mardi 20 août 2013

Banten dalam Perspektif Arkeologi



Secara geografis daerah Banten mempunyai posisi penting dalam peta wilayah Indonesia. Pada masa modern tampak, karena letaknya itu, daratan Banten yang dalam peta-peta awal Portugis (awal abad XVI) diperkenalkan sebagai salah satu  spice island, merupakan tempat transit utama yang menghubungkan wilayah barat dan timur Indonesia. Dalam pandangan ahli prasejarah, Pulau Jawa dan Sumatra ini juga dikenal sebagai salah satu  ˝jembatan darat˝  bagi migrasi manusia purba dari barat ke timur. Daerah Banten khususnya, pada beberapa dekade terakhir telah menjadi kawasan industri, perdagangan serta agribisnis sehingga memungkinkan Banten menjadi interaction sphere cukup pesat dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya di Jawa Barat; dengan pertumbuhan ekonomi cukup tinggi. 


Potensi arkeologi Banten 

Di sini pula kekayaan budaya Banten terkonservasi. Serangkaian penelitian arkeologi sejak paruh kedua abad XX, telah dapat mengidentifikasi jejaknya, bahwa daerah ini telah mengalami eksploitasi sejak masa-masa yang sangat tua hingga sekarang. Dilihat dari kandungan budaya yang dimilikinya, daerah ini menunjukkan corak budaya yang lengkap, dari yang tertua pada masa neolitik hingga periode Islam dan Kolonial.

Koeksistensi tipe-tipe budaya itu bukan tidak mungkin dapat terbentuk berkat kekuatan adaptatif dan inovatif dalam mengeksploitasi lingkungan geografis sebagai titik-titik kontak berbagai tradisi besar: India, Cina, Islam dan Eropa, yang telah berlangsung secara berturut-turut atau bersamaan. Dengan demikian, dalam kajian arkeologi sejarah melalui subyek hunian manusia dan perkembangan budaya, Banten memiliki potensi budaya yang signifikan dengan segala keunikan dan keragaman.

Dari tipe artefak dan tinggalan bangunan hasil penelitian arkeologi selama tiga dasawarsa, para arkeolog pada umumnya membagi Banten ke dalam empat babakan waktu: prasejarah, klasik (Hindu-Budha), Islam dan kolonial. Pembabakan waktu seperti itu agaknya diilhami oleh model penelitian masa kolonial; mulanya diprakarsai oleh para ahli Belanda, karena terpengaruh oleh semangat renaissance. Pembabakan waktu seperti itu ternyata masih tetap menjadi model penelitian arkeologi masa kini.



Kasus Banten masih berada dalam kesangsian. Memang beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya jejak-jejak budaya Hindu-Budha, seperti penemuan arca Hindu dan reliek Budhis di pedalaman Banten, tetapi masih terlalu sulit untuk dimasukkan sebagai sebuah ˝periode˝ khusus di Banten.  Fenomena sejarah yang menarik adalah bahwa daerah Banten menunjukkan kesinambungan budaya prasejarah hingga masa kedatangan Islam bahkan sampai awal Milenium III sekarang. Dengan demikian dari perspektif arkeologi, daerah Banten dapat dipandang dari subyek tradisi, akulturasi, dan inovasi sehingga substansi budaya kawasan tersebut menunjukkan corak tersendiri di Nusantara.

Sejak tahun 1970-an Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala (sekarang : Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala) penelitian Arkeologi Islam yang awalnya dipusatkan di situs Banten Lama, kini telah dilakukan pada beberapa daerah kabupaten di Provinsi Banten. Dengan memfokuskan perhatian pada tinggalan-tinggalan budaya masa prasejarah, klasik dan masa Islam, penelitian telah mengarah pada rekonstruksi sejarah kebudayaan yang mencakup semua aspek budaya dari awal abad Masehi sampai periode kolonial di Banten. Gejala-gejala arkeologis yang ditemukan telah membawa penelitian pada masalah-masalah yang berkenaan dengan pemukiman rural dan urban dengan berbagai karakteristik budaya khas untuk memenuhi kebutuhan hidup seperti terefleksi dari tinggalan bangunan megalitik, arca, relik-relik kubur, wadah tanah liat bakar, pecahan keramik, serta sistem tulisan dan bahasa.
 

