mardi 12 mai 2020

PERTUMBUHAN EKONOMI PARIWISATA DUNIA, RESUME SEJARAH AWAL


PERTUMBUHAN EKONOMI PARIWISATA DUNIA: RESUME SEJARAH AWAL

MOH. ALI FADILLAH

The rapid growth of tourism on our planet has shown several advantages. The most striking character of this growth is that tourism has facilitated the mass mobility  both driven by the desire to know something, explore new places (foreign), feel the difference in the environment, and gain new experiences.

Gejala perjalanan global itu dapat diidentifikasi sebagai pola migrasi yang memungkinkan terus berkembang selama ‘tekanan’ selalu melanda kehidupan manusia. Sekurang-kurangnya ada tiga pola migrasi dalam masyarakat. Pertama, migrasi ke daerah perkotaan sebagai kelanjutan dari fenomena masyarakat industri abad XIX. Kedua, migrasi dari dan ke tempat bekerja sebagai konsekuensi dari proses urbanisasi dan separasi ruang berskala luas. Dan ketiga, migrasi rekreatif sebagai fungsi dari kedua gejala di atas dan karenanya menjadi migrasi jenis baru. Ketiga gejala itu semakin menguat karena dirangsang selain oleh berbagai tekanan dan uniformitas urban life,  juga diakomodasikan oleh standard kehidupan dan mobilitas sebagaimana dikondisikan oleh sistem ekonomi urban itu sendiri. Sebagai migrasi terbaru, perjalanan rekreasi telah mengalami pertumbuhan fenomenal dan mengarah pada perubahan besar dalam life-style.

Pariwisata Terus Berkembang

Memang pariwisata akan mengikuti pola migrasi tersebut, yang memungkinkan terjadinya fluktuasi, tetapi kegiatan pariwisata akan tetap menjadi bagian dari kehidupan manusia dan mungkin hanya akan berubah dalam bentuk dan muatannya mengikuti proses waktu. Oleh sebab itu, karena watak pariwisata yang multi-dimentional, berbagai kaitannya dengan sektor manufaktur dan retail, serta bisnis musiman atau ekonomi non-formalnya, membuat pariwisata sangat sulit ditaksir besaran pasarnya.

Meskipun demikian, orang selalu menemukan cara membuat estimasi, baik menurut frekuensi perjalanan maupun total belanja wisatawan di destinasi wisata. Angka-angka statistik kedatangan wisatawan internasional memperlihatkan kenaikan signifikan sejak usai Perang Dunia II, dari 25 juta tahun 1950 menjadi 183 juta wisatawan  pada tahun 1970. Berdasarkan angka itu, kunjungan wisatawan telah mengalami kenaikan sebesar 10% selama dua dasawarsa.

Kenaikan itu rupanya menjadi penting ketika dikonversikan ke dalam penghasilan devisa negara. Sebagai contoh, dari belanja wisatawan di destinasi, pariwisata dunia telah memberi kontribusi US$ 488 milyard pada tahun 1978, yang ternyata merepresentasikan 6% GNP dunia. Jumlah ini bahkan ekivalen dengan GNP Jerman Barat pada waktu itu. Estimasi WTO (World Tourism Organization) paling baru menunjukkan bahwa belanja pariwisata dunia mengalami kenaikan menjadi US$ 919 milyard tahun 1981. Memang pertumbuhan itu menurun tajam ketika krisis minyak bumi dan inflasi sejumlah mata uang melanda dunia pada tahun 1970-an. Tetapi setelah dikalkulasi, kenyataannya penghasilan dari pariwisata tetap menunjukkan peningkatan sebesar 3 – 10% per tahun.

Meskipun mulai tahun 1973 tingkat ekspansinya terhambat sebagai dampak kenaikan harga BBM dunia, namun mengawali tahun 1980an, pariwisata mulai bergairah kembali, seperti diestimasikan oleh WTO, kedatangan wisatawan internasional mencapai 280 juta. Jika angka itu dihitung dari indikator yang mudah diukur, maka belanja wisatawan pasti melebihi jumlah itu.

