Sampai sekarang, wisata budaya Baduy masih terus
menjadi subyek promosi. Pada setiap musim libur tahunan, kawasan pemukiman
Baduy di Desa Kanekes telah menjadi salah satu destinasi wisata baik yang
berbasis lingkungan maupun budaya. Namun kunjungan wisatawan itu tetap membawa
dampak, di satu pihak memberi manfaat finansial bagi warga sekitar tetapi di
lain pihak juga menimbulkan masalah sosial termasuk juga kelestarian
lingkungan. Beberapa pemerhati pariwisata kerap mengajukan usul
pemecahan masalah tersebut, tetapi sampai saat ini belum upaya
yang mengarah pada rencana aksi. Sebaliknya, semakin
tinggi frekuensi kunjungan wisatawan semakin beragam pula dampak yang
ditimbulkannya.
Sesungguhnya, berbagai masalah kontemporer itu pada pertengahan tahun 2002 telah menjadi perhatian khusus asosiasi pariwisata. Dalam kunjungan PATA (Pacific Asia Travel Association) Task Force ke desa Kanekes, dihasilkan suatu rekomendasi yang penting bagi orang Baduy dalam menghadapi kegiatan kepariwisataan. Sekurang-kurangnya ada tiga butir yang direkomendasikan: (1) The Baduys may decide to stop accepting visitors to their village, yang merupakan skenario paling ekstrim untuk melarang masuk atau membolehkan masuk dengan izin khusus pihak otoritas Desa Kanekes, (2) Rotation system for Baduy villages, sebuah kemungkinan untuk meminimalkan dampak kunjungan dengan cara mengatur perjalanan ke obyek-obyek secara bergiliran, dan (3) Opening of all villages in outer Baduy; sebuah cara yang memungkinkan pembukaan semua kampung bagi kunjungan, tetapi perlu regulasi dan pengawasan yang tegas untuk menjamin agar desa Baduy tidak sarat pengunjung. Tentu saja, cara itu mengharuskan orang Baduy mengikuti pelatihan tentang Community Base Tourism (CBT).
Sesungguhnya, berbagai masalah kontemporer itu pada pertengahan tahun 2002 telah menjadi perhatian khusus asosiasi pariwisata. Dalam kunjungan PATA (Pacific Asia Travel Association) Task Force ke desa Kanekes, dihasilkan suatu rekomendasi yang penting bagi orang Baduy dalam menghadapi kegiatan kepariwisataan. Sekurang-kurangnya ada tiga butir yang direkomendasikan: (1) The Baduys may decide to stop accepting visitors to their village, yang merupakan skenario paling ekstrim untuk melarang masuk atau membolehkan masuk dengan izin khusus pihak otoritas Desa Kanekes, (2) Rotation system for Baduy villages, sebuah kemungkinan untuk meminimalkan dampak kunjungan dengan cara mengatur perjalanan ke obyek-obyek secara bergiliran, dan (3) Opening of all villages in outer Baduy; sebuah cara yang memungkinkan pembukaan semua kampung bagi kunjungan, tetapi perlu regulasi dan pengawasan yang tegas untuk menjamin agar desa Baduy tidak sarat pengunjung. Tentu saja, cara itu mengharuskan orang Baduy mengikuti pelatihan tentang Community Base Tourism (CBT).
Dengan
konsep CBT itu, berbagai pertemuan harus diikuti oleh semua stakeholders untuk membahas sejumlah
permasalahan seperti: (1) dampak pariwisata bagi kehidupan sosial, ekonomi dan
lingkungan, (2) konsep-konsep CBT yang sesuai dengan adat-istiadat Baduy, (3)
berbagai sumberdaya yang dibutuhkan untuk kepentingan itu, (4) manfaat langsung
bagi penduduk lokal dan terakhir (5) rencana aksi bagi program tersebut.
Berdasarkan
pengalaman dari perjalanan ke Desa Kanekes, maka di sini penting untuk segera
menyikapi rekomendasi tersebut. Berkenaan dengan rekomendasi pertama, saat ini
menjadi tidak mungkin untuk dilaksanakan, karena sebagian masyarakat Baduy terutama yang bermukim di zona panamping
(Baduy Luar) telah memperoleh manfaat besar dari kunjungan pariwisata. Dengan
menjual beberapa jenis produk khas, mereka mendapatkan penghasilan tambahan di luar
pendapatan pokoknya dari pertanian. Bahkan beberapa orang Baduy Luar kini
semakin gencar memproduksi berbagai souvenir pariwisata untuk memasok toko-toko
di pintu masuk Cibologer.
Berkenaan
dengan rekomendasi kedua, bisa dilakukan tetapi dengan beberapa kondisi
(syarat). Hal ini perlu dipromosikan mengingat sampai sekarang belum ada aturan
yang membatasi jumlah pengunjung dalam periode waktu tertentu, akibatnya
terjadi gangguan terhadap aktivitas sehari-hari masyarakat Baduy. Dengan kata
lain, privasi warga Baduy kerap terganggu oleh para wisatawan dalam jumlah
besar (mass tourism) terutama pada
hari suci (kawalu). Dengan tujuan untuk mencegah konsentrasi pengunjung
pada satu tempat, maka kemungkinan untuk membuka gate way baru di beberapa pintu masuk bukan sesuatu yang ditabukan.
Persoalannya hanya terletak pada sistem administrasi Desa Kanekes yang demikian luas, tetapi hanya terpusat
pada satu pelayanan, yaitu di Babakan Kadu Ketug, tempat kediaman Jaro Pamarentah (Kepala Desa administratif).
Sedangkan
untuk rekomendasi ketiga, hal itu sudah dilakukan dengan sendirinya oleh warga
Baduy sendiri, karena adanya anggapan bahwa pemukiman panamping (daerah Baduy Luar) memang terbuka untuk umum dengan aturan
yang dapat ditoleransi bagi dua kepentingan: pariwisata dan pelestarian alam
dan budaya. Masalah yang kerap muncul ke
permukaan adalah karena banyak rombongan wisatawan membawa guide bukan orang Baduy, dan belum semua memahami aturan-aturan
adat yang harus dipatuhi (Bhre Wahanten
Girang).
Aucun commentaire:
Enregistrer un commentaire