dimanche 8 décembre 2013

Kebijakan Pangan Sultan Ageng Tirtayasa


Executive Summary
Kebijakan Pangan Sultan Ageng Tirtayasa

MOH. ALI FADILLAH
Disampaikan pada 
Seminar Peran Alumni Perguruan Tinggi dalam Pembangunan Masyarakat Banten
Dies Natalis Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Ikatan Keluarga Alumni UNTIRTA
Serang, 3 Oktober 2004
Penalaran
Berdirinya Kesultanan Banten menandai peralihan rezim dari kekuasaan Sunda Hindu berpusat di Banten Girang ke tangan kekuasaan Islam Jawa berpusat di muara Cibanten sejak 1527. Pembangunan kota Islam itu digambarkan oleh penulis Babad Banten dalam sebaris kalimat “gawe kuta bata kalawan kawis”. Setelah mengalami tiga kali suksesi yang mulus, sejak tahun 1596 perjalanan sejarah Banten mengalami beberapa kali “pasang-surut” yang disebut Dr. John N. Miksic (1986) sebagai periode “kejayaan berfluktuasi”, kalau tidak dapat disebut golden age yang semu.

Selama hampir tiga dasawarsa (1596 – 1624) Banten terus dilanda krisis. Kronik Sajarah Banten dengan segala metaforanya, juga tidak luput mengungkapkan situasi sulit itu, terutama pada setiap suksesi kekuasaan. Banyak kesaksian orang-orang Portugis, Belanda, disusul oleh para pedagang Inggris, Denmark dan Perancis, mencatat detil-detil peristiwa yang mengungkapkan betapa krisis kekuasaan senantiasa melanda kerajaan itu, baik dipicu oleh masalah internal maupun intervensi asing.

Dengan konvergensi bukti sejarah itu, seorang sarjana Perancis, Dr. Claude Guillot (1992) dengan yakin menyatakan bahwa Banten selama tiga puluh tahun itu telah mengalami apa yang disebutnya la guerre civile (perang sipil) karena politik ekonomi Banten yang hanya terfokus pada monokultur lada, sementara kebutuhan pangan kurang mendapat perhatian. Ketika eksportasi lada stabil di pasaran dunia, beras bisa diimpor, tetapi manakala terjadi gangguan (blokade laut) oleh kekuatan ekonomi Belanda (VOC) di jalur perdagangan maritim, eksportasi lada pun terhenti dan ketakseimbangan moneter mengancam stabilitas ekonomi. Pada periode itu, Banten pernah mengalami apa yang disebut ‘krisis pangan’, karena produksi padi terbatas sementara penduduk semakin padat.

Dalam situasi sulit itu, banyak bermunculan tokoh penyelamat dengan berbagai kebijakannya, tetapi diantara mereka, tokoh yang patut dikenang dalam historisitas Banten adalah Sultan Ageng Tirtayasa, sebagai raja Banten paling disegani oleh para pembesar VOC di Batavia karena kecerdasan, keteladan, dan keberaniannya.


Permasalahan

Dalam kasus ini, karya besar Sultan Ageng Tirtayasa adalah contoh kongkrit dari sebuah kebijakan publik yang hendak mempromosikan pentingnya melepaskan ketergantungan pada kekuatan asing yang berakibat pada monokultur lada; sebuah ketergantungan ekonomi yang pada akhirnya menghempaskan Banten pada situasi chaos sekitar empat abad lalu. 

Maka bisa dibilang bahwa Sultan Ageng adalah sosok raja Banten yang mampu mengaktualisasikan kembali kebijakan swasembada pangan bagi tanah dan rakyat Banten melalui proyek-proyek besar di bidang pertanian.  Tetapi sepenting itukah nilai kesejarahan Sultan Ageng? Tulisan kecil ini akan mencoba mengulas kembali, apakah kebijakan itu mampu mengeluarkan Banten dari krisis multi-dimensi dan bagaimana gagasan-gagasan cemerlangnya dapat menjadi pelajaran berharga dalam kerangka mengisi kekosongan pengetahuan kita tentang mentalitas orang Banten bagi perencanaan pembangunan sekarang dan masa depan Banten.


Fragilitas monokultur lada 

Ekonomi Banten menjelang abad XVII, seperti dipresentasikan oleh banyak sumber, terutama berbasis pada tanaman dan eksportasi lada yang diproduksi di pedalaman dan jajahan Sumatra Selatan (Lampung dan Bengkulu). Masalah utama yang dihadapi “negara-kota” Banten adalah karena ekonomi itu didasarkan pada kebijakan monokultur. Kemakmuran penduduk juga digambarkan demikian kuat terasosiasi dengan keuntungan dari eksportasi lada, yang telah membuat Banten mencapai reputasi sebagai negara pengekspor lada kedua terbesar setelah Aceh di Asia Tenggara. 

