vendredi 3 avril 2020

Saatnya Banten Memiliki Museum Daerah


menggagas berdirinya
Museum negeri PROVINSI Banten

MOH. ALI FADILLAH

Penalaran

Isu kerusakan, kehilangan dan pencurian benda cagar budaya (BCB) di Indonesia telah lama mengemuka dalam wacana kepurbakalaan nasional dan daerah. Di tengah kesulitan memastikan motif sebenarnya, kini semakin marak alasan lain yang lebih bersifat psiko-sosiologis dan sosio-ekonomi, diantaranya kecenderungan mentalitas ke arah posesif irasional untuk bertindak sendiri: memiliki, merubah, memperjualbelikan dan bahkan merusak atau memusnahkan benda cagar budaya. Semua gejala itu semakin menyudutkan bangsa ini pada ketidakberdayaan memaknai, memelihara dan mengelola warisan budaya.            
Sesungguhnya ada kepentingan yang lebih rasional dilihat dari manajemen sumberdaya budaya, yakni pengembangan kebudayaan yang semestinya menjadi ‘dasar filosofis’ pembangunan fisik material yang sedang gencarnya di segala bidang. Tetapi gejala ini sulit dipahami mengapa semua itu bisa terjadi, padahal Indonesia sudah memiliki seperangkat peraturan perundangan, terutama Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, yang kemudian direvisi menjadi Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya beserta peraturan pelaksanaannya.
Ironisnya lagi, bahkan sejak zaman kolonial, kita telah memiliki instansi-instansi yang khusus menangani pelestarian warisan budaya baik dalam bidang penelitian maupun pelestarian. Tetapi, mengapa masih juga terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap Undang-Undang itu? Jawaban paling umum biasanya sangat klasik: karena belum tersosialisasikan! Tersosialisasikan atau tidak, warisan budaya kini menjadi isu pokok meski belum dipandang terlalu penting, baik di tingkat nasional maupun daerah setelah terjadinya banyak kasus di Indonesia.
          Sinyalemen seperti itu, juga sudah terjadi di Banten, tetapi ‘gaung’ nya belum meluas ke tingkat nasional. Apriori saja, barangkali itu terjadi karena nilai budaya warisan Banten dianggap belum signifikan dibandingkan dengan nilai budaya luar? Atau, mungkin karena justifikasi ilmiahnya belum mendapat tempat yang khusus di benak para politisi, birokrat, ahli atau media massa.
          Siapa peduli semua itu? Nyatanya, sudah hampir enam tahun Provinsi Banten berdiri, bahkan empat kabupaten dan dua kota telah ada mendahului provinsi induknya, mustahil jika perhatian terhadap warisan budaya masih ”jalan di tempat”. Tentu saja, kita sangat menghargai pihak-pihak yang dengan kekuatan instansional dan kepasitas individualnya telah melakukan berbagai upaya ke arah pelestarian warisan budaya.
          Tetapi, dari sudut pandang lain, penting untuk memberi perhatian khusus bahwa selain fungsi pemerintahan telah operasional dalam format daerah otonom sejak disyahkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 yang kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, juga telah berdiri Provinsi Banten berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2000 memenuhi kehendak masyarakat membangun daerahnya. Tetapi sudah adakah sebuah museum publik yang memainkan peran melindungi, menyelamatkan, melestarikan dan mengembangkan warisan budaya Banten? Sudah adakah sebuah museum yang mampu merepresentasikan potensi budaya seluruh kabupaten dan kota di wilayah provinsi ini? Mustahil pula jika belum ‘terpikir’ oleh beberapa kalangan intelektual, politisi atau birokrat, tetapi pertanyaan yang sangat urgen untuk dijawab sekarang adalah jenis museum apa yang diperlukan provinsi Banten? Polemik sejak ini mestinya bermula!

