Secara geografis daerah Banten
mempunyai posisi penting dalam peta wilayah Indonesia. Pada masa modern tampak,
karena letaknya itu, daratan Banten yang dalam peta-peta awal Portugis (awal
abad XVI) diperkenalkan sebagai salah satu spice island, merupakan
tempat transit utama yang menghubungkan wilayah barat dan timur Indonesia.
Dalam pandangan ahli prasejarah, Pulau Jawa dan Sumatra ini juga dikenal
sebagai salah satu ˝jembatan darat˝ bagi migrasi manusia purba dari
barat ke timur. Daerah Banten khususnya, pada beberapa dekade terakhir telah
menjadi kawasan industri, perdagangan serta agribisnis sehingga memungkinkan
Banten menjadi interaction sphere cukup pesat dibandingkan dengan
daerah-daerah lainnya di Jawa Barat; dengan pertumbuhan ekonomi cukup tinggi.
Potensi arkeologi Banten
Di sini pula kekayaan budaya Banten terkonservasi. Serangkaian penelitian
arkeologi sejak paruh kedua abad XX, telah dapat mengidentifikasi jejaknya,
bahwa daerah ini telah mengalami eksploitasi sejak masa-masa yang sangat tua
hingga sekarang. Dilihat dari kandungan budaya yang dimilikinya, daerah ini
menunjukkan corak budaya yang lengkap, dari yang tertua pada masa neolitik
hingga periode Islam dan Kolonial.
Koeksistensi tipe-tipe budaya itu bukan tidak mungkin dapat terbentuk
berkat kekuatan adaptatif dan inovatif dalam mengeksploitasi lingkungan
geografis sebagai titik-titik kontak berbagai tradisi besar: India, Cina, Islam
dan Eropa, yang telah berlangsung secara berturut-turut atau bersamaan. Dengan
demikian, dalam kajian arkeologi sejarah melalui subyek hunian manusia dan
perkembangan budaya, Banten memiliki potensi budaya yang signifikan dengan
segala keunikan dan keragaman.
Dari tipe artefak dan tinggalan bangunan hasil penelitian arkeologi selama
tiga dasawarsa, para arkeolog pada umumnya membagi Banten ke dalam empat
babakan waktu: prasejarah, klasik (Hindu-Budha), Islam dan kolonial. Pembabakan
waktu seperti itu agaknya diilhami oleh model penelitian masa kolonial; mulanya
diprakarsai oleh para ahli Belanda, karena terpengaruh oleh semangat renaissance.
Pembabakan waktu seperti itu ternyata masih tetap menjadi model penelitian
arkeologi masa kini.
Kasus Banten masih berada dalam kesangsian. Memang beberapa hasil
penelitian menunjukkan adanya jejak-jejak budaya Hindu-Budha, seperti penemuan
arca Hindu dan reliek Budhis di pedalaman Banten, tetapi masih terlalu sulit
untuk dimasukkan sebagai sebuah ˝periode˝ khusus di Banten. Fenomena
sejarah yang menarik adalah bahwa daerah Banten menunjukkan kesinambungan
budaya prasejarah hingga masa kedatangan Islam bahkan sampai awal Milenium III
sekarang. Dengan demikian dari perspektif arkeologi, daerah Banten dapat dipandang dari subyek tradisi, akulturasi, dan inovasi sehingga substansi budaya
kawasan tersebut menunjukkan corak tersendiri di Nusantara.
Sejak tahun 1970-an Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Suaka
Peninggalan Sejarah dan Purbakala (sekarang : Balai Pelestarian
Peninggalan Purbakala) penelitian Arkeologi Islam yang awalnya dipusatkan di
situs Banten Lama, kini telah dilakukan pada beberapa daerah kabupaten di
Provinsi Banten. Dengan memfokuskan perhatian pada tinggalan-tinggalan budaya
masa prasejarah, klasik dan masa Islam, penelitian telah mengarah pada
rekonstruksi sejarah kebudayaan yang mencakup semua aspek budaya dari awal abad
Masehi sampai periode kolonial di Banten. Gejala-gejala arkeologis yang
ditemukan telah membawa penelitian pada masalah-masalah yang berkenaan dengan
pemukiman rural dan urban dengan berbagai karakteristik budaya khas untuk
memenuhi kebutuhan hidup seperti terefleksi dari tinggalan bangunan megalitik,
arca, relik-relik kubur, wadah tanah liat bakar, pecahan keramik, serta sistem
tulisan dan bahasa.
Pemukiman rural dan urban
Kajian pemukiman pada umumnya dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu
pemukiman rural dan pemukiman urban. Studi pemukiman rural merupakan salah satu
spesialisasi dalam arkeologi yang menitikberatkan perhatian pada strategi
manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup pada suatu lokus berkategori rural.
