menggagas
berdirinya
Museum negeri
PROVINSI Banten
MOH. ALI FADILLAH
Penalaran
Isu kerusakan, kehilangan dan pencurian benda
cagar budaya (BCB) di Indonesia telah lama mengemuka dalam wacana kepurbakalaan
nasional dan daerah. Di tengah kesulitan memastikan motif sebenarnya, kini
semakin marak alasan lain yang lebih bersifat psiko-sosiologis dan sosio-ekonomi,
diantaranya kecenderungan mentalitas ke arah posesif irasional untuk bertindak
sendiri: memiliki, merubah, memperjualbelikan dan bahkan merusak atau
memusnahkan benda cagar budaya. Semua gejala itu semakin menyudutkan bangsa ini
pada ketidakberdayaan memaknai, memelihara dan mengelola warisan budaya.
Sesungguhnya ada kepentingan yang lebih
rasional dilihat dari manajemen sumberdaya budaya, yakni pengembangan
kebudayaan yang semestinya menjadi ‘dasar filosofis’ pembangunan fisik material
yang sedang gencarnya di segala bidang. Tetapi gejala ini sulit dipahami
mengapa semua itu bisa terjadi, padahal Indonesia sudah memiliki seperangkat
peraturan perundangan, terutama Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda
Cagar Budaya, yang kemudian direvisi menjadi Undang-Undang No. 11 Tahun 2010
tentang Cagar Budaya beserta peraturan pelaksanaannya.
Ironisnya lagi, bahkan sejak zaman kolonial,
kita telah memiliki instansi-instansi yang khusus menangani pelestarian warisan
budaya baik dalam bidang penelitian maupun pelestarian. Tetapi, mengapa masih
juga terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap Undang-Undang itu? Jawaban paling
umum biasanya sangat klasik: karena belum tersosialisasikan! Tersosialisasikan
atau tidak, warisan budaya kini menjadi isu pokok meski belum dipandang terlalu
penting, baik di tingkat nasional maupun daerah setelah terjadinya banyak kasus
di Indonesia.
Sinyalemen seperti itu, juga sudah terjadi
di Banten, tetapi ‘gaung’ nya belum meluas ke tingkat nasional. Apriori saja, barangkali
itu terjadi karena nilai budaya warisan Banten dianggap belum signifikan dibandingkan
dengan nilai budaya luar? Atau, mungkin karena justifikasi ilmiahnya belum mendapat
tempat yang khusus di benak para politisi, birokrat, ahli atau media massa.
Siapa peduli semua itu? Nyatanya, sudah
hampir enam tahun Provinsi Banten berdiri, bahkan empat kabupaten dan dua kota
telah ada mendahului provinsi induknya, mustahil jika perhatian terhadap
warisan budaya masih ”jalan di tempat”. Tentu saja, kita sangat menghargai
pihak-pihak yang dengan kekuatan instansional dan kepasitas individualnya telah
melakukan berbagai upaya ke arah pelestarian warisan budaya.
Tetapi,
dari sudut pandang lain, penting untuk memberi perhatian khusus bahwa selain fungsi
pemerintahan telah operasional dalam format daerah otonom sejak disyahkannya Undang-Undang
No. 22 Tahun 1999 yang kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang No. 32 Tahun
2004, juga telah berdiri Provinsi Banten berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun
2000 memenuhi kehendak masyarakat membangun daerahnya. Tetapi sudah adakah
sebuah museum publik yang memainkan peran melindungi, menyelamatkan,
melestarikan dan mengembangkan warisan budaya Banten? Sudah adakah sebuah
museum yang mampu merepresentasikan potensi budaya seluruh kabupaten dan kota
di wilayah provinsi ini? Mustahil pula jika belum ‘terpikir’ oleh beberapa
kalangan intelektual, politisi atau birokrat, tetapi pertanyaan yang sangat
urgen untuk dijawab sekarang adalah jenis museum apa yang diperlukan provinsi
Banten? Polemik sejak ini mestinya bermula!
Banten, Provinsi Budaya
Pada awal tulisan ini, pertanyaan pertama
yang relevan diajukan adalah mengapa harus ditujukan ke Banten untuk lokus public museum? Jawabnya mudah, tetapi
diperlukan sejumlah argumen yang ‘masuk akal’. Pertama, karena Banten sekarang sudah
menjadi sebuah Provinsi di NKRI berdasarkan UU No. 23 Tahun 2000. Berangkat dari aturan perundangan itu, kita
mempunyai landasan yuridis formal untuk mengangkat isu public museum sebagai wacana provinsial. Pendirian provinsi Banten
pasti berangkat dari semangat cultural
value kegemilangan kesultanan Banten. Dengan referensi sejarah itulah
Provinsi Banten memiliki alasan fundamental untuk menentukan batas teritorial
terutama secara politik administratif. Ini pasti merupakan produk dari upaya
ekstrapolasi bekas wilayah Kesultanan
Banten; meski sesungguhnya batas-batas itu baru ditentukan pada awal abad XIX
sebagai unit administratif Residentie van
Bantam. Sudah tentu, penentuan batas itu mengandung segala implikasi sosial
dan budaya yang pernah berproses sepanjang sejarah Banten.