Banten, Provinsi Budaya     
          Pada awal tulisan ini, pertanyaan pertama yang relevan diajukan adalah mengapa harus ditujukan ke Banten untuk lokus public museum? Jawabnya mudah, tetapi diperlukan sejumlah argumen yang ‘masuk akal’.           Pertama, karena Banten sekarang sudah menjadi sebuah Provinsi di NKRI berdasarkan UU No. 23 Tahun 2000.   Berangkat dari aturan perundangan itu, kita mempunyai landasan yuridis formal untuk mengangkat isu public museum sebagai wacana provinsial. Pendirian provinsi Banten pasti berangkat dari semangat cultural value kegemilangan kesultanan Banten. Dengan referensi sejarah itulah Provinsi Banten memiliki alasan fundamental untuk menentukan batas teritorial terutama secara politik administratif. Ini pasti merupakan produk dari upaya ekstrapolasi  bekas wilayah Kesultanan Banten; meski sesungguhnya batas-batas itu baru ditentukan pada awal abad XIX sebagai unit administratif Residentie van Bantam. Sudah tentu, penentuan batas itu mengandung segala implikasi sosial dan budaya yang pernah berproses sepanjang sejarah Banten.
          Dengan begitu, maka secara moral, pengembangan kebudayaan di seluruh Banten mestinya menjadi agenda penting, supaya argumentasi sejarah itu bukan sekadar ‘mitos’ perjuangan, tetapi juga harus menjadi reperkusi ke masa lampau dan referensi jauh ke depan, yakni pembangunan berkelanjutan. Jika mungkin, dengan perspektif itu, Banten akan mampu memperpendek jarak ‘ketertinggalan’ di bidang pengembangan kebudayaan dari ‘saudara tua’ kita, Provinsi Jawa Barat.
          Kalau wacana ini bisa dikategorikan sebagai ‘keniscayaan’, sesungguhnya Museum Provinsi Banten atau apapun namanya, tidak terlalu sulit direalisasikan. Namun ikhtiar itu bergantung kepada visi kedaerahan, apakah masyarakat Banten mampu mengembangkan tindakan global yang inovatif dan proaktif dan berhasil meninggalkan ‘penyakit’ lama, yakni tindakan lokal yang tetap mewarisi sikap yang sekadar adaptif dan reaktif, lantas ikut terhanyut dan menjadi penonton hingar-bingar globalisasi.  Kalau kita sepakat memilih mentalitas pertama, maka kita sedang berhadapan dengan pertanyaan kedua: mengapa perlu mendirikan museum? Ada tiga alasan yang bisa dijadikan argumen, yaitu akademis, sosio-kultural dan politik ekonomi.
          Secara akademis, sebuah museum diperlukan kehadirannya di tengah-tengah masyarakat modern, karena keberadaannya dalam sebuah provinsi, bukan semata-mata untuk menyimpan BCB khususnya benda bergerak, melainkan juga akan mewujudkan fungsi-fungsi penyebarluasan ilmu pengetahuan dan pelayanan pendidikan masyarakat agar mampu mencermati evolusi manusia, tingkatan kecerdasan, kearifan lokal dan kemajuan peradaban yang pernah dicapai dari jaman ke jaman.
          Secara sosio-kultural, sebuah museum diperlukan karena ia akan mendukung fungsi pengembangan dan pemberdayaan warisan budaya bagi pelestarian dan transfer value system, knowledge system dan symbolic system yang sangat diperlukan bagi reaktualisasi dan reformulasi esensi dan eksistensi ”manusia Banten” dalam kerangka sustainable human development.
          Terakhir adalah alasan politik ekonomi. Dalam perspektif ini, peran museum diperlukan untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya budaya (cultural resources) bagi kepentingan peningkatan ekonomi daerah. Di dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1990, yang kemudian direcisi menjadi Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, terkandung adanya pengembangan pariwisata budaya; dalam hal ini museum merupakan salah satu obyek dan daya tarik wisata.  Dengan begitu, warisan budaya juga bisa menjadi sumber pendapatan daerah dan nasional, selain sektor industri, pertanian dan jasa.
          Ketiga alasan itu cukup memberi kita argumen kuat untuk mendirikan sebuah public museum di ibukota provinsi, dan membuang jauh prasangka ‘latah’ meniru provinsi lain yang telah lebih dulu memiliki museum. Apa sebabnya? Karena Provinsi Banten sejak semula berangkat dari isu sejarah dan format budaya sendiri.  Dengan kekayaan budaya yang spesifik di tiap-tiap kabupaten dan kota, jika dikembangkan nanti, bisa jadi Banten bukan hanya provinsi dalam artian satuan politik administratif belaka, tetapi juga ‘provinsi budaya’ yang mampu memediasi dan mengembangkan potensi-potensi budaya di seluruh Banten.          
          Dengan kerangka pikir itu, maka secara kultural Provinsi Banten akan berbasiskan pada masyarakat dan kebudayaan Banten. Inilah substansi dari spirit of Banten, hak sejarah kita!