Dalam studi pemukiman ini, penelitian arkeologi mencakup aspek-aspek adaptasi
lingkungan, pemilihan lokasi mukim, pengolahan sumber daya dan organisasi
sosial-ekonomi. Melalui hasil-hasil kebudayaan materi yang masih resistan dari
gigitan waktu dan vandalisme, penelitian mencoba merekonstruksi peri kehidupan
pemukiman, perkembangan budaya, serta menjelaskan hubungan kausalitas dalam
proses budaya sebagai akibat dari proses dinamis dalam pergeseran ruang atau
perpindahan pusat-pusat pemukiman pada beberapa periode sejarah.
Situs-situs pemukiman yang telah dikenali kembali diantaranya situs
pemukiman Sajira, Lebak Cibedug, Kosala (Lebak), Cibaliung, Mandalawangi, Batu
Ranjang, Sahyangdengdek, Pahoman, dan Batu Gong di Kabupaten Pandeglang. Dari
seluruh situs tersebut sebagian telah dapat dikenali kembali kronologi, watak
dan sifat pemukiman: pusat kerajaan, sentra tekno-ekonomi, kompleks makam, dan
pemukiman yang berbasis pertanian.
Studi arkeologi juga telah menemukan kembali situs perkotaan dari masa
Islam yang tumbuh dan berkembang hampir serentak di kepulauan Nusantara,
terutama di daerah pesisir utara dengan dasar ekonomi pada perdagangan di
muara-muara sungai yang bisa dilayari. Situs-situs yang telah diteliti di Banten
adalah pusat kerajaan di Banten Girang dan Banten Lama. Kedua situs itu
dicirikan oleh beberapa aspek kehidupan kota: struktur ruang kota ‘dalam’
benteng dan ‘luar’ benteng (tembok kota), pembagian ruang hierarkis,
pusat-pusat industri, dan ruang-ruang politik-administratif.
Kajian budaya spesifik
Kajian arkeologi di samping bersifat generalitas, juga berkembang studi
arkeologi yang menuntut pendekatan spesifik. Salah satunya adalah kajian
arsitektur yang kerap dilakukan pada sejumlah bangunan baik yang terdapat di
situs pemukiman rural maupun urban. Spesifitas kajian difokuskan pada bangunan
sakral dan profan dari periode prasejarah, Islam sampai masuknya pengaruh
kolonial. Pendekatan tersebut diimplementasikan dengan mengidentifikasi
struktur, konstruksi serta seni dan langgam bangunan dalam konteks pemanfaatan
ruang untuk memenuhi fungsi baik praktis maupun simbolik. Beberapa situs yang
telah diteliti dengan model studi ini antara lain Banten Lama, Banten Girang,
Lebak Cibedug, Kosala, dan situs-situs dari masa kolonial seperti Serang,
Pandeglang dan Rangkasbitung sebagai jaringan administratif dari Keresidenan
Banten.
Dengan pendekatan arsitektur, sejumlah bangunan keraton, gedung
pemerintahan, rumah pejabat pemerintah dan rumah penduduk biasa yang masih
terpelihara sampai sekarang menunjukkan dua tipe seni bangunan yang
dikarakterisasikan oleh konstruksi panggung dengan berbagai simbol kekuasaan
politik seperti ditunjukkan oleh tampilan denah, atap, teras, tangga dan oleh
konstruksi batu bata yang memberikan nuansa Cina dan Eropa. Demikian pula
dengan bangunan masjid di Banten, sebagian besar masjid kuna menunjukkan
kesamaan konsep dengan struktur masjid di daerah Jawa lainnya, yang pada
umumnya berdenah persegi empat dengan atap tumpan. Perbedaannya lebih
ditekankan pada penggunaan bahan dan detil-detil dekoratif yang lebih memberi
nuansa seni lokal.
Masuk dalam kategori arsitektur adalah bangunan keagamaan baik dari masa
prasejarah maupun Islam. Bangunan makam memberi ciri khusus pada model budaya
Islam. Baik jirat maupun nisan kubur di hampir seluruh situs Banten Lama
menunjukkan dua unsur budaya berbeda, nisan kuburnya bertipe Aceh sedangkan
jiratnya menyerupai bangunan makam di kompleks masjid Sendang Duwur dan
Cirebon. Di luar Banten Lama kebanyakan makam menunjukkan ciri lokal yang
dikarakterisasikan oleh bentuk-bentuk menhir. Sedangkan dari periode
prasejarah, pada umumnya berupa punden berundak dan alter batu yang dari segi
arsitektur menunjukkan pola yang sama dengan daerah lain.