Dengan
begitu, maka secara moral, pengembangan kebudayaan di seluruh Banten mestinya
menjadi agenda penting, supaya argumentasi sejarah itu bukan sekadar ‘mitos’
perjuangan, tetapi juga harus menjadi reperkusi ke masa lampau dan referensi
jauh ke depan, yakni pembangunan berkelanjutan. Jika mungkin, dengan perspektif
itu, Banten akan mampu memperpendek jarak ‘ketertinggalan’ di bidang
pengembangan kebudayaan dari ‘saudara tua’ kita, Provinsi Jawa Barat.
Kalau
wacana ini bisa dikategorikan sebagai ‘keniscayaan’, sesungguhnya Museum
Provinsi Banten atau apapun namanya, tidak terlalu sulit direalisasikan. Namun
ikhtiar itu bergantung kepada visi kedaerahan, apakah masyarakat Banten mampu
mengembangkan tindakan global yang inovatif dan proaktif dan berhasil
meninggalkan ‘penyakit’ lama, yakni tindakan lokal yang tetap mewarisi sikap
yang sekadar adaptif dan reaktif, lantas ikut terhanyut dan menjadi penonton hingar-bingar
globalisasi. Kalau kita sepakat memilih
mentalitas pertama, maka kita sedang berhadapan dengan pertanyaan kedua:
mengapa perlu mendirikan museum? Ada tiga alasan yang bisa dijadikan argumen,
yaitu akademis, sosio-kultural dan politik ekonomi.
Secara
akademis, sebuah museum diperlukan kehadirannya di tengah-tengah masyarakat
modern, karena keberadaannya dalam sebuah provinsi, bukan semata-mata untuk
menyimpan BCB khususnya benda bergerak, melainkan juga akan mewujudkan
fungsi-fungsi penyebarluasan ilmu pengetahuan dan pelayanan pendidikan
masyarakat agar mampu mencermati evolusi manusia, tingkatan kecerdasan,
kearifan lokal dan kemajuan peradaban yang pernah dicapai dari jaman ke jaman.
Secara
sosio-kultural, sebuah museum diperlukan karena ia akan mendukung fungsi
pengembangan dan pemberdayaan warisan budaya bagi pelestarian dan transfer value system, knowledge system dan symbolic
system yang sangat diperlukan bagi reaktualisasi dan reformulasi esensi dan
eksistensi ”manusia Banten” dalam kerangka sustainable
human development.
Terakhir
adalah alasan politik ekonomi. Dalam perspektif ini, peran museum diperlukan
untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya budaya (cultural resources) bagi kepentingan peningkatan ekonomi daerah. Di
dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1990, yang kemudian direcisi menjadi
Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, terkandung adanya
pengembangan pariwisata budaya; dalam hal ini museum merupakan salah satu obyek
dan daya tarik wisata. Dengan begitu,
warisan budaya juga bisa menjadi sumber pendapatan daerah dan nasional, selain
sektor industri, pertanian dan jasa.
Ketiga
alasan itu cukup memberi kita argumen kuat untuk mendirikan sebuah public museum di ibukota provinsi, dan
membuang jauh prasangka ‘latah’ meniru provinsi lain yang telah lebih dulu
memiliki museum. Apa sebabnya? Karena Provinsi Banten sejak semula berangkat
dari isu sejarah dan format budaya sendiri.
Dengan kekayaan budaya yang spesifik di tiap-tiap kabupaten dan kota,
jika dikembangkan nanti, bisa jadi Banten bukan hanya provinsi dalam artian
satuan politik administratif belaka, tetapi juga ‘provinsi budaya’ yang mampu
memediasi dan mengembangkan potensi-potensi budaya di seluruh Banten.
Dengan
kerangka pikir itu, maka secara kultural Provinsi Banten akan berbasiskan pada
masyarakat dan kebudayaan Banten. Inilah substansi dari spirit of Banten, hak sejarah kita!
Mengapa Public
Museum ?