Mengapa Public Museum ?
          Museum adalah sebuah lembaga yang memungkinkan menampung semua jejak budaya lintas waktu, lintas ruang dan lintas disiplin ilmu serta terbuka untuk semua lapisan masyarakat dari berbagai tingkat pendidikan dan pengetahuan. Kategori itu sangat paralel dengan definisi museum menurut International Council of Museum (ICOM) dan ASEANCOM, yaitu a permanent institution in the service of society and of its development, open to the public which acquires, conserves, communicates, and exhibits for purpose of study, education and enjoyment material evidence of evolution of nature, man and culture. Dengan definisi itu, maka museum bukan sekadar a building to house collections of objects. Apalagi disebut ‘gudang barang kuno’.
          Masalahnya mengapa harus memilih public museum atau museum umum? Dengan tugas pokok dan fungsi pengumpulan, perawatan, pengawetan, penelitian koleksi, display dan penerbitan hasilnya seperti tertuang dalam SK Mendikbud No. 001/0/1999, museum di Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam beberapa jenis. Berdasarkan SK Mendikbud No. 079 / 1975, Bab XLVI, Pasal 728 museum dilihat dari ragam koleksinya dapat dikelompokkan menjadi tiga tipe, yakni museum umum, museum khusus dan museum pendidikan (sebenarnya subtipe museum khusus). Apabila museum khusus (specialized museum) dicirikan oleh sekumpulan koleksi yang terkait dengan satu cabang seni, teknologi atau disiplin ilmu, maka museum umum menampung koleksi yang terkait dengan berbagai cabang seni, budaya, teknologi atau beberapa disiplin ilmu.
          Maka, dengan perspektif sejarah Banten yang mencakup jaman nirleka sampai sekarang (termasuk peristiwa berdirinya Provinsi Banten) dan merepresentasikan seluruh kabupaten dan kota, museum umum (public museum) lebih tepat untuk dipilih sebagai museum provinsi. Keberadaannya juga dijamin oleh UU No. 5 / 1992 pasal 22 (1) dan ditegaskan oleh PP No. 10 / 1993 pasal 40 (1), bahwa ‘Benda cagar budaya tertentu baik milik negara ataupun perorangan, dan dalam rangka penyimpanan, perawatan, pengamanan dan pemanfaatan, dapat disimpan dan dirawat di museum’.
          Sekarang, seperangkat peraturan perundangan tentang BCB dan permuseuman telah kita miliki bersama dan telah pula kita pahami. Lantas, apa yang bisa kita perbuat kini dan nanti untuk Provinsi Banten, bergantung kepada komitmen seluruh komponen masyarakat dan pemerintah daerah.
          Merenungkan dan memikirkan berdirinya museum yang akan menjadi kebanggaan masyarakat Banten tentu sudah bukan waktunya lagi. UU No. 32 Tahun 2004 sesungguhnya telah memberikan sebuah ‘kemerdekaan budaya’ bagi daerah. Kewenangan daerah telah diberikan untuk menyelenggarakan pemerintahan sesuai dengan potensi daerah masing-masing, termasuk didalamnya kewenangan untuk pembangunan kebudayaan, dengan mengelola sumber daya nasional (alam, buatan dan manusia) yang ada di wilayahnya.
          Jika kita tahu, benda cagar budaya adalah sumber daya buatan sebagai hasil cipta, karsa, dan karya masyarakat Banten dalam sejarahnya yang panjang, maka melestarikan dan mengembangkannya dalam sebuah museum yang representatif mestinya sudah mulai direalisasikan. Tetapi kapan itu? Mari kita bersabar, karena ”Seminar Pentingnya Museum Negeri Banten” yang digelar beberapa hari lalu oleh Disbudpar Prov. Banten, bukanlah sekadar membangun ”wacana”, apalagi dikategorikan sebagai ”kuliah” museologi atau museografi. Tetapi seminar itu telah menjadi tonggak sejarah untuk menyiapkan langkah-langkah kongkrit ke arah perencanaan, pengembangan dan pengelolaan Museum Negeri Provinsi Banten. Hitungan tahun pasti akan membuktikan keberadaannya.
                       
Note: Tulisan ini pernah terbit dengan judul  ”Saatnya Banten Memiliki Museum Provinsi”, terbit pada Majalah Menara Banten, Vol. XLIV, Agustus 2006. Museum Negeri Provinsi Banten diresmikan pendiriannya oleh Gubernur Banten, Rano Karno pada tanggal 30 Oktober 2015.

Aucun commentaire:

Enregistrer un commentaire