Kenyataannya, boom ekonomi itu tidak dibarengi dengan penyediaan bahan pangan yang cukup untuk ibukota dengan penduduk mencapai 150.000 jiwa dalam ruang mukim yang relatif kecil. Ketergantungan pada ekonomi lada ternyata eqivalen dengan ketergantungan penduduk pada importasi beras dari pelabuhan-pelabuhan pesisir utara Jawa Tengah, padahal sampai pada akhir abad XV, Banten dikenal oleh para pedagang Portugis sebagai salah satu pelabuhan yang mengekspor beras dan bahan pangan lain (Coressao, 1944).


Masalahnya, banyak bangsawan Banten menganggap perdagangan lada hanya menguntungkan orang asing dan bahkan dipandang sebagai sumber konflik yang berakibat terjadinya  “perang saudara” . Oleh karena itu,  pemegang jabatan “wali raja”, Pangeran Ranamanggala segera memutuskan untuk menghentikan semua kegiatan perdagangan di seluruh teritorial Banten dan mewajibkan penduduk untuk kembali menanam padi dan umbi-umbian akibat ketidakmampuan negara mengimpor beras.  Keputusan yang tidak populis itu amat dirasakan akibatnya oleh seluruh populasi Banten, karena dengan tangan besinya ia memerintahkan untuk membabat habis tanaman lada.

Tentu saja perubahan orientasi ekonomi yang dioperasikan secara brutal itu membawa konsekuensi dramatik terhadap populasi secara keseluruhan. Perang kota  pun tak dapat dihindarkan. Kronik Sajarah Banten menyebutnya Geger Pailir (huru hara di hilir sungai). Dalam beberapa tahun, produksi lada menurun tajam, meskipun sejumlah petani masih tetap menjual lada secara sembunyi-sembunyi, tetapi harga lada di pasaran amat rendah. Pada tahun 1618, harga sekarung lada masih berkisar antara 5,5 dan 6,5 real, tetapi setahun sesudah kampanye pencabutan pohon lada (1620), harga di pasaran jatuh menjadi 0,75 real, bahkan tiga tahun kemudian hanya 0,5 real. Akibatnya sangat fatal, sekitar 6000 pedagang meninggalkan Banten dan mencoba peruntungan baru di Batavia yang baru saja dibangun oleh VOC.

Beberapa pendatang mencatat, betapa penduduk tidak sanggup lagi mengikuti perubahan-perubahan yang begitu radikal. Kesengsaraan penduduk diperparah lagi oleh epidemi yang melanda Banten tahun 1625.  Menurut estimasi saksi Belanda, selama  5 bulan, sepertiga penduduk kota musnah. Situasi politik semakin memburuk, ditambah lagi dengan blokade jalur laut oleh Batavia untuk memastikan perjanjian monopoli, dan tekanan Mataram dengan politik “unifikasi” seluruh Jawa yang menuntut pengakuan Banten atas kedaulatan raja Jawa itu tahun 1626.

Krisis kepercayaan segera dialami pemerintah Banten, seperti ditandai oleh pengabaian untuk menanam lada kembali. Sebagian besar penduduk sudah terlanjur melanjutkan usaha pertanian mereka dengan mencoba membuka lahan baru dan irigasi untuk padi dan tebu. Anjuran pemerintah untuk kembali menanam lada menjadi tidak efektif. Tetapi, tahun 1636, pemerintah terpaksa mewajibkan penanaman lada kembali. Namun keputusan itu sudah terlambat, karena Batavia telah tampil sebagai pesaing utama Banten.

Selama lebih dari satu dasawarsa, berbagai huruhara, pemberontakan, dan gerakan perlawanan bermunculan. Kebijakan penanaman kembali lada membangkitkan berbagai pemberontakan di pedalaman; daerah yang justeru dahulu secara tradisional produsen lada. Banten harus mengirim tentara 6000 orang untuk menghentikan perlawanan mereka. Di jajahan Sumatra, situasi lebih tajam. Kepala-kepala lokal di Silebar, Bengkulu, dan Lampung memanfaatkan kelemahan pemerintah pusat akibat kesulitan-kesulitan internal untuk terus menentang kebijakan sultan.  Tanpa kendali yang ketat dari otoritas Banten, mereka dapat leluasa menjual lada langsung ke pedagang asing. Namun, untuk memastikan haknya, Banten mengirim tentara ke teritori jauh itu, dan memberi sangsi kepada para pembangkang.

