jeudi 22 août 2013

Public Dialogue


Kepemimpinan Tradisional Banten 
Peran Ulama dalam Membentuk Nilai Dasar Perjuangan

Materi LK2 HMI Cabang Pandeglang
Badiklat Prov. Banten |  Kamis | 29 Agustus 2013 | 20.00


Dalam sejarah politik, pergantian rejim, kendati tak harus, kerap didahului oleh konflik sosial. Terkadang juga ditandai dengan eliminasi simbol-simbol kekuasaan rejim lama dan kemuculan rejim baru. Pada kasus Banten hal itu tampak pada pergantian rejim dari kesultanan ke otoritas asing. Diawali oleh jatuhnya kota Banten ke tangan VOC pada tahun 1682, hampir seluruh pesisir utara Banten kemudian berada di bawah kendali Batavia. Kesultanan Banten kehilangan kedaulatan penuh atas teritorialnya, menyebabkan perubahan ruang kota, arsitektur, dan terjadinya kelangkaan aktivitas ekonomi dan politik-pemerintahan di ibukota Banten. Tetapi beberapa Sultan Banten masih memiliki kekuasaan intermediasi di bekas jajahan Lampung dan Bengkulu dalam perdagangan lada. Berada di bawah kontrol Belanda, Sultan-sultan Banten berikutnya sempat mengeluarkan perintah dalam bentuk piagam untuk mengatur produksi dan perdagangan lada di daerah Lampung dan Bengkulu.

Pada masa ini memang kemakmuran dan kejayaan Banten hanya menyisakan kenangan, lebih-lebih setelah dibangunnya benteng Speelwijk yang didirikan di atas puing benteng kota Banten. Disamping itu, dengan semakin menjauhnya garis pantai karena proses sedimentasi Cibanten dan Ciujung, pelabuhan Banten menjadi sulit dimasuki kapal-kapal besar di Teluk Banten. Banten akhirnya harus kehilangan fungsinya yang penting sebagai pusat politik dan perdagangan. Pada awal abad XIX, Kota Banten hanya menyisakan puing-puing Keraton Surasowan, Kaibon yang bergaya klasik di tepi Cibanten dan beberapa fasilitas perkotaan. Kecuali Masjid Agung yang masih tegak di tempatnya.

Kebudayaan Barat Bermula

Jatuhnya kesultanan Banten (1811-1832) adalah merupakan implikasi perang di Eropa Barat, di mana kaisar Perancis, Napoleon Bonaparte telah menugaskan Willem Daendels sebagai Gubernur Jenderal di Batavia untuk memastikan kuasanya di Timur Jauh. Kejatuhan Banten dimotivasi oleh politik kolonialisme bangsa-bangsa Eropa atas bangsa-bangsa di Asia Tenggara sebagai sumber perekonomian yang strategis bagi Eropa.

Pada awal abad XIX,  Banten mengalami transisi budaya antara Timur dan Barat. Episode paling penting adalah ditinggalkannya kota Banten untuk selamanya sebagai pusat pemerintahan, menyusul penghapusan sistem pemerintahan kesultanan, dan dibangunnya Karesidenan Banten yang berpusat di Serang, sebagai rejim politik pemerintahan baru di bumi Banten. Kota Serang yang dahulu sebagai areal persawahan paling subur dibuka oleh Maulana Yusuf, segera setelah didirikannya Residentie van Bantam dibangun menjadi ibukota Banten modern yang ditandai dengan berdirinya bangunan bergaya Eropa di kota Serang. Struktur pemerintahan, sosial dan gaya hidup Eropa sejak itu menapak di kota “Banten Baru” ini, menggantikan peran Surasowan yang sejak itu disebut Banten Lama.

Gambaran fisik kehidupan kota kolonial tampak disituasikan oleh pertumbuhan kota Serang, dengan berbagai aktivitas urban yang baru, lengkap dengan bangunan-bangunan pemerintahan, keagamaan dan bangunan umum seputar alun-alun kota Serang, yang hampir seluruhnya dicirikan oleh konstruksi dan arsitektur Barat.

Berada di bawah kekuasaan pemerintah Hindia Belanda, daerah Banten tidak pernah kembali pada masa kejayaannya. Sebaliknya, momentum kejatuhan Banten justeru telah menciptakan sebuah titik balik yang signifikan bagi rakyat Banten. Tekanan politik dan sosial ekonomi yang melampaui batas rupanya telah menimbulkan resistensi tinggi orang Banten. Berbagai pemberontakan mulai muncul ke permukaan meskipun dilakukan secara sporadis dan insidentil. 

Menaiknya Reputasi Keagamaan

Dalam benturan budaya itu, poros Banten – Mekah sejak awal abad XIX tidak hanya bertajuk perjalanan religius tetapi juga merupakan pencarian konsep dan moral baru untuk menghadapi kekuatan politik, ekonomi dan budaya Eropa yang diinternalisasi oleh pemerintah Belanda. Hal itu terjadi berkat dibukanya terusan Suez dan penemuan kapal uap pertama yang memungkinkan banyak orang Banten menunaikan kewajiban ibadah haji.

