Terbit pada HU “Kabar Banten” Selasa | 27
November 2012
Sesungguhnya terlalu biasa mencatat beberapa peristiwa besar di sekitar
kita. Penting memang, namun belum tentu bagi pihak lain. Menjelang akhir tahun
2012, ada dua momentum substantif, jika
tak layak disebut extra-ordinaire, dalam berkebudayaan di kalangan pendidik. Pertama, awal September lalu, Ikatan Guru
Indonesia Wilayah Banten bersarasehan mengusung tema “Membangun pendidikan karakter bangsa melalui budaya dan kearifan
lokal” di Kota Tangerang. Ada yang menarik untuk diingat, ternyata pesertanya bukan cuma guru, tetapi juga dosen, budayawan, seniman dan juga pengusaha turut mengkaji pentingnya sejarah lokal sebagai acuan
identitas daerah. Pada sarasehan itu, Dr. Winarno, dari Universitas
Multimedia Nusantara mengangkat isu betapa pentingnya kearifan lokal bagi
pembangunan karakter bangsa, namun masih banyak kendala untuk meningkatkan
kinerja pembelajaran kearifan lokal. Maka, aplikasi teknologi informasi dan
komunikasi diproposisikan sebagai terobosan untuk menjembatani kesenjangan
pengetahuan sejarah dan budaya lokal antara pendidik dan peserta didik, juga
antara pakar dan awam.
Kedua, pada pertengahan November lalu bertempat di Kota
Serang, Majelis Guru Mata Pelajaran Sejarah se Provinsi Banten difasilitasi
oleh Dinas Pendidikan Provinsi Banten menggelar Seminar
Pendidikan Sejarah bertajuk “Mengintegrasikan sejarah lokal Banten dalam pembelajaran sejarah di sekolah”. Patut juga dicatat sebagai peristiwa bersejarah, karena untuk pertama
kalinya saya mengikuti seminar sejarah yang dihadiri oleh sekitar 200 guru (SMA dan SMP) mewakili kabupaten / kota di Provinsi Banten, dengan narasumber interdisipliner: ilmu pendidikan dan ilmu sejarah. Dalam presentasi Prof.
Dadang Supardan dari UPI Bandung saat seminar,
terungkap bahwa kepentingan
sejarah lokal terletak pada betapa potensialnya kearifan lokal dalam keseluruhan sejarah Banten. Dan oleh karenanya perlu mengusulkan
model pembelajaran bermakna untuk menyempurnakan pendekatan konstekstual dan
transfer pengetahuan dalam pendidikan karakter. Pada kesempatan itu, Dr. Nana
Supriatna dari kampus yang sama,
juga menggambarkan kearifan lokal masyarakat Baduy dengan
contoh aplikasinya dalam Pendidikan IPS di tingkat sekolah mengengah.
Mencermati dua peristiwa di atas
timbul pertanyaan, jika para guru telah terbekali model-model pembelajaran
kearifan lokal yang dapat diaplikasikan dalam proses belajar mengajar, lantas apa
yang dilakukan oleh sejarawan untuk mengkontribusikan hasil penelitian dan pengkajian sejarah, serta
elaborasinya bagi dunia pendidikan di Provinsi Banten, setidaknya bagi para
guru yang memerlukan informasi kesejarahan lokal? Kemudian, bagaimana dengan
kelangkaan sumber sejarah, belum masifnya konstruksi historiografi Banten, dan
masih sulitnya menemukan referensi sejarah lokal bagi pendidikan menengah? Pertanyaan di atas, biarlah dulu mengendap dalam memori
kita, karena yang lebih penting saat ini bagaimana mengapresiasi kinerja guru memainkan peran signifikan dalam mengharumkan nafas
kebudayaan daerah. Dengan semangatnya itu, tak dapat disangkal, guru adalah
juga faktor dalam sistem budaya, terutama dalam proses tumbuhnya culture
tree. Intinya, mereka juga aktor utama dalam menggali dan mengembangkan jati diri dan identitas
justeru dimulai dari usia sekolah.
Dari perspektif itu, guru adalah kelompok yang sadar,
sekaligus trendsetter dalam
mengukuhkan pentingnya educated awareness.