Proyek pembangunan pertanian 

Barangkali karena kompleksitas masalah itu, banyak perhatian sejarawan difokuskan pada orde ekonomi perdagangan Banten dengan berbagai konfliknya yang nyaris tanpa penyelesaian. Sementara itu berbagai kebijakan sultan yang terkait dengan bidang pertanian menjadi kurang diungkapkan.

Claude Guillot (1995), melalui sebuah artikelnya, La politique vivirière du Sultan Ageng, merupakan satu-satunya ahli yang mencoba mengingatkan kita untuk mengenang kembali sejumlah proyek besar Sultan Ageng Tirtayasa dalam kebijakan agrikultur di hampir seluruh pesisir utara Banten. Untuk mendapatkan informasi rinci di bawah ini diringkaskan beberapa catatan dari Dagh Register yang selalu tertarik untuk mendokumentasikan kebijakan Sultan Ageng melalui controleur atau residennya di Banten.

Proyek pertama Sultan dalam bidang pertanian dimulai pada bulan September 1569 dengan memerintahkan Kiai Arya Mangunjaya, salah seorang menterinya,  mengumpulkan kepala-kepala masyarakat untuk mengumpulkan bibit pohon kelapa sebanyak 100 unit/orang. Pohon-pohon itu harus ditanam sepanjang sungai Ontong Java (Cisadane), tapal batas timur dengan Batavia.

Proyek kedua,  berlangsung sejak tahun 1663. Proyek ini harus diselesaikan selama empat tahun, yaitu penggalian kanal yang menghubungkan sungai Tanara ke sungai Pasilian (Cimanceuri) melewati Balaraja. Sultan sendiri memimpin keberangkatan 150 kapal dengan 500 orang pekerja.

Proyek ketiga terjadi tahun 1664, sultan merealisasikan dua proyek hidraulik besar. Selama musim kering mengerjakan pembangunan bendungan. Sayangnya kita tidak tahu di mana lokasinya. Hanya tahu pembangunan disertai oleh pelarian dari Batavia.

Proyek keempat (1670-1672), dimulai pada bulan Oktober 1670 memutuskan untuk menggali kanal baru antara Pontang dan Tanara. Dalam proyek itu dilibatkan tentara 16.000 orang di antara mereka ada 200 pelarian Batavia. Sultan menempatkan saudara iparnya: Kiai Ngabehi Wangsanala untuk memimpin pekerjaan itu. Kurang dari satu bulan kemudian, sementara kanal lainnya sedang digali, sultan didampingi beberapa pembesar kerajaan berangkat ke lokasi proyek besar itu memimpin 10.000 orang.

Proyek kelima (1675-1677) membangun bendungan di atas sungai Pontang, agar air Ciujung dapat dialirkan ke kanal Tirtayasa. Selama itu pula dibangun pekerjaan irigasi di bagian barat Banten, memperbaiki irigasi sawah di daerah Anyer. Pada saat yang sama, Sultan Ageng memerintahkan penggalian kanal 3 km panjangnya di daerah Tirtayasa, dekat Tanara di mana sultan mendirikan istana. Di dekat lokasi proyek Tirtayasa, raja sepuh itu memutuskan untuk menggali lagi kanal baru. Sebanyak 2/3 populasi laki-laki dari ibukota mengikuti operasi dan adanya larangan 1/3 penduduk meninggalkan kota untuk alasan keamanan. Pekerjaan terbesar terakhir adalah membuat bendungan selama musim kering  di sungai Tanara di mana keluarga raja dan pembesar kerajaaan dapat bersenang-senang di air kanal Tirtayasa. Realisasi proyek ini dipercayakan kepada saudaranya: Pangeran Kidul.

Jika boleh disimpulkan, kelima proyek besar Sultan Ageng di bidang pertanian itu harus dilihat sebagai sebuah “gerakan nasional” yang pernah dikampanyekan oleh seorang pemimpin Banten. Selama 30-an tahun, selusinan proyek besar telah direalisasika melalui koherensi berbagai pekerjaan. Secara geografis bisa dicermati bahwa proyek-proyek suksesif itu tercatat sebagai kebijakan publik yang sesungguhnya sudah dielaborasi sebelum tahun 1659, artinya sejak awal pemerintahannya, yang mencanangkan penataan semua daratan pantai yang luas, dari Anyer sampai ke Tangerang.

