jeudi 26 septembre 2013

L'espace urbain de Kotawaringin (1)



Sumber Informasi Kotawaringin

Kotawaringin adalah nama sebuah kerajaan kecil yang didirikan pada awal abad XVII dengan daerah kekuasaan mencakup Kabupaten Kotawaringin Barat dalam wilayah Propinsi Kalimantan Tengah. Dengan luas 21.000 km2, Kotawaringin sejak masa awal sejarah telah memiliki sumber-sumber alam yang melimpah terutama hasil hutan dan bahan tambang. Dari angka-angka statistik mulai awal abad XIX sampai pertengahan abad XX, diketahui penduduknya mengalami pertumbuhan relatif lambat, yang hanya didiami oleh 5 sampai 10 jiwa per Km2 (Fadillah, 1996). Menurut Sensus Penduduk Indonesia Tahun 2010, penduduk Kabupaten Kotawaringin Barat bersama daerah otonom pemekarannya: Sukamara dan Lamandau berjumlah 343.002 jiwa dengan tingkat kepadatan mencapai 17,60.

Sebuah laporan detil yang disusun oleh Von Gaffron pada tahun 1853 menunjukkan bahwa penduduk Kotawaringin terdiri dari beberapa kelompok etnik dan ras. Dari 7.643 jiwa penduduk, populasi Dayak menempati urutan terbanyak, diikuti oleh orang Melayu di posisi kedua, sedangkan orang Bugis, Jawa, Arab dan China berjumlah tidak lebih dari 100 orang (Pijnappel Gzn., 1860). 
               
Dalam historiografi Indonesia, nama Kotawaringin sangat kurang dikenal. Sejarahnya sendiri tidak pernah diungkapkan secara persis baik untuk mewakili sebuah periode maupun sebuah wilayah. Tidaklah mengherankan apabila orang menganggap Kotawaringin kurang memainkan peran penting dalam sejarah nasional, padahal kisah the open settlement Kotawaringin telah dibukukan dalam Carita Lambung Mangkurat dan Turunan Raja-raja Banjar dan Kotawaringin; sebuah kronik dinasti raja-raja Banjar.

Penemuan manuskrip itu telah lama menarik perhatian para filolog Belanda, misalnya J. Hageman (1857). Peneliti lain dapat disebut Van der Ven (1860) yang telah menerbitkan sebuah artikel  tentang silsilah raja-raja Banjarmasin. Penelitian lebih seksama telah dilakukan oleh A.A. Cense (1928) untuk penyusunan disertasi dan dilanjutkan oleh J.J. Ras pada tahun 1952, juga untuk disertasinya (1990). Tetapi meskipun manuskrip yang sekarang lebih populer disebut Hikayat Banjar itu dalam beberapa bagiannya masih bersifat legenda, ia dapat digunakan sebagai salah satu sumber sejarah Kesultanan Banjarmasin dan juga Kotawaringin. Berdasarkan pada manuskrip itu diketahui  bahwa kesultanan Banjarmasin pada abad XVII telah memainkan peran penting di pesisir selatan Kalimantan (Cense, 1928: 109; Ras, 1990: 440).

Mengingat peran historik Banjarmasin cukup penting di Nusantara, banyak sejarawan Eropa menaruh minat untuk mengkajinya lebih dalam. Sebagai contoh L.C.D. van Dijk, yang  bersumber pada arsip-arsip VOC, telah mengungkapkan pentingnya kerajaan itu dalam hubungan perniagaan dan sekaligus politik dengan maskapai dagang Belanda pada abad XVII dan XVIII (Dijk, 1962: 56-60). Demikian pula sejarawan Inggris, Willi O. Gais (1922: 21-24), juga telah memusatkan kajiannya pada hubungan perdagangan Banjarmasin dengan maskapai dagang Inggris, East India Company.  Sebuah kajian menarik juga dilakukan oleh Rees (1865-7), yang telah mengungkapkan secara rinci krisis politik yang terjadi di Banjarmasin pada abad XIX setelah mana Kesultanan Banjar harus mengakui kedaulatan Belanda di daerah kekuasaannya.