Demikian pula dengan wisatawan domestik yang berbasis pada perjalanan dalam negeri. Kendati lebih sulit dikuantifikasikan, pada umumnya mencapai 75-80% dari seluruh aktivitas pariwisata. Menurut laporan WTO, ada sekitar 2 milyar perjalanan domestik pasca kenaikan BBM dunia (1981). Angka itu merepresentasikan kenaikan 240% apabila dihitung sejak tahun 1975.

Sektor Andalan

Wajar kalau kemudian pariwisata tetap dipandang sebagai industri futuristik. Alfin Toffler dalam karyanya Future Shock (1971) menganggap bahwa wisatawan sebagai ‘new nomades’. Gaya hidup mereka yang lebih individual dan fleksibel dengan sendirinya menunjukan proses ‘demassification’ dari masyarakat industri yang begitu homogen, telah berdampak pada ekspansi industri jasa yang revolusioner, yang tidak lagi berbasis barang pabrikan melainkan mengarah pada produk pengalaman (product of experience) yang tak terduga sebelumnya. Dengan munculnya tipe masyarakat dunia yang diprediksi sebagai bagian dari The Third Wafe, industri pengalaman ini bisa menjadi salah satu pilar industri besar, dan besar kemungkinannya akan menjadi fondasi yang kokoh bagi sebuah economy of service di berbagai belahan dunia.

Bangsa-bangsa Eropa yang sadar kedatangan abad baru itu, telah menjadikan pariwisata sebagai sektor andalan ekonomi nasional. Spanyol dan Austria misalnya, telah mendasari banyak pembangunan pasca PD II pada pertumbuhan sektor pariwisata. Penghasilan dari sektor ini pada tahun 1977 telah memberi kontribusi signifikan bagi peningkatan ekspor produksi dalam negeri kedua negara itu sebesar 22,5% dan 21,7%. Begitu pula dengan masyarakat Eropa lainnya, kontribusi pariwisata mencapai rata-rata 4,7% dan menciptakan sumber utama bagi proyek pembangunan lainnya. Jadi pariwisata sebagai industri yang intensif telah menjadi dasar pertimbangan politik ekonomi.  

Pertimbangan itu antara lain dicontohkan oleh Perdana Menteri Inggris, James Callaghan (1977) yang menyatakan bahwa, “Sekarang, pertumbuhan dalam industri manufaktur dan investasi baru memang membawa efisiensi lebih besar, tetapi tidak perlu diartikan menghasilkan pekerjaan baru. Untuk alasan itulah kita perlu melihat  industry of service dalam pariwisata sebagai sumber income dan peluang kerja yang penting”. Dengan kebijakan itu, tahun 1975 bisnis pariwisata di Inggris telah menyerap satu setengah juta pekerja baik langsung maupun tak langsung, yaitu 6% dari total lapangan kerja. Juga di Kanada, pariwisata telah dipromosikan sebagai bisnis yang penting, setelah diketahui bahwa pariwisata bisa mempekerjakan satu di antara sepuluh pekerja di negeri itu dan menjadi kontributor devisa ketujuh terbesar dari hasil pertukaran mata uang asing. Pun di Amerika Serikat, industri pariwisata diestimasikan menyumbang US$ 105 milyard setiap tahun dan mampu menyerap tenaga kerja sekitar lima juta orang.

Dengan angka statistik yang begitu impresif dan peluang pekerjaan yang diciptakan, pariwisata bisa menjadi a little wonder dalam berbagai political loby. Inggris Raya dan Kanada bahkan mempunyai alasan untuk memandang industri pariwisata sebagai generous development grant. Itulah sebabnya di kedua negara itu, kekuatan kerja sektor swasta bekerjasama dengan Pemerintah telah menghasilkan rencana pariwisata nasional pertama.

