Kepemimpinan Tradisional Banten
Peran Ulama dalam Membentuk Nilai Dasar Perjuangan
Peran Ulama dalam Membentuk Nilai Dasar Perjuangan
Materi LK2 HMI Cabang Pandeglang
Badiklat Prov. Banten | Kamis | 29 Agustus 2013 | 20.00
Badiklat Prov. Banten | Kamis | 29 Agustus 2013 | 20.00
Dalam sejarah politik, pergantian rejim, kendati tak harus, kerap didahului oleh konflik sosial. Terkadang juga ditandai dengan eliminasi simbol-simbol kekuasaan rejim lama dan kemuculan rejim baru. Pada kasus Banten hal itu tampak pada pergantian rejim dari kesultanan ke otoritas asing. Diawali oleh jatuhnya kota Banten ke tangan VOC pada tahun 1682, hampir seluruh pesisir utara Banten kemudian berada di bawah kendali Batavia. Kesultanan Banten kehilangan kedaulatan penuh atas teritorialnya, menyebabkan perubahan ruang kota, arsitektur, dan terjadinya kelangkaan aktivitas ekonomi dan politik-pemerintahan di ibukota Banten. Tetapi beberapa Sultan Banten masih memiliki kekuasaan intermediasi di bekas jajahan Lampung dan Bengkulu dalam perdagangan lada. Berada di bawah kontrol Belanda, Sultan-sultan Banten berikutnya sempat mengeluarkan perintah dalam bentuk piagam untuk mengatur produksi dan perdagangan lada di daerah Lampung dan Bengkulu.
Pada masa ini memang
kemakmuran dan kejayaan Banten hanya menyisakan kenangan, lebih-lebih setelah dibangunnya benteng Speelwijk yang didirikan di atas puing
benteng kota Banten. Disamping itu, dengan semakin menjauhnya garis pantai
karena proses sedimentasi Cibanten dan Ciujung, pelabuhan Banten menjadi sulit
dimasuki kapal-kapal besar di Teluk Banten. Banten akhirnya harus kehilangan
fungsinya yang penting sebagai pusat politik dan perdagangan. Pada awal abad
XIX, Kota Banten hanya
menyisakan puing-puing Keraton Surasowan, Kaibon yang bergaya klasik di tepi Cibanten
dan beberapa fasilitas perkotaan. Kecuali Masjid Agung yang masih tegak di tempatnya.
Kebudayaan Barat Bermula
Jatuhnya kesultanan
Banten (1811-1832) adalah merupakan implikasi perang di Eropa Barat, di mana
kaisar Perancis, Napoleon Bonaparte telah menugaskan Willem Daendels sebagai
Gubernur Jenderal di Batavia untuk memastikan kuasanya di Timur Jauh. Kejatuhan
Banten dimotivasi oleh politik kolonialisme bangsa-bangsa Eropa atas
bangsa-bangsa di Asia Tenggara sebagai sumber perekonomian yang strategis bagi
Eropa.
Pada awal abad XIX, Banten
mengalami transisi budaya antara Timur dan Barat. Episode paling penting adalah
ditinggalkannya kota Banten untuk selamanya sebagai pusat pemerintahan, menyusul penghapusan sistem
pemerintahan kesultanan, dan dibangunnya Karesidenan Banten yang berpusat di Serang,
sebagai rejim politik pemerintahan baru di bumi Banten. Kota Serang
yang dahulu sebagai areal persawahan paling subur dibuka oleh Maulana Yusuf,
segera setelah didirikannya Residentie van Bantam dibangun menjadi
ibukota Banten modern yang ditandai dengan berdirinya bangunan bergaya Eropa di
kota Serang. Struktur pemerintahan, sosial dan gaya hidup Eropa sejak itu
menapak di kota “Banten Baru” ini, menggantikan peran Surasowan yang sejak itu disebut Banten Lama.
