mercredi 21 août 2013

Debus Banten





Sampai saat ini, masyarakat awam masih memandang debus sebagai pengetahuan “rahasia”. Kebanyakan orang menerima begitu saja kalau debus dikategorikan sejenis seni pertunjukan tradisional. Perspektif ini tentu saja hanya semacam penyederhanaan konsep dari sesuatu yang tidak pernah dipahami secara keseluruhan. Benar bahwa sebagai karya seni, debus telah memiliki baku mutu, tetapi bukankah debus juga memerlukan banyak improvisasi? Dan bahkan akan terus mengalami transformasi sesuai tuntutan kreativitas dalam berkesenian. 


Namun, ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa permainan debus mengimpresikan kekuatan magis, sejak itu pula diragukan sebagai kesenian an sich. Maka dari sinilah pertanyaan demi pertanyaan muncul dalam pikiran setiap orang yang menyaksikan. Dan ketika jawaban tak pernah memuaskan, dengan segala apriori, orang lantas tidak lagi memiliki kepedulian kognitif untuk mengkaji debus lebih jauh. Maka cukuplah tahu, debus adalah sebuah “permainan” yang tak pernah berhenti mencari dan dicari “penonton”.


Visi Kultural vs Islamic Purification

Namun persoalannya tak sesederhana itu. Sejumlah elit agama, secara diam-diam atau terbuka, mulai (sesungguhnya sejak lama) mengusik debus dari perspektif metafisik. Inti masalahnya bukan pada debus sebagai atraksi kesenian tetapi karena adanya proses pencarian kekuatan spiritual untuk mendukung kekebalan tubuh (invulnerability). Dari sudut pandang itulah kemudian timbul anggapan bahwa debus mengandung “pemujaan roh”. Anggapan itu kerap membuat orang memposisikan debus di luar dogma Islam.

Mengulas debus dari sudut pandang agama, tentu akan menambah persoalan menjadi sensitif, karena bukan cuma berhadapan dengan wacana metafisik tetapi juga sudah memasuki wilayah aqidah. Kegelisahan kita selalu ingin mengetahui: apakah kekuatan spiritual dalam debus berasal dari energi ilahiah atau energi lain berkategori makhluk? Dalam kasus ini, mentransfer kekuatan dari makhluk tertentu bisa ditafsirkan menyekutukan Tuhan. Tetapi inti pertanyaan bukan pada soal syirik atau bukan syirik, melainkan pada segi metodologis, apakah ada pendekatan logis untuk menguji tingkat aqidah seseorang sementara substansi keimanan berada pada wilayah emosi keagamaan yang sangat individual. Maka menjadi sebuah keharusan melihat debus tidak semata-mata secara fungsional tetapi juga dalam konteks struktural.

Jika kembali pada ambiguitas itu, sesungguhnya debus memiliki dua kepentingan. Dari sudut pandang estetika, ia tak lebih daripada produk kesenian. Namun dengan kategori itupun debus masih dipertanyakan sebagai an art is the art. Dari sudut pandang agama, debus tidak semata-mata merupakan inisiasi religius, tetapi juga mengandung unsur-unsur mistik. Lantas bagaimana kita sekarang memahami debus dari kedua sudut pandang itu? Agaknya bukan soal mudah, karena aspek pertama didasari oleh visi kultural yang menghendaki seni sebagai identitas budaya, sedangkan yang kedua lebih didasarkan pada ortodoksi Islam yang diorientasikan pada Islamic purification.

Memilih kedua pendekatan itu untuk mengungkapkan “rahasia” debus membawa konsekuensi teoretis-metodologis. Tetapi sebelum semua menjadi jelas, bukankah penting melakukan serangkaian kajian awal atas fenomena budaya Banten itu. Maka, mencoba memahami permainan debus dari perspektif hagiologi, barangkali akan memungkinkan kita melihat tabir rahasia elmu debus itu secara arif. Dalam hal ini, membicarakan debus tidak bisa dilepaskan kaitannya dengan proses internalisasi Islam dan adaptasinya dalam berbagai dimensi sosial dan budaya (Moh. Ali Fadillah).

Aucun commentaire:

Enregistrer un commentaire