Sebagai lembaga internasional, PBB juga mengakui besarnya manfaat ekonomi dan sosial dari pertumbuhan industri pariwisata. Amerika Serikat sendiri yang dikenal sebagai produsen senjata dunia terbesar, ternyata sejak tahun 1979, pariwisata merupakan bisnis yang lebih besar daripada produksi senjata besi dan baja. Bisa dibayangkan bahwa  sekitar lima ratus juta pekerja dan keluarganya, dari hasil itu, mampu membayar sendiri liburannya untuk mengililingi dunia. Melihat efek ekonominya, wajar kalau kemudian dalam Konferensi Pariwisata Internasional PBB 1981 di Manila mendeklarasikan bahwa pariwisata merupakan aktivitas esensial bagi kehidupan bangsa berkat efek ganda pariwisata bagi pembangunan sektoral seperti ekonomi, sosial, budaya, dan pendidikan baik dalam lingkup masyarakat nasional maupun internasional.

Note:
Bahan renungan bagi mahasiswa MK “Geografi Pariwisata”, Jurusan Pendidikan Sejarah, FKIP Untirta di penghujung jadwal perkuliahan semester genap 2020. Berikan ulasan ringkas tentang bagaimana pertumbuhan ekonomi pariwisata di Indonesia? Dan bagaimana dampak pertumbuhan itu bagi perekonomian daerah khususnya di Provinsi Banten? Mudah-mudahan isu ini dapat menarik penelitian mahasiswa untuk bahan penyusunan skripsi dalam domain “Sejarah Ekonomi Pariwisata di Indonesia dan di Provinsi Banten.

mercredi 6 mai 2020

KEMITRAAN SINERGIS MUSEUM DAN MASYARAKAT


MK ARSIP, MUSEUM DAN DOKUMENTASI  | SEJ614418
Pertemuan Ke-15 Work from Home | Rabu, 6 Mei 2020 | 07.30 – 09.10

Materi Kuliah
MEMBANGUN KEMITRAAN SINERGIS ANTARA MUSEUM DAN MASYARAKAT
Oleh Moh Ali Fadillah

Sesuai dengan perkembangan dan kecenderungan masyarakat di era Millenium ketiga, baik di tingkat internasional maupun nasional, museum mengalami perubahan besar seiring dengan kemajuan teknologi dan informatika. Dilihat dari aktivitasnya, sebagai lembaga nirlaba museum telah menempatkan diri sebagai institusi yang dinamis. Sejalan dengan itu, tuntutan publik juga meningkat yang mengharapkan museum bukan hanya sebagai tempat menyimpan dan memamerkan benda-benda koleksi, melainkan juga dapat memainkan peran sebagai lembaga yang mampu memfasilitasi hubungan antar-budaya sebagai bagian dari dinamika kehidupan sosial.  Contoh dari hubungan antar-budaya adalah adanya keinginan individu atau kelompok orang dari suku bangsa lain atau negara lain berkunjung ke Museum karena tertarik melihat koleksi hasil karya budaya etnik atau negara asalnya.
Berikan komentar ringkas (Kelompok 1 – 3):
Saya pernah menemani seorang pakar keramik Jepang, ingin membuktikan sebaran keramik Jepang yang berasal dari perajin keramik di daerah Arita, Kyushu dengan berkunjung ke Museum Situs Banten Lama? Tahukah saudara, dari pelabuhan mana keramik Arita (Arita ceramics) dikapalkan untuk eksport, dan adakah contoh keramik Arita pada display Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama?

Gejala-gejala yang terkait dengan pengembangan museum tersebut hendaknya dibarengi dengan penyiapan museum dalam menjalin hubungan positif dengan masyarakat dalam berbagai jenis pelayanan museum. Konsekuensinya, museum perlu didukung oleh tenaga-tenaga profesional yang bukan hanya menuntut keahlian di bidang museologi, tetapi juga tercakup didalamnya keahlian bidang hubungan masyarakat (public relation). Keberadaan fungsi kehumasan itu, di samping memberikan pelayanan kepada masyarakat juga harus dapat menjalin kemitraan yang sinergis.