Pemukiman rural dan urban
Kajian pemukiman pada umumnya dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu pemukiman rural dan pemukiman urban. Studi pemukiman rural merupakan salah satu spesialisasi dalam arkeologi yang menitikberatkan perhatian pada strategi manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup pada suatu lokus berkategori rural. Dalam studi pemukiman ini, penelitian arkeologi mencakup aspek-aspek adaptasi lingkungan, pemilihan lokasi mukim, pengolahan sumber daya dan organisasi sosial-ekonomi. Melalui hasil-hasil kebudayaan materi yang masih resistan dari gigitan waktu dan vandalisme, penelitian mencoba merekonstruksi peri kehidupan pemukiman, perkembangan budaya, serta menjelaskan hubungan kausalitas dalam proses budaya sebagai akibat dari proses dinamis dalam pergeseran ruang atau perpindahan pusat-pusat pemukiman pada beberapa periode sejarah.
Situs-situs pemukiman yang telah dikenali kembali diantaranya situs pemukiman Sajira, Lebak Cibedug, Kosala (Lebak), Cibaliung, Mandalawangi, Batu Ranjang, Sahyangdengdek, Pahoman, dan Batu Gong di Kabupaten Pandeglang. Dari seluruh situs tersebut sebagian telah dapat dikenali kembali kronologi, watak dan sifat pemukiman: pusat kerajaan, sentra tekno-ekonomi, kompleks makam, dan pemukiman yang berbasis pertanian.

Studi arkeologi juga telah menemukan kembali situs perkotaan dari masa Islam yang tumbuh dan berkembang hampir serentak di kepulauan Nusantara, terutama di daerah pesisir utara dengan dasar ekonomi pada perdagangan di muara-muara sungai yang bisa dilayari. Situs-situs yang telah diteliti di Banten adalah  pusat kerajaan di Banten Girang dan Banten Lama. Kedua situs itu dicirikan oleh beberapa aspek kehidupan kota: struktur ruang kota ‘dalam’ benteng dan ‘luar’ benteng (tembok kota), pembagian ruang hierarkis, pusat-pusat industri, dan ruang-ruang politik-administratif.


Kajian budaya spesifik

Kajian arkeologi di samping bersifat generalitas, juga berkembang studi arkeologi yang menuntut pendekatan spesifik. Salah satunya adalah kajian arsitektur yang kerap dilakukan pada sejumlah bangunan baik yang terdapat di situs pemukiman rural maupun urban. Spesifitas kajian difokuskan pada bangunan sakral dan profan dari periode prasejarah, Islam sampai masuknya pengaruh kolonial. Pendekatan tersebut diimplementasikan dengan mengidentifikasi struktur, konstruksi serta seni dan langgam bangunan dalam konteks pemanfaatan ruang untuk memenuhi fungsi baik praktis maupun simbolik. Beberapa situs yang telah diteliti dengan model studi ini antara lain Banten Lama, Banten Girang, Lebak Cibedug, Kosala, dan situs-situs dari masa kolonial seperti Serang, Pandeglang dan Rangkasbitung sebagai jaringan administratif dari Keresidenan Banten.
 
Dengan pendekatan arsitektur, sejumlah bangunan keraton, gedung pemerintahan, rumah pejabat pemerintah dan rumah penduduk biasa yang masih terpelihara sampai sekarang menunjukkan dua tipe seni bangunan yang dikarakterisasikan oleh konstruksi panggung dengan berbagai simbol kekuasaan politik seperti ditunjukkan oleh tampilan denah, atap, teras, tangga dan oleh konstruksi batu bata yang memberikan nuansa Cina dan Eropa. Demikian pula dengan bangunan masjid di Banten, sebagian besar masjid kuna menunjukkan kesamaan konsep dengan struktur masjid di daerah Jawa lainnya, yang pada umumnya berdenah persegi empat dengan atap tumpan.  Perbedaannya lebih ditekankan pada penggunaan bahan dan detil-detil dekoratif yang lebih memberi nuansa seni lokal.

Masuk dalam kategori arsitektur adalah bangunan keagamaan baik dari masa prasejarah maupun Islam. Bangunan makam memberi ciri khusus pada model budaya Islam. Baik jirat maupun nisan kubur di hampir seluruh situs Banten Lama menunjukkan dua unsur budaya berbeda, nisan kuburnya bertipe Aceh sedangkan jiratnya menyerupai bangunan makam di kompleks masjid Sendang Duwur dan Cirebon. Di luar Banten Lama kebanyakan makam menunjukkan ciri lokal yang dikarakterisasikan oleh bentuk-bentuk menhir. Sedangkan dari periode prasejarah, pada umumnya berupa punden berundak dan alter batu yang dari segi arsitektur menunjukkan pola yang sama dengan daerah lain.

