Sampai saat ini, masyarakat awam masih memandang
debus sebagai pengetahuan “rahasia”. Kebanyakan orang menerima begitu saja
kalau debus dikategorikan sejenis seni pertunjukan tradisional. Perspektif ini
tentu saja hanya semacam penyederhanaan konsep dari sesuatu yang tidak pernah
dipahami secara keseluruhan. Benar bahwa sebagai karya seni, debus telah
memiliki baku mutu, tetapi bukankah debus juga memerlukan banyak improvisasi?
Dan bahkan akan terus mengalami transformasi sesuai tuntutan kreativitas dalam
berkesenian.
Namun, ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa permainan debus
mengimpresikan kekuatan magis, sejak itu pula diragukan sebagai kesenian an
sich. Maka dari sinilah pertanyaan demi pertanyaan muncul dalam pikiran
setiap orang yang menyaksikan. Dan ketika jawaban tak pernah memuaskan, dengan
segala apriori, orang lantas tidak lagi memiliki kepedulian kognitif untuk
mengkaji debus lebih jauh. Maka cukuplah tahu, debus adalah sebuah “permainan”
yang tak pernah berhenti mencari dan dicari “penonton”.
Visi Kultural vs Islamic Purification
Namun persoalannya tak sesederhana itu.
Sejumlah elit agama, secara diam-diam atau terbuka, mulai (sesungguhnya sejak
lama) mengusik debus dari perspektif metafisik. Inti masalahnya bukan pada
debus sebagai atraksi kesenian tetapi karena adanya proses pencarian kekuatan
spiritual untuk mendukung kekebalan tubuh (invulnerability). Dari sudut
pandang itulah kemudian timbul anggapan bahwa debus mengandung “pemujaan roh”.
Anggapan itu kerap membuat orang memposisikan debus di luar dogma Islam.
Mengulas debus dari sudut pandang agama,
tentu akan menambah persoalan menjadi sensitif, karena bukan cuma berhadapan
dengan wacana metafisik tetapi juga sudah memasuki wilayah aqidah. Kegelisahan
kita selalu ingin mengetahui: apakah kekuatan spiritual dalam debus berasal
dari energi ilahiah atau energi lain berkategori makhluk? Dalam kasus ini,
mentransfer kekuatan dari makhluk tertentu bisa ditafsirkan menyekutukan Tuhan.
Tetapi inti pertanyaan bukan pada soal syirik atau bukan syirik, melainkan pada
segi metodologis, apakah ada pendekatan logis untuk menguji tingkat aqidah
seseorang sementara substansi keimanan berada pada wilayah emosi keagamaan yang
sangat individual. Maka menjadi sebuah keharusan melihat debus tidak
semata-mata secara fungsional tetapi juga dalam konteks struktural.
Jika kembali pada ambiguitas itu,
sesungguhnya debus memiliki dua kepentingan. Dari sudut pandang estetika, ia
tak lebih daripada produk kesenian. Namun dengan kategori itupun debus masih
dipertanyakan sebagai an art is the art. Dari sudut pandang agama, debus
tidak semata-mata merupakan inisiasi religius, tetapi juga mengandung
unsur-unsur mistik. Lantas bagaimana kita sekarang memahami debus dari kedua
sudut pandang itu? Agaknya bukan soal mudah, karena aspek pertama didasari oleh
visi kultural yang menghendaki seni sebagai identitas budaya, sedangkan yang
kedua lebih didasarkan pada ortodoksi Islam yang diorientasikan pada Islamic
purification.
Memilih kedua pendekatan itu untuk
mengungkapkan “rahasia” debus membawa konsekuensi teoretis-metodologis. Tetapi
sebelum semua menjadi jelas, bukankah penting melakukan serangkaian kajian awal
atas fenomena budaya Banten itu. Maka, mencoba memahami permainan debus dari perspektif
hagiologi, barangkali akan memungkinkan kita melihat tabir rahasia elmu
debus itu secara arif. Dalam hal ini, membicarakan debus tidak bisa dilepaskan
kaitannya dengan proses internalisasi Islam dan adaptasinya dalam berbagai
dimensi sosial dan budaya (Moh. Ali Fadillah).
Aucun commentaire:
Enregistrer un commentaire