Gambaran fisik
kehidupan kota kolonial tampak disituasikan oleh pertumbuhan kota Serang,
dengan berbagai aktivitas urban yang baru, lengkap dengan bangunan-bangunan
pemerintahan, keagamaan dan bangunan umum seputar alun-alun kota Serang, yang
hampir seluruhnya dicirikan oleh konstruksi dan arsitektur Barat.
Berada di bawah
kekuasaan pemerintah Hindia Belanda, daerah Banten tidak pernah kembali pada
masa kejayaannya. Sebaliknya, momentum kejatuhan Banten justeru telah
menciptakan sebuah titik balik yang signifikan bagi rakyat Banten. Tekanan
politik dan sosial ekonomi yang melampaui batas rupanya telah menimbulkan
resistensi tinggi orang Banten. Berbagai pemberontakan mulai muncul ke
permukaan meskipun dilakukan secara sporadis dan insidentil.
Menaiknya Reputasi Keagamaan
Dalam benturan budaya
itu, poros Banten – Mekah sejak awal abad XIX tidak hanya bertajuk perjalanan religius tetapi juga merupakan pencarian
konsep dan moral baru untuk menghadapi
kekuatan politik, ekonomi dan budaya Eropa yang diinternalisasi
oleh pemerintah Belanda. Hal itu terjadi berkat dibukanya terusan
Suez dan penemuan kapal uap pertama yang memungkinkan banyak orang Banten
menunaikan kewajiban ibadah haji.
Perjalanan panjang ke
Mekkah telah membuat orang Banten bisa belajar ilmu Islam di pusatnya. Tetapi
sekembalinya ke Banten, mereka membawa gagasan dan konsep baru tentang
ketuhanan, kekuasaan dan kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Maka
sekembalinya para haji ke tanah kelahiran telah memberinya otorisasi sekaligus legitimasi
keagamaan untuk mendirikan pusat-pusat pengajaran Islam (pesantren) di pelosok-pelosok
desa; menjauhi keramaian kota kolonial yang dianggapnya asing.
Pada periode inilah
Banten banyak melahirkan ulama besar. Satu diantaranya adalah Syekh Nawawi
al-Bantani yang bermukim dan memperdalam Islam di kota Mekkah. Dari
tangannyalah tersebar sejumlah karya besar pemikiran Islam, baik berupa fikih,
tafsir maupun paham tarekat. Buah karyanya itu bukan saja dipelajari di Banten
melainkan juga ke daerah lain di Nusantara dan negeri-negeri Islam lainnya di
dunia.
Di sinilah kekuatan
magnetis Banten bermula, dalam kondisi tertekan di bawah rejim kolonial,
justeru dalam kualitas kehidupan keagamaan dapat mencapai reputasi yang tinggi.
Dengan bekal konsepsi Islam yang dipelajarinya di Mekkah, Madinah dan kota-kota
suci lain di Timur Tengah, rakyat Banten menemukan alasan untuk menuntut haknya sebagai bangsa yang merdeka. Oleh karena
itu, untuk melawan kesewenangan pemerintah kolonial, banyak gerakan protes dan
bahkan perlawanan fisik dilakukan menghadapi pemerintah Belanda. Pada masa ini
tumbuh subur penganut tarekat Samaniyya dan Rifaiyya, sebagai disiplin mistik Islam yang dapat melahirkan kekuatan fisik
penganutnya melalui latihan “debus”.
Salah satu gerakan
rakyat Banten yang terkenal adalah pemberontakan petani Banten di Cilegon tahun
1888 yang kemudian dilanjutkan dengan pemerontakan-pemberontakan lain dalam
skala kecil hampir di seluruh Banten. Rejim kolonial memang tidak runtuh karena pemberontakan itu, tetapi
pengunduran diri beberapa Residen Belanda mengindikasikan betapa tidak mudah
menghadapi resistensi orang Banten. Dan, semangat itulah yang terus bergelora
di seluruh pelosok Banten untuk ikut memperjuangkan bangsa Indonesia yang
merdeka, terlepas dari penjajahan bangsa lain.