Berdasarkan data arkeologi itu, dapat dikatakan bahwa sejak abad XVI sampai
akhir abad XVII, Banten mengalami apa yang disebut dengan kemajuan cukup
signifikan di bidang arsitektur, baik pada struktur bangunan maupun artefak
sakral dan profan. Hal itu menunjukkan betapa kemajuan di bidang politik dan
ekonomi perdagangan membawa pengaruh besar pada pertumbuhan peradaban terutama
setelah Islam menjadi anutan massal pada masyarakat kota maupun rural.
Kecuali memberi nuansa pada arsitektur lokal dan perpaduannya dengan seni
dan arsitektur eksternal, periode Islam juga telah menghasilkan karya-karya
tekstual yang kaya dengan gagasan, pemikiran religius dan seni khat baik yang
dituangkan di atas kertas, kayu, batu, interior
masjid maupun pada panil-panil makam kuna, mulai dari bentuk yang sederhana
sampai yang kompleks. Mengingat kepentingannya dalam kerangka sosialisasi
Islam, studi epigrafi Islam dan naskah-naskah kuna kini telah menjadi bidang
kajian inter-disipliner.
Dengan pendekatan epigrafis dan filologis, sumber tekstual itu telah
dapat memberikan sumbangan bagi penelitian arkeologi, yaitu berupa pertanggalan
situs atau bangunan, sejarah pemukimam serta proses masuk dan berkembangnya Islam
serta difusi-difusi budaya yang menyertainya. Melalui kajian itu, beberapa ahli
arkeologi, filologi, dan sejarah telah menginventarisasi berbagai sumber
informasi antara lain berupa naskah Al-Quran, teks khotbah Jumat, tassawuf,
do’a-do’a, serta karya-karya kesusastraan Islam lokal seperti hikayat,
kronik-kronik dinasti dan primbon (Ekadjati dan Duarsa, 1999).
Kajian spesifisitas lain terarah pada temuan sejumlah besar fragmen wadah
tembikar dan keramik. Kedua benda itu selalu ditemukan pada hampir
setiap situs pemukiman Islam baik dalam skala rural maupun urban. Karena
pentingnya artefak itu sebagai komoditas perdagangan lokal, regional atau
bahkan internasional, maka penelitian arkeologi kota dan rural telah menghimpun
sejumlah besar wadah tembikar dan keramik dari berbagai situs pemukiman dan
kota Islam. Apabila wadah tembikar lazim dikategorikan sebagai produk lokal,
maka barang porselin memberikan informasi hubungan dagang dengan dunia luar dan
menjadi bukti otentik bahwa sebuah pemukiman telah masuk dalam jaringan
pertukaran interregional, dalam skala nusantara, atau bahkan Asia Tenggara.
Pada beberapa situs pemukiman telah ditemukan sejumlah besar fragmen keramik
Cina, Thailand dan Vietnam yang pada umumnya berasal dari abad XII sampai XVII.
Pengembangan potensi arkeologi
Dengan hasil-hasil penelitian arkeologi seperti diuraikan di atas, disiplin
arkeologi tidak bisa diragukan lagi perannya yang penting di Banten. Namun
alangkah naifnya jika kita terus mengembangkan teori dan metode tanpa
mengetahui manfaatnya bagi kehidupan nyata. Benar apa yang dikatakan Kluckohn
bahwa the archaeological research provides a healty intellectual interest
(Ford, 1973), tetapi itu lebih tepat untuk ilmuwan Barat yang mengagumi
kebudayaan asli Indian. Arkeologi Indonesia bukan sekadar memenuhi hasrat
kognitif segelintir saintist, tetapi seharusnya menimbulkan sens of
belonging yang mengikat semua elemen masyarakat pada nilai-nilai
kelampauan. Semangat inilah yang telah lama mendasari kebijakan pembangunan
bidang kebudayaan sebagaimana tertuang dalam RPJMN 2010-2014, bahwa dari
seluruh bidang pembangunan yang tertuang dalam program pembangunan itu terdapat
sub-sub bidang pembangunan: lingkungan hidup, tata ruang, teknologi rekayasa,
dan wawasan nusantara serta ketahanan nasional disebutkan harus mengacu pada
norma-norma budaya.
Berangkat dari semangat pembangunan nasional itu, sesungguhnya pembangunan
bidang kebudayaan dapat memberi dasar-dasar moral dan spiritual bagi
bidang-bidang pembangunan lainnya. Jika kita sepakat bahwa arkeologi adalah
salah satu ilmu budaya, maka dalam konteks pembangunan bangsa, arkeologi
Indonesia ditantang untuk ikut berperan dalam sub-sub bidang pembangunan lain.