Berdasarkan data arkeologi itu, dapat dikatakan bahwa sejak abad XVI sampai akhir abad XVII, Banten mengalami apa yang disebut dengan kemajuan cukup signifikan di bidang arsitektur, baik pada struktur bangunan maupun artefak sakral dan profan. Hal itu menunjukkan betapa kemajuan di bidang politik dan ekonomi perdagangan membawa pengaruh besar pada pertumbuhan peradaban terutama setelah Islam menjadi anutan massal pada masyarakat kota maupun rural.

Kecuali memberi nuansa pada arsitektur lokal dan perpaduannya dengan seni dan arsitektur eksternal, periode Islam juga telah menghasilkan karya-karya tekstual yang kaya dengan gagasan, pemikiran religius dan seni khat baik yang dituangkan di atas kertas, kayu, batu, interior masjid maupun pada panil-panil makam kuna, mulai dari bentuk yang sederhana sampai yang kompleks. Mengingat kepentingannya dalam kerangka sosialisasi Islam, studi epigrafi Islam dan naskah-naskah kuna kini telah menjadi bidang kajian inter-disipliner. 

Dengan pendekatan epigrafis dan filologis, sumber tekstual  itu telah dapat memberikan sumbangan bagi penelitian arkeologi, yaitu berupa pertanggalan situs atau bangunan, sejarah pemukimam serta proses masuk dan berkembangnya Islam serta difusi-difusi budaya yang menyertainya. Melalui kajian itu, beberapa ahli arkeologi, filologi, dan sejarah telah menginventarisasi berbagai sumber informasi antara lain berupa naskah Al-Quran, teks khotbah Jumat, tassawuf, do’a-do’a, serta karya-karya kesusastraan Islam lokal seperti  hikayat, kronik-kronik dinasti dan primbon (Ekadjati dan Duarsa, 1999).

Kajian spesifisitas lain terarah pada temuan sejumlah besar fragmen wadah tembikar dan  keramik.  Kedua benda itu selalu ditemukan pada hampir setiap situs pemukiman Islam baik dalam skala rural maupun urban. Karena pentingnya  artefak itu sebagai komoditas perdagangan lokal, regional atau bahkan internasional, maka penelitian arkeologi kota dan rural telah menghimpun sejumlah besar wadah tembikar dan keramik dari berbagai situs pemukiman dan kota Islam. Apabila wadah tembikar lazim dikategorikan sebagai produk lokal, maka barang porselin memberikan informasi hubungan dagang dengan dunia luar dan menjadi bukti otentik bahwa sebuah pemukiman telah masuk dalam jaringan pertukaran interregional, dalam skala nusantara, atau bahkan Asia Tenggara. Pada beberapa situs pemukiman telah ditemukan sejumlah besar fragmen keramik Cina, Thailand dan Vietnam yang pada umumnya berasal dari abad XII sampai XVII.

Pengembangan potensi arkeologi

Dengan hasil-hasil penelitian arkeologi seperti diuraikan di atas, disiplin arkeologi tidak bisa diragukan lagi perannya yang penting di Banten. Namun alangkah naifnya jika kita terus mengembangkan teori dan metode tanpa mengetahui manfaatnya bagi kehidupan nyata. Benar apa yang dikatakan Kluckohn bahwa the archaeological research provides a healty intellectual interest (Ford, 1973), tetapi itu lebih tepat untuk ilmuwan Barat yang mengagumi kebudayaan asli Indian. Arkeologi Indonesia bukan sekadar memenuhi hasrat kognitif segelintir saintist, tetapi seharusnya menimbulkan sens of belonging yang mengikat semua elemen masyarakat pada nilai-nilai kelampauan. Semangat inilah yang telah lama mendasari kebijakan pembangunan bidang kebudayaan sebagaimana tertuang dalam RPJMN 2010-2014, bahwa dari seluruh bidang pembangunan yang tertuang dalam program pembangunan itu terdapat sub-sub bidang pembangunan: lingkungan hidup, tata ruang, teknologi rekayasa, dan wawasan nusantara serta ketahanan nasional disebutkan harus mengacu pada norma-norma budaya.