Proyek besar itu bertujuan bukan hanya untuk pengembangan tanaman pangan tetapi juga memenuhi rencana pemerintah untuk restrukturasi semua teritori. Estimasi sementara untuk menunjukkan hebatnya realisasi pekerjaan itu dapat ditunjukkan oleh durasi dan besaran pekerjaan yang didukung oleh para pejabat tinggi dan keterlibatan berbagai elemen masyarakat dalam jumlah besar. Selama tiga dasawarsa itu, kanal yang sampai sekarang masih dikenang masyarakat sebagai “terusan sultan” atau “parit pangeran” mencapai panjang total antara 30 - 40 km. Dengan dukungan tiga buah “dam” yang diperkirakan berada pada tiga sungai utama, pekerjaan hidraulik itu dapat mengairi  30 - 40.000 ha sawah disertai dengan ribuan ha untuk kebun kelapa. Perlu ditambahkan: sejak proyek dimulai  sampai selesai pekerjaan, terjadi migrasi 30.000 penduduk Banten menempati daerah pertanian baru.

Penutup               

Sesungguhnya periode kemerdekaan Banten hanya berlangsung selama  150-an tahun (1527-1682). Pada periode itu, Banten diperintah oleh lima raja (1) Maulana Hasanuddin (1527-1570?), (2) Maulana Yusuf (1570?-1580?) diselingi oleh pemerintahan perwalian (1580-1594), (3) Maulana Muhammad (1594-1596), diselingi oleh pemerintahan perwalian (1596-1624), (4) Sultan Abdul Kadir (1624-1651), (5) Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682).

Kita bisa memperkirakan bahwa pada periode awal kesultanan, produksi agrikultur lebih dari cukup untuk menghidupi kota dengan penduduk belum padat.  Maulana Yusuf adalah raja pertama yang sejak pertengahan abad XVI, mengimplikasikan bermulanya politik pembangunan bidang pertanian pada sekitar tahun 1550. Dalam kronik lokal, sang raja mendapat sanjungan melalui ungkapan: kuat nambut karya […] kathah karya kabecikan, asusuk, abendung kali karana aweh manpaat (Sajarah Banten, pupuh XXII, 2/3).  Sumber itu menunjukkan bahwa raja Banten kedua telah memiliki investasi di sektor pertanian. Tetapi sepeninggalnya, setelah diselingi pemerintahan Muhammad yang hanya 2-3 tahun, ada periode perwalian yang panjang di mana para pedagang menguasai post-post penting pemerintahan antara 1580-1609.

Tampak sekali, periode sebelum Sultan Ageng naik tahta, elit kota terbagi ke dalam dua kelompok besar. Para pedagang tentu saja hanya berpikir untuk mengembangkan perdagangan dengan mengesampingkan semua intervensi kekuasaan politik. Mereka tampaknya selalu memandang penting produk-produk importable dan exportable.

Sementara itu kebangsawanan tampak mempunyai visi berbeda dengan selalu memikirkan masalah pertanian. Tampak jelas bahwa dalam kronik Sajarah Banten, mereka lebih terpusat untuk memperjuangkan pemberdayaan trilogis: kekerabatan, kesatuan agama, dan pertanian, yang cenderung pada memperjuangkan swasembada pangan.  Kecenderungan autarkis itu amat kontradiktif dengan semangat burjois yang dianut para pedagang dalam eksportasi lada. Bagian dalam kota (intra-muros) hanya didiami oleh orang Banten yang harus Islam. Sedangkan warga dari bangsa-bangsa lain tampak didorong ke luar tembok kota bahkan sampai ke pemukiman pinggiran yang terletak sejauh dua sungai di mana mereka dapat mencurahkan segala pikiran dan tenaga untuk perdagangan.

Jadi kita berhadapan dengan sebuah masyarakat yang betul-betul kontras dengan elit bangsawan dan administratif, pribumi dan secara etnik homogen, terikat pada tanah dan sebuah komunitas niaga yang orang asing dari berbagai bangsa, yang secara simbolik, ada penolakan hak memiliki tanah. Pemisahan yang tegas tak ragu-ragu menjelaskan instabilitas pada sebuah negara dagang, karena para pedagang bisa dengan mudah pergi ke pelabuhan lain.

Kondisi ini bisa dimengerti bahwa menghadapi situasi politik yang rentan konflik itu, Sultan Ageng harus dengan tegas menentukan sebuah kebijakan yang menguntungkan semua pihak dengan cara tetap menghidupkan perdagangan, tetapi diperkuat dengan ketahanan pangan dalam negeri. Kebijakan ekonomi pasar kemudian diserahkan kepada seorang syahbandar keturunan China, Kiai Ngabehi Kaytsu yang dengan kesetiaannya kepada Sultan telah betul-betul memainkan peran dalam mengefektifkan perdagangan maritime Banten.