Untuk mengembangkan peran ini, diperlukan langkah-langkah taktis dan pemberdayaan
dalam penguasaan teknis operasional agar mampu diperhitungkan manfaatnya. Dalam
hal ini arkeologi dapat memainkan peran pada sektor jasa informasi yang
menyangkut perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan di bidang
pendidikan, penelitian, pelestarian kebudayaan untuk berbagai kepentingan (multi-purposes).
Soalnya adalah bahwa jika kita harus terlibat langsung dalam pembangunan
kebudayaan daerah dalam rangka memperkaya kebudayaan nasional sebagaimana
diamanatkan UUD 1945 dan RPJMN (2010-2014). Dan arkeologi sedang
menghadapi tantangan berat, karena harus mampu mengendalikan arah perubahan
budaya agar tidak kehilangan jatidiri dalam era globalisasi sekarang ini. Dalam
hal ini arkeologi tentunya bersama bidang keilmuan lain, harus dapat menawarkan
sebuah sistem nilai alternatif dari sejumlah komponen budaya untuk membangun
sebuah ideal type dari budaya daerah, yang pada gilirannya mampu
menunjang kebudayaan Indonesia. Budaya alternatif itulah yang akan menjadi
tolok ukur keberhasilan kinerja pembinaan dan pengembangan kebudayaan nasional.
Dan, juga kebudayaan daerah! (Moh. Ali
Fadillah).
Daftar Pustaka
Ambary, Hasan Muarif. 1996.
˝Kebijakan Strategis Penelitian Arkeologi˝, Lokakarya Evaluasi Hasil
Penelitian Arkeologi, Ujung Pandang: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional
(tidak terbit); Baloch, N.A. 1980. The Advent of Islam in Indonesia, Islamabad:
National Institute of Historical and Cultural Research; Barker, Philip. 1977.
The Techniques of Archaeological Excavation, New York: Universe Books; Binford, Lewis R. 1965.
˝Archaeological systematic and the study of cultural process˝, American
Antiquities, 31 (2), pp. 203-210; Childe, V. G. 1933. ˝Races,
peoples and cultures in prehistoric Europe˝, History 18; Clark, John Graham D. 1957. Archaeology and
Society, Reconstructing the Prehistoric Past, New York: Barnes and Noble; Clarke, D.L. 1978 [1968]. Analytical Archaeology, London: Methuen;
Daniel, Glyn. 1967. The Origins and Growth of Archaeology, Middlesex:
Penguin Books; Fadillah, Moh. Ali. 1999. ˝Etnisitas dan Nasionalisme Indonesia:
Perspektif Arkeologi˝, dalam Henri Chamber-Loir dan Hasan Muarif Ambary (eds.),
Panggung Sejarah, Jakarta: EFEO-Puslit Arkenas-Yayasan Obor: 117-137;
Ford, Richard I. 1973. ˝Archaeology Serving Humanity˝, in Charles L. Redman
(ed.), Research and Theory in current archeology, New York: John Wiley
& sons: 83-111; Guillot, Claude. 1995. ˝Archéology et Indépendence˝, Perspectives
Indonésiennes, KBRI Paris: 24-29; Mundardjito, Hasan Muarif Ambary,
Hasan Djafar, 1986 (2nd Ed), "Laporan Arkeologi Banten 1978", Berita
Penelitian Arkeologi, No. 18, Jakarta, PusP3N; Nurhadi.
1999a. ˝Arkeologi Indonesia, GBHN 98, Tantangan dan Peluang abad 21˝, Pertemuan
Ilmiah Arkeologi VIII, Yogyakarta, 15-18 Februari 1999; Nurhadi. 1999b.
˝Arkeologi dan Benda Cagar Budaya: Informasi Budaya dan Manfaatnya˝, Jakarta:
Puslit Arkenas (Memeograf); Redman, Charles L. 1973. ˝Research and Theory in
Current Archaeology: An Introduction˝, in Research and Theory in Current
Archaeology, New York: John Wiley and Sons; Siân Jones, 1997. The
Archaeology of Ethnicity, Constructing Identities in the Past and Present,
London-New York: Routledge; Tjandrasasmita, Uka. 1977. ˝Riwayat Penyelidikan
kepurbakalaan Islam di Indonesia˝, 50 Tahun Lembaga Purbakala dan
Peninggalan Nasional, Jakarta : Pusat Penelitian Purbakala dan
Peninggalan Nasional; Triggers, B.G. 1989. A History of Archaeological
Thought, Cambridge: Cambridge University Press.
Aucun commentaire:
Enregistrer un commentaire