.
Suhada. 2003. Masyarakat
Baduy dalam Rentang Sejarah. Serang: Biro Humas Propinsi Banten.
Noakes,
S. et.al. 1992. “PATA Task Force Report on Banten and Lampung Provinces,
Republic of Indonesia”, Bangkok: Pacific
Asia Travel Association.
Aucun commentaire:
Enregistrer un commentaire