Pentingnya kemitraan museum adalah karena museum sebagai lembaga nirlaba, seringkali membutuhkan partisipasi aktif masyarakat baik dalam rangka ikut serta memberikan informasi tentang benda-benda koleksi maupun dukungan finansial yang diperlukan dalam pengembangan museum. Maka museum di sini harus dapat membangun suatu kemitraan positif yang dapat memainkan peran dalam jaringan sponsorship yang bukan saja bersifat finansial tetapi juga dalam bentuk jaringan pecinta museum, pelestarian budaya, dan terutama dalam membangun citra museum baik untuk masa kini maupun masa yang akan datang.
Berikan komentar ringkas (Kelompok 4 – 6):
Peran apa saja dari ”Sahabat Museum” dalam rangka turut mengembangkan fungsi museum khususnya pada museum daerah di Provinsi Banten ...?

Fungsi-fungsi hubungan masyarakat pada museum sekurang-kurangnya diarahkan untuk: (1) membangun citra museum sebagai lembaga yang memiliki kebermanfaatan secara sosial, (2) menyampaikan informasi ilmu dan pengetahuan dari benda koleksi, (3) membangun opini masyarakat tentang pengembangan museum, (4) mensosialisasikan kebijakan, rencana program dan kegiatan museum secara obyektif dan transparan, (5) melakukan pendekatan persuasif dan familiar untuk pembentukan sikap dan peningkatan minat masyarakat berkunjung ke museum, (6) mengintegrasikan program dan kegiatan museum dalam konteks dinamika kehidupan masyarakat.
Berikan Komentar Ringkas (Kelompok 7 – 9):
Sudahkah museum di daerah merealisasikan fungsi kehumasan tersebut ...! Ada pengalaman menarik ...?

Kemitraan Museum
Kemitraan (partnership) merupakan faktor krusial dalam penyelenggaraan museum. Hal itu disarankan mengingat partisipasi masyarakat sangat penting baik sebagai pengunjung maupun sebagai mitra. Kemitraan dalam hal ini merupakan bentuk kerjasama antara museum dengan masyarakat baik sebagai individu maupun kelompok atau lembaga. Jalinan kerjasama tersebut menuntut realisasi yang positif bagi peningkatan fungsi museum. Untuk mewujudkan kemitraan museum dan masyarakat perlu memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut: (1) kesamaan visi dan misi terutama berkenaan dengan wawasan kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat, pengembangan jatidiri dan dan penerapan nilai-nilai luhur bangsa, (2) tanggung jawab bersama atas kesepakatan yang dibangun baik secara bilateral maupun multilateral antara lembaga museum dengan individu atau institusi lain dengan menjunjung tinggi semangat kebersamaan secara berkesinambungan, (3) partisipasi, akseptasi, komunikasi, saling percaya dan kemauan berbagi dalam mewujudkan kegiatan kemitraan museum, (4) seimbang dan saling menguntungkan bagi kedua belah pihak yang bermitra, (5) terbuka dan tidak terkait dengan kepentingan politik praktis dalam membentuk dan melaksanakan kemitraan, (6) berwawasan pelestarian, pemanfaatan dan pengembangan museum.

Untuk menjalin kemitraan sesuai dengan prinsip di atas, museum hendaknya memberikan peluang kepada masyarakat sebagai individu ataupun kelompok / lembaga yang memiliki perhatian terhadap pelestarian alam dan budaya serta pengembangannya bagi peningkatan kualitas hidup dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.  Dengan potensi yang dimiliki oleh masing-masing pihak, kemitraan dapat diwujudkan dengan keikutsertaan dalam berbagai aspek permuseuman, baik dalam hal kepakaran, akses, pengayaan koleksi dan dukungan finansial yang dipandang sebagai faktor-faktor yang dapat mengembangkan museum. Berbagai bentuk keuntungan yang dapat diperoleh dari kemitraan, tidak hanya dalam hal pendanaan atau material saja, tetapi juga berupa fasilitas, jaringan, tenaga dengan keahlian yang dibutuhkan serta peluang-peluang bagi pengembangan museum.