Berangkat dari semangat pembangunan nasional itu, sesungguhnya pembangunan bidang kebudayaan dapat memberi dasar-dasar moral dan spiritual bagi bidang-bidang pembangunan lainnya. Jika kita sepakat bahwa arkeologi adalah salah satu ilmu budaya, maka dalam konteks pembangunan bangsa,  arkeologi Indonesia ditantang untuk ikut berperan dalam sub-sub bidang pembangunan lain. Untuk mengembangkan peran ini, diperlukan langkah-langkah taktis dan pemberdayaan dalam penguasaan teknis operasional agar mampu diperhitungkan manfaatnya. Dalam hal ini arkeologi dapat memainkan peran pada sektor jasa informasi yang menyangkut perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan di bidang pendidikan, penelitian, pelestarian kebudayaan untuk berbagai kepentingan (multi-purposes).
 
Soalnya adalah bahwa jika kita harus terlibat langsung dalam pembangunan kebudayaan daerah dalam rangka memperkaya kebudayaan nasional sebagaimana diamanatkan UUD 1945 dan RPJMN (2010-2014). Dan arkeologi sedang menghadapi tantangan berat, karena harus mampu mengendalikan arah perubahan budaya agar tidak kehilangan jatidiri dalam era globalisasi sekarang ini. Dalam hal ini arkeologi tentunya bersama bidang keilmuan lain, harus dapat menawarkan sebuah sistem nilai alternatif dari sejumlah komponen budaya untuk membangun sebuah ideal type dari budaya daerah, yang pada gilirannya mampu menunjang kebudayaan Indonesia. Budaya alternatif itulah yang akan menjadi tolok ukur keberhasilan kinerja pembinaan dan pengembangan kebudayaan nasional. Dan, juga kebudayaan daerah!  (Moh. Ali Fadillah).



Daftar Pustaka
Ambary, Hasan Muarif. 1996. ˝Kebijakan Strategis Penelitian Arkeologi˝, Lokakarya Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi, Ujung Pandang: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (tidak terbit); Baloch, N.A. 1980. The Advent of Islam in Indonesia, Islamabad:  National Institute of Historical and Cultural Research; Barker, Philip. 1977. The Techniques of Archaeological Excavation, New York: Universe Books;  Binford, Lewis R. 1965. ˝Archaeological systematic and the study of cultural process˝, American Antiquities, 31 (2), pp. 203-210; Childe, V. G. 1933. ˝Races, peoples and cultures in prehistoric Europe˝, History 18; Clark, John Graham D. 1957. Archaeology and Society, Reconstructing the Prehistoric Past, New York: Barnes and Noble; Clarke, D.L. 1978 [1968]. Analytical Archaeology, London: Methuen; Daniel, Glyn. 1967. The Origins and Growth of Archaeology, Middlesex: Penguin Books; Fadillah, Moh. Ali. 1999. ˝Etnisitas dan Nasionalisme Indonesia: Perspektif Arkeologi˝, dalam Henri Chamber-Loir dan Hasan Muarif Ambary (eds.), Panggung Sejarah, Jakarta: EFEO-Puslit Arkenas-Yayasan Obor: 117-137; Ford, Richard I. 1973. ˝Archaeology Serving Humanity˝, in Charles L. Redman (ed.), Research and Theory in current archeology, New York: John Wiley & sons:  83-111; Guillot, Claude. 1995. ˝Archéology et Indépendence˝, Perspectives Indonésiennes,  KBRI Paris: 24-29; Mundardjito, Hasan Muarif Ambary, Hasan Djafar, 1986 (2nd Ed), "Laporan Arkeologi Banten 1978", Berita Penelitian Arkeologi, No. 18, Jakarta, PusP3N; Nurhadi. 1999a. ˝Arkeologi Indonesia, GBHN 98, Tantangan dan Peluang abad 21˝, Pertemuan Ilmiah Arkeologi VIII, Yogyakarta, 15-18 Februari 1999; Nurhadi. 1999b. ˝Arkeologi dan Benda Cagar Budaya: Informasi Budaya dan Manfaatnya˝, Jakarta: Puslit Arkenas (Memeograf); Redman, Charles L. 1973. ˝Research and Theory in Current Archaeology: An Introduction˝, in Research and Theory in Current Archaeology, New York: John Wiley and Sons; Siân Jones, 1997. The Archaeology of Ethnicity, Constructing Identities in the Past and Present, London-New York: Routledge; Tjandrasasmita, Uka. 1977. ˝Riwayat Penyelidikan kepurbakalaan Islam di Indonesia˝, 50 Tahun Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional, Jakarta : Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional; Triggers, B.G. 1989. A History of Archaeological Thought, Cambridge: Cambridge University Press.

Aucun commentaire:

Enregistrer un commentaire