Sayangnya, meskipun kepangeranan Kotawaringin disebut sebagai penerus dinasti Banjar, perhatian peneliti lebih banyak dicurahkan pada kesultanan Banjar daripada Kotawaringin. Kecenderungan pada subjek terpilih itu tidaklah sukar untuk dimengerti, karena orang mengetahui bahwa Banjarmasin sejak abad XVI telah memainkan peran penting dalam bidang politik dan ekonomi perdagangan di mana para pedagang mancanegara seperti Belanda, Inggris dan Cina selain pedagang dari daerah lain di Nusantara, datang dan berniaga di Banjarmasin. Sebaliknya Kotawaringin tetap saja dikenal sebagai sebuah kerajaan minor yang wacana historisnya masih tetap diselimuti legenda. Sebabnya, karena sampai tahun 1990-an belum ada penelitian seksama dari disiplin sejarah, arkeologi, antropologi dan ilmu-ilmu sosial lain di daerah itu.

Diawali dengan keinginan mengungkapkan “the silent history” Kotawaringin melalui sumber-sumber informasi yang serba sedikit itu, dengan sponsor Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Jakarta) dan Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (Paris), kami telah melakukan penelitian arkeologi di Kotawaringin Lama antara tahun 1991 dan 1994, dan diketahui bahwa Kotawaringin Lama adalah bekas ibukota pertama Kerajaan Kotawaringin. Penelitian telah menemukan bukti-bukti arkeologis yang menunjukkan kekunaan dan sekaligus kompleksitas ibukota, yang antara lain diindikasikan oleh konsentrasi sisa bangunan kuna seperti keratin, masjid typique, makam-makam raja, serta struktur lainnya. Sementara ragam aktivitas pemukiman telah ditandai oleh deposit pecahan keramik impor terutama berasal dari Cina, Thailand dan Vietnam yang menunjukkan kurun waktu tertua dari abad XIV sampai abad XVII, serta ratusan fragmen wadah tembikar dari berbagai bentuk.

Dengan demikian, baik peninggalan yang bersifat monumental maupun artefaktual, keseluruhannya telah menjadi bukti bahwa sejak abad XVII di Kotawaringin pernah berkembang sebuah masyarakat yang telah teroganisir baik dalam domain sosial politik, ekonomi maupun budaya. Dengan mengacu pada data arkeologis, beberapa manuskrip dan sumber-sumber yang lebih kontemporer, deskripsi lebih jelas tentang tipe kota yang tumbuh dan berkembang di tepi-tepi sungai Kotawaringin (Lamandau dan Arut) diharapkan dapat berkontribusi bagi pengayaan pengetahuan kita tentang awal mula dan perkembangan kota di Kalimantan (by Moh. Ali Fadillah)***
  