Perjalanan panjang ke Mekkah telah membuat orang Banten bisa belajar ilmu Islam di pusatnya. Tetapi sekembalinya ke Banten, mereka membawa gagasan dan konsep baru tentang ketuhanan, kekuasaan dan kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Maka sekembalinya para haji ke tanah kelahiran telah memberinya otorisasi sekaligus legitimasi keagamaan untuk mendirikan pusat-pusat pengajaran Islam (pesantren) di pelosok-pelosok desa; menjauhi keramaian kota kolonial yang dianggapnya asing.

Pada periode inilah Banten banyak melahirkan ulama besar. Satu diantaranya adalah Syekh Nawawi al-Bantani yang bermukim dan memperdalam Islam di kota Mekkah. Dari tangannyalah tersebar sejumlah karya besar pemikiran Islam, baik berupa fikih, tafsir maupun paham tarekat. Buah karyanya itu bukan saja dipelajari di Banten melainkan juga ke daerah lain di Nusantara dan negeri-negeri Islam lainnya di dunia.

Di sinilah kekuatan magnetis Banten bermula, dalam kondisi tertekan di bawah rejim kolonial, justeru dalam kualitas kehidupan keagamaan dapat mencapai reputasi yang tinggi. Dengan bekal konsepsi Islam yang dipelajarinya di Mekkah, Madinah dan kota-kota suci lain di Timur Tengah, rakyat Banten menemukan alasan untuk menuntut haknya sebagai bangsa yang merdeka. Oleh karena itu, untuk melawan kesewenangan pemerintah kolonial, banyak gerakan protes dan bahkan perlawanan fisik dilakukan menghadapi pemerintah Belanda. Pada masa ini tumbuh subur penganut tarekat Samaniyya dan Rifaiyya, sebagai disiplin mistik Islam yang dapat melahirkan kekuatan fisik penganutnya melalui latihan debus.

Salah satu gerakan rakyat Banten yang terkenal adalah pemberontakan petani Banten di Cilegon tahun 1888 yang kemudian dilanjutkan dengan pemerontakan-pemberontakan lain dalam skala kecil hampir di seluruh Banten. Rejim kolonial memang tidak runtuh karena pemberontakan itu, tetapi pengunduran diri beberapa Residen Belanda mengindikasikan betapa tidak mudah menghadapi resistensi orang Banten. Dan, semangat itulah yang terus bergelora di seluruh pelosok Banten untuk ikut memperjuangkan bangsa Indonesia yang merdeka, terlepas dari penjajahan bangsa lain.

Kepemimpinan Ulama
Sejak empat abad lampau tanah Banten memiliki karakter khusus dibanding daerah lain di Pulau Jawa. Dengan jejak kultural yang spesifik itu, Banten merepresentasikan sebuah zona sosio-kultural otonom. Faktor dominan yang menunjukan konfigurasi sosial tersebut bertumpu pada aspek agama yang demikian menonjol di tengah gerakan modernisasi. Ratusan pesantren dan ribuan santri di seluruh pelosok desa menjadi indikator betapa Banten memiliki dasar religiusitas yang kuat. Di balik popularitas pesantren itu, bangkit ratusan ulama, menghimpun semua fungsinya bersama jaringan penganut tarekat Qadiriah dan Naqsabandiah. Secara bersama atau berkelompok, mereka telah memainkan peran antagonis, bahkan sering konfrontatif dengan pemerintah Belanda.

Menaiknya peran ulama itu adalah manifestasi people power ketika modernisasi mulai merusak nilai warisan dan tatanan masyarakat. Substansinya bisa diangkat dari kontradiksi kepentingan, antara tradisionalitas yang sarat muatan agama dengan pembaruan yang menginternalisasikan universalisme dalam seluruh aspek kehidupan: politik, ekonomi dan sosial budaya. Konsekuensinya, konflik sosial tak dapat dihindari. Dua kekuatan besarpun harus saling berhadapan, antara elite agama sebagai “pemelihara” institusi tradisional dengan elite birokrasi bentukan pemerintah kolonial. Pertentangan itu kemudian semakin tajam ketika ideologi “jihad” dikampanyekan terhadap agen-agen kolonial yang dipandang sebagai penguasa “kafir”.

Tentu saja tak cukup bagi kita untuk mengatakan Banten sebagai the theatre of conflict. Jika kita ingin mengerti betapa konflik itu masih potensial terjadi di Banten sampai detik ini, mengetahui kondisi Banten di masa itu dapat memberi semacam referensi dalam membentuk ideologi pembangunan, terutama dalam menghadapi globalisme di awal millennium ketiga ini.

Selain pentingnya ideologi, setiap aksi perubahan membutuhkan kepemimpinan. Dalam sejarah kolonialisme, kita diperkenalkan pada aksi kolektif kaum ulama yang mendapat solidaritas dari komunitas ideologis. Perjuangan menuju perubahan itu mutlak dilakukan oleh pemimpin yang memiliki kapasitas mobilisator dan dinamisitor. Namun kepemimpinan itu hanya akan berhasil memainkan peran jika dapat memenuhi unsur-unsur: otoritas, sadar masalah, kapasitas intelektual, pandangan luas, kehendak dan juga “nyali”. Dulu yang memiliki kualitas itu adalah ulama.