Dalam kerangka mengoperasionalkan kebijakan pertaniannya, Sultan Ageng, masih tetap dengan semangat petani warisan Jawa, ingin mengembalikan Banten pada konsep “negara agraris”. Maka  penyediaan pangan dalam negeri harus menjadi prioritas untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk. Dengan kebijakannya itu, kesenjangan ekonomi dan politik yang telah menjadi sumber malapetaka dapat diatasi secara menyeluruh.
     
Sekarang, tidak dapat disangkal bahwa selama tiga puluh tahun, Sultan Ageng telah berhasil mewujudkan “idealisme” untuk mencapai sebuah harmoni sosial di seluruh teritorial Banten, untuk sebuah kehidupan yang makmur dan damai.  Kebijakan Sultan telah mampu merealisir sebuah tipe masyarakat yang sinergis dalam sebuah negara agraris yang diidealkan memiliki kearifan lokal menghadapi persaingan ekonomi global pada akhir abad XVII.  Sebuah masyarakat autarkis memang harus didahului dengan swasembada pangan sebelum model ekonomi makro berjalan dengan segala konsekuensi sosial dan politiknya di Negara Banten.

Keseimbangan ekonomi, dalam konteks Banten ini, bergantung pada bagaimana usaha pemerintah mampu membangun konsiliasi antara kepentingan perdagangan dan kepentingan negara. Fakta-fakta sejarah itu dengan sendirinya merupakan sebuah refleksi model masyarakat agraris dalam menghadapi berbagai perubahan ekonomi dunia yang kerap sulit diterka. 

Ketidakberdayaan Sultan Ageng menghadapi kekuatan militer Belanda pada tahun 1682 adalah cerita lain dari episode sejarah Banten. Tetapi, kekalahan Banten itu harus dicatat sebagai sebuah perjuangan hidup-mati untuk mempertahankan prinsip bahwa kedaulatan  Banten sejauh Cisadane di timur dan Anyer di pesisir barat telah ditentukan oleh integrasi masyarakat ke dalam semangat trilogi pembangunan yang mempersatukan berbagai ikatan genealogis, semangat keagamaan, dan kekuatan agraris dalam sistem sosial dan ekonomi politik yang berimbang antara kepentingan pemerintah dan kepentingan rakyatnya di seluruh wilayah Banten.

Maka, dari sudut apapun pandangan kita, karya monumental Sultan Ageng Tirtayasa yang sekarang namanya diabadikan untuk sebuah universitas negeri di Banten, dan juga sebagai “Pahlawan Nasional”, sepatutnya bukan hanya untuk dikenang, tetapi dapat menjadi bahan pengkajian berbagai disiplin ilmu untuk mengungkapkan kembali orisinalitas gagasan, pemikiran, tindakan dan semangat kenegarawanan sebagai investasi besar dalam sejarah politik, ekonomi  dan sosial di kawasan Asia Tenggara.

Referensi


De Jonge. 1608.  De Opkomst van het Nederlandsch Gezag, vol 3.; Djajadiningrat, Hoesein. 1983. Tinjauan Kritis Sarjarah Banten. Jakarta: Djambatan; Guillot, Claude. 1992. ″Libre entreprise contre économie dirigée, guerres civiles à Banten 1580-1603″, Archipel, n°  43; Guillot, Claude. 1995. ″La Politique vivrière du Sultan Ageng″ , Archipel, n°  50.; India Office Records, G/21/7, Surat dari direktur2 kepada raja Banten 1635-1682; Lodewijcksz, Wilems. 1598. D’Eerstre Boeck, Amsterdam; Miksic, John. N. 1986. ″Artifact, Monument and Urban Site Restoration″, Final Report, Seminar on Historical Sites of Banten, Jakarta : Ditlinbinjarah; Reid, Anthony. 1980. ″The Structure of Cities in Southeast Asia Fifteenth to Seventeenth Centuries″, Journal of Southeast Asia Studies, II/2 : 235-250; Rouffaer & Ijzerman. 1915. De Eerste Schipvaart de Nederlanders naar Oost India onder Cornelis de Houtman 1595-1597,  ‘s Hage : Martinus Nijhoff; Sakai, Takeshi. & Naniek H. Wibisono (ed). 2000. Laporan Penelitian Ekskavasi Situs Tirtayasa, Banten. Tokyo: Institute of Asian Cultures, Sophia University; Tjandrasamita, Uka. 1982. Sultan Ageng Tirtayasa, Musuh Besar Kompeni Belanda, Jakarta: Depdikbud; Vorstenlanden. 1926. Adatrechbundel, XXXIV, Serie D, n° 81, pp. 277-300.

Aucun commentaire:

Enregistrer un commentaire