Dalam dunia
pariwisata, perkampungan Baduy telah lama dikenal sebagai salah satu destinasi
penting di pegunungan selatan Banten. Dalam kerangka promosi wisata,
komunitas Baduy kerap diperkenalkan sebagai potret eksotisme Banten,
lantaran suku asli di pegunungan Kendeng itu, selain masih mempraktekan
kepercayaan purba (Sunda wiwitan) juga mempertahankan tradisi self-sufficience.
Daya tarik lain dipancarkan pula oleh sistem dan struktur sosial dalam berbagai
institusi adat. Potensi budaya itu sesungguhnya merupakan ‘museum hidup’ yang
penting untuk memahami Baduy yang begitu kuat memegang komitmen:
mengeksploitasi sumberdaya alam dalam semangat pelestarian.
Semua
kualitas itu memang mampu membangkitkan kekaguman orang, karena justeru
diwujudkan oleh golongan masyarakat yang masih illiterate (non
baca-tulis) sampai sekarang. Filosofi hidup Baduy itu kini menjadi signifikan
ketika kondisi sosio-ekonomi masyarakat modern sedang diguncang kelangkaan
sumberdaya alam. Tetapi bagaimana gambaran sesungguhnya kehidupan petani
Kanekes menghadapi segala tantangan zaman? Mari kita coba menelusuri social
attitude Baduy sebagai sosok petani Banten yang tetap berbasis agrikultur huma.
Sosok petani
huma
Desa Kanekes, begitulah nomenklatur kampung Baduy, yang juga disebut ‘tanah titipan’. Sebenarnya merupakan bentang alam dataran tinggi dan lembah-lembah yang dialiri anak-anak sungai Ciujung. Di antara lahan perbukitan landai dan terjal itu terdapat areal pertanian (huma) berkoeksistensi dengan hutan primer dan sekunder. Terkait atau tidak dengan pola adaptasi alam, nyatanya mata pencaharian utama orang Baduy adalah berladang di perbukitan yang secara periodik berpindah-pindah dari satu lokasi ke lokasi lain. Keunikan teknologi subsistensi itu tampak pula dalam tradisi tanam, yang menolak segala alat kerja yang dapat merusak tanah seperti cangkul atau bajak. Sebaliknya mereka lebih respek menggunakan perkakas sederhana seperti parang, kujang, kored dan aseuk (tugal). Semua alat kerja itu menjelaskan tipe teknologi huma sebagai warisan nenek moyang.
Pemilihan
lahan juga ditentukan oleh adat, termasuk periode kerja serta cara pewarisan
antar-generasi. Oleh karena itu lahan di sekitar Desa Kanekes baik bakal huma
maupun bekas huma, hampir seluruhnya sudah dikerjakan dan menjadi garapan orang
Baduy. Khusus untuk tanah yang berada di kampung tangtu hanya
diperuntukkan bagi orang Baduy Dalam, yang secara adat tidak diperkenankan
bekerja di luar zona itu. Sedangkan orang Baduy Luar dapat mengerjakan tanah di
dalam dan di luar desa Kanekes.
Pekerjaan huma
sendiri hanya berlangsung selama empat tahun yang setiap tahunnya menghasilkan
empat jenis padi: beras putih, merah dan hitam. Setelah padi tumbuh beberapa
bulan, ditanam pula berbagai jenis sayuran seperti ketimun, kacang panjang,
katuk, kelor, labuh, terong dan lainnya. Tanah huma yang telah selesai
dikerjakan dan menghasilkan bahan pangan kemudian ditinggalkan untuk selama
empat hingga tujuh tahun agar menjadi hutan kembali. Bekas-bekas huma itu akan
berubah menjadi kebon yang ditumbuhi berbagai tanaman obat atau untuk
keperluan upacara seperti: kunyit, honje, sirih, panglay dan tumbuhan lain.
Tanda-tanda kemakmuran pun tampak pada deretan lumbung (leuit) di
pinggiran kampung, yang dapat memberikan bahan pangan untuk jangka waktu lama.
Tentu saja,
potensi hutan hujan tropik itu sebuah anugerah yang besar manfaatnya bagi
penduduk. Namun tak jarang pula menarik minat penduduk luar untuk menebang
kayu-kayu besar. Penebangan ilegal itu sekarang tetap menjadi masalah bagi
keseimbangan ekosistem sekitar. Kondisi itulah yang mengharuskan orang Baduy
begitu gigih mengupayakan kelestarian hutan mereka (Moh. Ali Fadillah).
Aucun commentaire:
Enregistrer un commentaire