Otoritas seorang ulama diperoleh karena kedudukannya sebagai guru “ngaji”, pemimpin pesantren sekaligus guru tarekat. Dengan posisi itu, seorang kiai jauh lebih dekat dengan masyarakat ketimbang dengan golongan birokrat. Itu sebabnya, seorang kiai menempati posisi paling terhormat dan memiliki prestise alamiah di tengah masyarakat. Bahkan banyak di antara mereka di pandang “kramat”, lebih-lebih jika telah melakukan ziarah ke tanah suci, gelar “haji” akan memberinya reputasi tersendiri. Namun di luar semua kualitas itu, yang terpenting, otoritas kiai ditentukan oleh kesalehan dan kesuciannya, sehingga menjadikan ulama sebagai tokoh kharismatik.

Ulama atau lazim disebut kiai juga mampu memfasilitasi mobilitas pengikut dan mendinamisasikan masyarakat yang berada di bawah tekanan, untuk melakukan gerakan protes terhadap kekuasaan politik. Ulama juga pantas digolongkan sebagai intelektual. Pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya memungkinkan fungsinya sebagai penerjamah dan pengidentifikasi situasi yang sedang bergejolak. Pantaslah jika mereka memiliki kesadaran penuh atas berbagai persoalan sekitar. Dengan aura intelektualnya yang didasarkan pada perjalanan keluar negeri jauh dan perbandingannya dengan negara muslim lain, mereka mampu membangun opini publik atas situasi dalam negeri dan berbagai dampak kebijakan pemerintah kolonial.

Karena kualitas itulah ulama memiliki kapabilitas menilai segala kebijakan politik kolonial dan memformulasikan program perlawanan yang didasarkan pada ideology “perang suci” melawan kebathilan. Sebagai pemimpin umat dengan otoritas dan loyalitas pengikut, para ulama Banten dapat mengerahkan energi besar untuk mengeluarkan rakyatnya dari penindasan. Akhirnya, dengan kehendak kuat serta d dorong oleh “nyali” luar biasa, seorang ulama mampu memimpin dan mengorganisasikan semua sumber daya untuk melakukan perubahan, justru ketika kolonialisme masih menapak kuat di bumi Banten.

Epilog

Seabad yang lalu para ulama hanya mengenal dua institusi: pesantren dan tarekat. Demikian kuatnya lembaga itu sampai-sampai jaringan komunikasi sosial pun dapat diikat secara mapan dalam mengatasi berbagai tekanan sosial di seluruh Banten. Namun tendensi struktural itu kini berubah total. Jaringan keagamaan itu sekarang mengalami fragmentasi. Faktor ideology dan leadership telah tersegmentasi menjadi kepingan yang terlalu rumit untuk ditemukan simpulnya. Ironisnya, keberpihakan kepada berbagai kepentingan instan itu diorganisasikan oleh institusi-institusi politik praktis yang lebih mementingkan pragmatisme.

Padahal, akibat resesi ekonomi berkepanjangan, struktur mental masyarakat pada hakeketnya tak beda dengan kondisi satu abad lampau. Kecenderungan struktural itu terutama ditunjukan oleh kesenjangan pemimpin di semua level sosial, yang berdampak trouble dan disoriented pada masyarakat. Pada gilirannya, berbagai penyakit sosial berjangkit dimana-mana, secara individual ataupun institusional. Anarkisme dan radikalisme yang mengarah pada dehumanisasi, kini semakin sulit dihentikan. Pesimisme umum atas kondisi resen adalah signal merah yang harus kita hadapi bersama. Maka ketika elite politik dan ekonomi mulai tersudutkan pada materialisme dan utilitarianisme, kini saatnya kaum ulama bangun dari mimpi indah.

Sejatinya, kita memerlukan “ulama pemimpin”, bukan pemimpin ulama yang bisa dipimpin siapa saja. Sesungguhnya kita membutuhkan kiai yang menjadi guru semua orang, bukan kiai yang digurui sekelompok orang, bukan pula kiai “legitimator” kekuasaan pada setiap spiritual ceremony atau pun political celebration. Tetapi ulama yang memiliki semua kualitas yang diperlukan untuk menjadi combatant à la frontière, yang berjuang di garis depan bagi kepentingan semua umat, seperti Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Abdul Karim Tanara, Ki Wasid Cilegon, Syekh Asnawi Caringin dan ulama-ulama hebat lainnya yang pernah dimiliki Banten satu atau dua abad lampau.

Kesadaran kita adalah bagaimana menyikapi berbagai persoalan lebih dari satu dasawarsa usia Provinsi Banten, yang secara imperatif sudah mampu meletakkan dasar-dasar pembangunan untuk future generation. Maka sekaranglah saatnya kita bergegas dengan semangat baru, untuk melakukan perubahan dalam rangka meraih cita-cita bersama ke arah terwujudnya masyarakat Banten yang sejahtera dalam berbagai dimensinya (Moh. Ali Fadillah).

Note: Referensi menyusul

Aucun commentaire:

Enregistrer un commentaire