lundi 29 juin 2015

Aspek Modernitas Banten 5




Nilai modernitas kelima telah ditunjukkan oleh karakter “Open Culture” orang Banten terhadap budaya luar. Sejak berdirinya kesultanan, Banten mempresentasikan diri sebagai sebuah negara-kota yang berbasis pada perdagangan internasional. Kota Banten di sini menjadi potpourie ethnique atau ‘wadah pelebur’ unsur-unsur budaya dari berbagai kebudayaan besar yang datang membawa identitas budaya masing-masing. Interaksi antar-etnik bahkan antar-ras telah mengimplikasikan sebuah kebudayaan yang ‘terbuka’ bagi berbagai kemajuan. Keterbukaan budaya itu misalnya tampak pada penggunaan bahasa. Bahasa Melayu memang telah lama menjadi lingua-franca di Nusantara termasuk juga di Banten. Tetapi karena keluasan hubungannya dengan kekuasaan-kekuasaan pesisir utara Jawa, Banten kemudian menjadi pewaris jauh dari bahasa Jawa pesisiran. Selain bahasa Sunda sebagai bahasa ibu pada awalnya, maka di Banten, bahasa Melayu dan Jawa telah menjadi bahasa umum baik dalam urusan pemerintahan maupun interaksi dalam berbagai kehidupan sosial, agama dan ekonomi perdagangan. Namun harus dicatat, banyak kalangan warga Banten juga menguasai bahasa asing, terutama Arab. Hal ini bisa dilihat dari berbagai karya keagamaan hasil pemikiran putera-putera Banten seperti Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Abdul Karim Tanara, dan Kiai Asnawi di Caringin. Bahkan, aksara Arab juga digunakan secara resmi dalam pemerintahan. Dengan demikian, penguasaan bahasa-bahasa yang umum pada masa itu, menjadikan Banten mampu mendobrak kebekuan hubungan antar-etnik dan antar-bangsa sekaligus membuat kebudayaan dapat berkembang dalam dinamika kontemporenitas yang diperlukan (Moh. Ali Fadillah).