Bibliography


Behrend, Timothy. 1985. "Kraton and Cosmos in Traditional Java", Archipel, 37: 173-185; Cense,  A.A. 1928. De Kroniek van Bandjarmasin, Leiden:  Santpoort (NH); Chijs, Van der. 1891. Dagh-Register Anno 1640-41, Batavia; Dijk, L.C.D. van. 1862. Nederlandsch vroegste betrekkingen met Borneo, den Solo-Archipel, Cambodja, Siam- en Cochin-Chine, Amsterdam; Ditlinbinjarah, 1980a. "Laporan Studi Kelayakan dan Pemugaran Bangunan Astana Alnursari, Kotawaringin Lama", Jakarta: Depdikbud; Ditlinbinjarah, 1980b. "Laporan studi kelayakan dan pemugaran Kraton Kuning Pangkalan Bun", Jakarta: Depdikbud; Fadillah, Moh. Ali. 1996. "Kotawaringin (Bornéo) au XIXe Siècle, Etude Archéo-historique sur l’Etat, les Cités et le Commerce", Thèse de Doctorat, Paris: EHESS; Gais, Willi O. 1922. The Early relation of England with Borneo to 1805, Bern; Guillot, Claude. Lukman Nurhakim, Sonny Wibisono. 1994. Banten avant l’Islam,  Etude archéologique de Banten Girang  (Java - Indonésie) 932? -1526, Paris: EFEO; Hageman,  J. 1857. "Bijdrage tot de Geschiedenis van Borneo", TBG, 6, hal. 220-246; Halewijn, M. 1838. "Eenige Reizen in de binnenlanden van dit Eiland, door eenen Ambtenar van het gouvernement, in het jaar 1824", TNI, Ie jaarg., vol. 2,  hal. 183-200; Heine-Geldern, Von. 1956. "Conceptions of  State and Kingship in Southeast Asia", paper on Southeast Asia Program Department of Asian Studies, n° 18, Cornell University, hal.  20-35; Kielstra, E. B. 1891. "De Ondergang van het Bandjermasinsche Rijk", De Indische Gids, vol. II, pp. 1360-1386; Lombard, Denys. 1979. "Regard nouveau sur les ‘pirates malais’ (Ière moitié de XIXe siècle)", Archipel, 18, hal. 231-249; Lombard, Denys. 1984. "Guide Archipel IV: Pontianak et son arrière-pays",  Archipel, 28, hal. 77-97; Mallinckrodt, J. 1923. "De Dorpsofferplaats bij de Dajaks van Kota Waringin", Kolonial Tijdschrift, 23e jaargang, hal. 533-547; Mallinckrodt, J. 1925. "Een en Ander over de Gebruiken aan het Kotawaringinsche Hof", Kolonial Tijdschrift, 14e jaargang, hal. 263-301; Meyer, J. J. 1899. "Bijdragen tot de Kennis der Geschiedenis van het Voormalig Bandjermasinsche Rijk,  thans  Residentie  Zuid-en   Ooster-afdeeling van Borneo", De Indische Gids, 21e jaargang, I, hal. 257-280; Mills, J.V. 1979. "Chinese Navigations in Insulinde about A.D. 1500", Archipel, 18, hal. 69-93; Nasir, Abdul Halim. 1985. Pengenalan Rumah Tradisional Melayu Semenanjung Malaysia, Kuala Lumpur: Darul Fikir; Noorlander, J. C. 1935. Bandjarmasin en de Compagnie in de tweede halft der 18de eeuw, Leiden; Paulus, J.(ed.). 1917-1940. Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië, ‘s-Gravenhage: MN; Pijnappel Gzn.,  J. 1860.  "Beschrijving van het westelijke gedeelte van de Zuid-en Ooster- afdeeling van Borneo", BKI, 7, hal.. 243-346; Ras,  J. J. 1990 .   Hikayat Banjar, Ed. II, Kuala Lumpur:  Dewan Bahasa dan Pustaka; Rees,  W.A. van. 1865-7. De Bandjermainsche Krijg van 1859-1863, Arnhem; Riemsdijk, 1896. Dagh Register, Anno 1624-1629, Batavia; Riwut, Tjilik. 1993. Kalimantan Membangun, Yogyakarta: Tiara Wacana; Saleh,  Idwar. 1981/2. Banjarmasih, Banjarmasin: Museum Negeri Lambung Mangkurat Propinsi  Kalimantan Selatan; Saleh,  Idwar. 1975. "Agrarian radicalism and movement of native insurrection in South Kalimantan (1858-1865)", Archipel, 9, hal. 135-144; Sudibyo, Yuwono. 1984. "Mesjid Kiai Gede Kotawaringin", Kamandalu, n° 3, Jakarta: Ditlinbinjarah, hal. 23-24, 27; Ven,  A. Van der. 1860. "Aanteekeningen omtrent het Rijk Bandjermasin", TBG, 9, hal. 93-133.
 

Aucun commentaire:

Enregistrer un commentaire