Kepemimpinan Ulama
Sejak empat abad
lampau tanah Banten memiliki karakter khusus dibanding daerah lain di Pulau Jawa. Dengan jejak kultural yang spesifik itu, Banten
merepresentasikan sebuah zona sosio-kultural otonom. Faktor dominan
yang menunjukan konfigurasi sosial tersebut bertumpu
pada aspek agama yang demikian menonjol di
tengah gerakan modernisasi. Ratusan pesantren dan ribuan santri di seluruh
pelosok desa menjadi indikator betapa Banten memiliki dasar religiusitas yang kuat. Di
balik popularitas pesantren itu, bangkit ratusan ulama, menghimpun semua
fungsinya bersama jaringan penganut tarekat Qadiriah dan Naqsabandiah. Secara bersama atau berkelompok, mereka telah memainkan peran antagonis, bahkan sering konfrontatif
dengan
pemerintah Belanda.
Menaiknya peran
ulama itu adalah manifestasi people power
ketika modernisasi mulai merusak nilai warisan dan tatanan masyarakat.
Substansinya bisa diangkat dari kontradiksi kepentingan, antara tradisionalitas
yang sarat muatan agama dengan pembaruan yang menginternalisasikan
universalisme dalam seluruh aspek kehidupan: politik, ekonomi dan sosial
budaya. Konsekuensinya, konflik sosial tak dapat dihindari. Dua kekuatan besarpun
harus saling berhadapan, antara elite agama sebagai “pemelihara”
institusi tradisional dengan elite birokrasi bentukan pemerintah kolonial.
Pertentangan itu kemudian semakin
tajam ketika ideologi “jihad” dikampanyekan terhadap agen-agen kolonial yang dipandang
sebagai penguasa “kafir”.
Tentu saja tak
cukup bagi kita untuk mengatakan Banten sebagai the theatre of conflict. Jika kita ingin mengerti betapa konflik
itu masih potensial terjadi di Banten sampai detik ini, mengetahui
kondisi Banten di masa itu dapat memberi semacam referensi dalam membentuk ideologi pembangunan,
terutama dalam menghadapi globalisme di awal millennium ketiga ini.
Selain pentingnya
ideologi,
setiap aksi perubahan membutuhkan kepemimpinan. Dalam sejarah kolonialisme,
kita diperkenalkan pada aksi kolektif kaum ulama yang mendapat solidaritas dari
komunitas ideologis. Perjuangan menuju perubahan itu mutlak dilakukan oleh
pemimpin yang memiliki kapasitas mobilisator dan dinamisitor. Namun
kepemimpinan itu hanya akan berhasil memainkan peran jika dapat memenuhi unsur-unsur:
otoritas, sadar masalah, kapasitas
intelektual, pandangan luas, kehendak dan juga “nyali”. Dulu yang memiliki kualitas itu adalah ulama.
Otoritas seorang ulama
diperoleh karena kedudukannya sebagai guru “ngaji”, pemimpin pesantren
sekaligus guru tarekat. Dengan posisi itu, seorang kiai jauh lebih
dekat dengan masyarakat ketimbang dengan golongan birokrat. Itu sebabnya,
seorang kiai
menempati posisi paling terhormat dan memiliki prestise alamiah di tengah
masyarakat. Bahkan banyak di antara mereka di pandang “kramat”, lebih-lebih
jika telah melakukan ziarah ke tanah suci, gelar “haji” akan memberinya
reputasi tersendiri. Namun di luar semua kualitas itu, yang terpenting,
otoritas kiai
ditentukan oleh kesalehan dan kesuciannya, sehingga menjadikan ulama sebagai
tokoh kharismatik.
Ulama atau lazim disebut kiai juga
mampu memfasilitasi mobilitas pengikut dan mendinamisasikan masyarakat yang
berada di bawah tekanan, untuk melakukan gerakan protes terhadap kekuasaan politik. Ulama juga
pantas digolongkan sebagai intelektual. Pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya memungkinkan
fungsinya sebagai penerjamah dan pengidentifikasi situasi yang sedang
bergejolak. Pantaslah jika mereka memiliki kesadaran penuh atas berbagai
persoalan sekitar. Dengan aura intelektualnya yang didasarkan pada perjalanan
keluar negeri jauh dan perbandingannya dengan negara muslim lain, mereka mampu membangun
opini publik
atas situasi dalam negeri dan berbagai dampak kebijakan pemerintah kolonial.