Museum
adalah sebuah lembaga yang memungkinkan menampung semua jejak budaya lintas
waktu, lintas ruang dan lintas disiplin ilmu serta terbuka untuk semua lapisan
masyarakat dari berbagai tingkat pendidikan dan pengetahuan. Kategori itu sangat paralel dengan
definisi museum menurut International
Council of Museum (ICOM) dan ASEANCOM, yaitu a permanent institution in the service of society and of its
development, open to the public which acquires, conserves, communicates, and
exhibits for purpose of study, education and enjoyment material evidence of
evolution of nature, man and culture. Dengan definisi itu, maka museum
bukan sekadar a building to house
collections of objects. Apalagi disebut ‘gudang barang kuno’.
Masalahnya
mengapa harus memilih public museum
atau museum umum? Dengan tugas pokok dan fungsi pengumpulan, perawatan,
pengawetan, penelitian koleksi, display
dan penerbitan hasilnya seperti tertuang dalam SK Mendikbud No. 001/0/1999,
museum di Indonesia
dapat dikelompokkan ke dalam beberapa jenis. Berdasarkan SK Mendikbud No. 079 /
1975, Bab XLVI, Pasal 728 museum dilihat dari ragam koleksinya dapat
dikelompokkan menjadi tiga tipe, yakni museum umum, museum khusus dan museum
pendidikan (sebenarnya subtipe museum khusus). Apabila museum khusus (specialized museum) dicirikan oleh
sekumpulan koleksi yang terkait dengan satu cabang seni, teknologi atau
disiplin ilmu, maka museum umum menampung koleksi yang terkait dengan berbagai
cabang seni, budaya, teknologi atau beberapa disiplin ilmu.
Maka,
dengan perspektif sejarah Banten yang mencakup jaman nirleka sampai sekarang (termasuk
peristiwa berdirinya Provinsi Banten) dan merepresentasikan seluruh kabupaten
dan kota,
museum umum (public museum) lebih
tepat untuk dipilih sebagai museum provinsi. Keberadaannya juga dijamin oleh UU
No. 5 / 1992 pasal 22 (1) dan ditegaskan oleh PP No. 10 / 1993 pasal 40 (1),
bahwa ‘Benda cagar budaya tertentu baik milik negara ataupun perorangan, dan
dalam rangka penyimpanan, perawatan, pengamanan dan pemanfaatan, dapat disimpan
dan dirawat di museum’.
Sekarang, seperangkat peraturan
perundangan tentang BCB dan permuseuman telah kita miliki bersama dan telah
pula kita pahami. Lantas, apa yang bisa kita perbuat kini dan nanti untuk
Provinsi Banten, bergantung kepada komitmen seluruh komponen masyarakat dan
pemerintah daerah.
Merenungkan
dan memikirkan berdirinya museum yang akan menjadi kebanggaan masyarakat Banten
tentu sudah bukan waktunya lagi. UU No. 32 Tahun 2004 sesungguhnya telah
memberikan sebuah ‘kemerdekaan budaya’ bagi daerah. Kewenangan daerah telah
diberikan untuk menyelenggarakan pemerintahan sesuai dengan potensi daerah
masing-masing, termasuk didalamnya kewenangan untuk pembangunan kebudayaan,
dengan mengelola sumber daya nasional (alam, buatan dan manusia) yang ada di
wilayahnya.
Jika
kita tahu, benda cagar budaya adalah sumber daya buatan sebagai hasil cipta,
karsa, dan karya masyarakat Banten dalam sejarahnya yang panjang, maka
melestarikan dan mengembangkannya dalam sebuah museum yang representatif
mestinya sudah mulai direalisasikan. Tetapi kapan itu? Mari kita bersabar, karena
”Seminar Pentingnya Museum Negeri Banten” yang digelar beberapa hari lalu oleh
Disbudpar Prov. Banten, bukanlah sekadar membangun ”wacana”, apalagi
dikategorikan sebagai ”kuliah” museologi atau museografi. Tetapi seminar itu
telah menjadi tonggak sejarah untuk menyiapkan langkah-langkah kongkrit ke arah
perencanaan, pengembangan dan pengelolaan Museum Negeri Provinsi Banten. Hitungan
tahun pasti akan membuktikan keberadaannya.
Note: Tulisan ini pernah terbit dengan judul ”Saatnya Banten Memiliki Museum Provinsi”,
terbit pada Majalah Menara Banten,
Vol. XLIV, Agustus 2006. Museum Negeri Provinsi Banten diresmikan pendiriannya
oleh Gubernur Banten, Rano Karno pada tanggal 30 Oktober 2015.
Aucun commentaire:
Enregistrer un commentaire