Motivasi untuk memperjuangkan pendidikan karakter demikian kuat, karena kesadaran
konstruktif guru berangkat dari kegalauan melihat fenomena usia sekolah
yang cenderung melenceng dari tujuan pendidikan, menjauh dari performance tiga matra pendidikan:
cerdas, terampil dan berkepribadian. Kegelisahan
seorang pendidik dengan begitu patut mendapat tempat dalam cita pikir kita, karena hingga kini pembelajaran sejarah masih bergantung pada historiografi konvensional,
keberpihakan pada tradisi besar, dan formalitas naratif sejarah. Maka wajar apabila ada kegamangan dalam mentransfer
pengetahuan sejarah, karena peserta didik hanya “mampu menghafal tetapi tak nalar”. Terlebih lagi, komponen utama dalam pembelajaran sejarah:
guru, siswa, bahan ajar, media, dan metode tak lagi korelatif satu dan lainnya dalam sistem pengajaran sejarah.
Demikian pula bagi peserta didik, pelajaran sejarah ibarat produk kedaluwarsa,
tak merangsang selera dan bahkan tidak menimbulkan kreativitas untuk berinovasi,
sehingga kandungan nilai, pengetahuan dan substansi kultural dari berbagai peristiwa sejarah jauh dari kebermaknaan.
Pelajaran sejarah tetap berada dalam selubung kisah kronologis yang kaku. Kesadaran terdidik dari profesi
guru karenanya patut
dihargai, sebab bagi mereka pengabdian tak cuma mengajar dan mendidik,
tetapi berdampak positif bagi peserta didik,
generasi yang akan menjaga kontinuitas kebudayaan dalam konteks bermasyarakat dan berbangsa.
Dengan mengusung tema kearifan lokal, semangat profesionalisme guru telah menunjukkan betapa kebudayaan etnik dipandang sebagai
faktor penting dalam pengayaan identitas dan penguatan jati diri. Gerakannya
memang perlahan, namun terus mengalir memberi darah segar untuk membentuk
cabang dan ranting budaya daerah. Menarik, karena dinamikanya
berpangkal dari gerakan pembelajaran bermatra “kelokalan” pada level pendidikan menengah, apakah melalui slogan local genius ataupun
local wisdom. Tetapi kedua isu itu mengisyaratkan perlunya pembelajaran
“sejarah lokal” bagi generasi kini dan mendatang.
Sadar atau tidak, gerakan kelompok intelektual guru pada penggalian
nilai kelokalan itu sedang menuju komitmen massal, karena di kalangan mereka kini telah tertanam anggapan bahwa
kebudayaan merupakan faktor dominan dalam pembangunan karakter bangsa. Terkait
atau tidak, metaphor “If culture stops, the nation is lost and the world dies”
tampaknya mulai dipahami sebagai cultural early warning menghadapi
globalisme. Tingginya frekuensi aktivitas berkebudayaan
di kalangan guru mesti dilihat sebagai bentuk cultural awareness dalam
domain sejarah yang didedikasikan bagi dunia pendidikan. Mengingat itu, dalam retrospektif saya terasa bahwa
denyut nadi kebudayaan kini mulai nampak ritmenya, bersumber dari akar tradisi
yang menyejarah, dan merambat pada sebuah batang pohon budaya sendiri. Tetapi
mungkinkah, rancang bangun local culture tree itu akan terwujud dalam
bentuknya yang khas? Bergantung pada semangat dari trend setters pendidikan, untuk terus mensuplay energi pembelajaran sejarah lokal dalam proses pencapaian kemajuan peradaban di Provinsi Banten.
Lantas apa yang ada dalam benak kita untuk menjawab tantangan global yang menginspirasi setiap penataran, sarasehan, dan seminar sejarah lokal? Agaknya perubahan paradigma dalam pembelajaran sejarah menjadi keharusan. Kata kuncinya ada pada inovasi, dimana sejarah lokal sebagai bagian dari sistem pendidikan karakter. Dengan sistem inovasi, pengajaran sejarah harus dilandasi semangat mengintegrasikan sejarah lokal di satu sisi dan pembelajaran sejarah di sisi lain. Dimensi obyektivitas dan subyektivitas sejarah dalam kerangka sistem itu dapat dipertemukan
dalam ruang ekstra-komunikatif antara pakar selaku penyedia pengetahuan, guru sebagai intermediasi pembelajaran, dan peserta didik sebagai pengguna pengetahuan sejarah. Harapan
kita, interaksi antar ketiganya akan membawa seluruh komponen menuju dinamika kebermaknaan dalam pembelajaran sejarah local (Moh. Ali Fadillah).
Aucun commentaire:
Enregistrer un commentaire