Sebagai contoh bentuk kemitraan museum adalah kerjasama Museum Negeri Provinsi Banten dengan NGO Banten Heritage dalam hal advokasi dan kontribusi bakal koleksi museum. Untuk memperkaya koleksi museum, pada 13 Januari 2016 Banten Heritage pernah menyerah-terimakan artefak berupa ”pipisan batu” dan ”lumpang batu” temuan masyarakat di daerah Pandeglang. Kedua artefak tersebut diserahkan oleh Budi Prakosa, SH, salah seorang pendiri Banten Heritage yang diterima oleh Kepala UPT Museum Negeri Provinsi Banten, Drs.Tasrif di ruang pamer museum (lihat foto).
Berikan komentar ringkas (volunter):
Sebagai mahasiswa, saudara mempunyai kapasitas untuk membangun kemitraan museum. Peran apa yang paling spesifik dari mahasiwa Jurusan Pendidikan Sejarah dalam menguatkan fungsi kemitraan museum...?

Untuk mengefektifkan kemitraan tersebut, museum harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut: (1) ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai dasar penyusunan nota kesepakatan bersama (memorandum of understanding), (2) kesiapan sumberdaya manusia yang diperlukan dalam kemitraan, (3) mempersiapkan program kemitraan yang jelas dan menarik, (4) menentukan mitra yang tepat, (5) adanya jaminan perlindungan hukum, (6) evaluasi program kemitraan, dan (7) kekhasan dalam kemitraan yang disesuaikan dengan kondisi sosial dan budaya daerah setempat.

Mengacu pada prinsip dan ketentuan khas penyelenggaraan museum, pola kemitraan dapat diwujudkan dalam bentuk sebagai berikut: (1) kemitraan dalam pengembangan museum, mencakup pendidikan dan pelatihan SDM museum, pengadaan dan konservasi koleksi, pameran dan promosi, pemanduan pengunjung (bimbingan edukatif), penggalian dana (fundrising) penyelenggaraan museum, (2) kemitraan dalam pengelolaan sarana dan prasarana di kompleks museum mencakup kompleks museum dan prasarana lain yang accessible bagi publik.
Berikan komentar ringkas (volunter):
Ada gagasan bagaimana bentuk atau pola kemitraan dalam pengelolaan sarana dan prasarana museum sebagai bagian dari pembelajaran peserta didik ...?

Kemitraan juga dapat dijalin dalam bentuk pemanfaatan kompeks museum untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan di museum. Untuk itu diperlukan ketentuan yang berlaku dan disepakati bersama. Dalam pemanfaatan sarana dan prasarana tersebut, pihak-pihak yang bersepakat dapat mengajukan kegiatan baik yang terkait langsung dengan tugas pokok dan fungsi museum maupun dalam kegiatan lain yang berpotensi menarik minat dan meningkatkan kunjungan ke museum. Pihak-pihak yang akan memanfaatkan sarana dan prasarana museum dapat perseorangan ataupun lembaga, baik instansi pemerintah, swasta maupun komunitas yang sejalan dengan visi dan misi museum.

Dalam pemanfaatan museum tersebut,  kemitraan dapat melibatkan sekurang-kurangnya 8 stakeholders, yaitu terdiri dari: pemerintah pusat (nasional), pemerintah daerah (bagi museum di daerah), pengelola museum, lembaga litbang, industri & jasa pariwisata, komunitas museum, masyarakat setempat, dan pengunjung / wisatawan. Para mitra museum sebagaimana digambarkan pada bagan di atas berperan menurut domain dan kapasitas masing-masing.

Referensi:
Ardiwidjaja, Roby. 2006. ”Museum sebagai daya tarik wisata”, makalah pada Seminar Pendirian Museum Negeri Provinsi Banten, Anyer: Disbudpar Provinsi Banten.
Sakai, Takeshi. & Naniek Harkantiningsih, Wibisono (ed). 2000. Laporan Penelitian Ekskavasi Situs Tirtayasa, Banten. Tokyo: Institute of Asian Cultures, Sophia University.
Sutaarga, Moh. Amir. 1998. Pedoman Penyelenggaraan Permuseuman, Jakarta: Depdikbud.
UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya
PP No. 19 Tahun 1995 tentang Pemeliharaan dan Pemanfaatan Benda Cagar Budaya di Museum.
Permenbudpar No. 34 Tahun 2017 tentang Standar Kompetensi Kerja Khusus Kurator Museum