Karena kualitas
itulah ulama memiliki kapabilitas menilai segala kebijakan politik kolonial dan memformulasikan
program perlawanan yang didasarkan pada ideology “perang suci” melawan
kebathilan. Sebagai pemimpin umat dengan otoritas dan loyalitas pengikut, para
ulama Banten dapat mengerahkan energi besar untuk mengeluarkan rakyatnya dari
penindasan. Akhirnya, dengan kehendak kuat serta d dorong oleh
“nyali” luar biasa, seorang ulama mampu memimpin dan mengorganisasikan semua
sumber daya untuk melakukan perubahan, justru ketika kolonialisme masih menapak kuat di bumi
Banten.
Epilog
Seabad yang lalu
para ulama hanya mengenal dua institusi: pesantren dan tarekat. Demikian
kuatnya lembaga itu sampai-sampai jaringan komunikasi sosial pun dapat diikat
secara mapan dalam mengatasi berbagai tekanan sosial di seluruh Banten. Namun
tendensi struktural itu kini berubah total. Jaringan keagamaan itu sekarang
mengalami fragmentasi. Faktor ideology dan leadership telah tersegmentasi menjadi kepingan yang terlalu rumit untuk ditemukan simpulnya.
Ironisnya, keberpihakan kepada berbagai kepentingan instan itu diorganisasikan
oleh institusi-institusi politik praktis yang lebih
mementingkan pragmatisme.
Padahal, akibat
resesi ekonomi berkepanjangan, struktur mental masyarakat pada hakeketnya tak
beda dengan kondisi satu abad lampau. Kecenderungan struktural itu terutama ditunjukan
oleh kesenjangan pemimpin di semua level sosial, yang berdampak trouble dan disoriented pada
masyarakat. Pada gilirannya, berbagai penyakit sosial berjangkit dimana-mana, secara individual ataupun institusional.
Anarkisme dan radikalisme yang mengarah pada dehumanisasi, kini semakin sulit
dihentikan. Pesimisme umum atas kondisi resen adalah signal merah yang harus kita
hadapi bersama. Maka ketika elite politik dan ekonomi mulai tersudutkan pada
materialisme
dan utilitarianisme, kini saatnya kaum ulama bangun dari mimpi indah.
Sejatinya, kita memerlukan “ulama
pemimpin”, bukan pemimpin ulama yang bisa dipimpin siapa saja. Sesungguhnya
kita membutuhkan kiai yang menjadi guru semua orang, bukan kiai yang digurui sekelompok orang, bukan pula kiai “legitimator” kekuasaan pada setiap spiritual
ceremony atau pun political celebration. Tetapi ulama yang memiliki semua kualitas yang diperlukan untuk
menjadi combatant à la frontière, yang “berjuang di garis depan” bagi kepentingan semua umat, seperti Syekh
Nawawi al-Bantani, Syekh Abdul Karim Tanara, Ki Wasid Cilegon, Syekh Asnawi Caringin dan
ulama-ulama hebat lainnya yang pernah dimiliki Banten satu atau dua abad lampau.
Kesadaran kita
adalah bagaimana menyikapi berbagai
persoalan lebih dari satu dasawarsa usia
Provinsi Banten, yang secara imperatif sudah mampu meletakkan dasar-dasar
pembangunan untuk future generation. Maka
sekaranglah saatnya kita bergegas dengan semangat baru, untuk melakukan perubahan dalam rangka meraih cita-cita
bersama ke arah terwujudnya masyarakat Banten yang sejahtera dalam berbagai dimensinya (Moh. Ali Fadillah).
Note: Referensi menyusul
Aucun commentaire:
Enregistrer un commentaire