mercredi 21 août 2013

Universalitas dalam Tradisi Banten



Ada pandangan yang menyatakan bahwa sebelum industrialisasi, beberapa kota di daerah Banten masih rural (pedesaan); dan betapa penduduk masih merasa berat untuk beradaptasi dengan perubahan ekonomi yang terjadi di sekelilingnya. Namun perlu dikritisi bahwa ukuran sebuah masyarakat berkategori  rural atau urban bukan semata-mata ditentukan oleh besaran ruang dan bentuknya, tetapi yang lebih esensial adalah fungsi ruang dalam konteks historis regional. Berpegang pada prinsip ini, maka sesungguhnya tradisi kota di Banten telah muncul jauh sebelum era kesultanan.

 
Penelitian arkeologi di Banten Girang (Guillot et.el., 1994) telah memberi bukti kongkrit struktur kota berbenteng sebagai pusat pemerintahan kerajaan pra-Islam. Sejumlah besar artefak yang ditemukan berupa benda-benda lux yang diimpor dari negeri Cina sedini abad X Masehi, menjadi jejak awal kegiatan perdagangan internasional. Dan kemudian, tradisi urban society itu semakin berkembang lagi pada abad XVI segera setelah didirikannya Kota Banten sebagai ville portuaire di Delta Cibanten. Konon, Banten saat itu hampir sama kualitasnya dengan Amsterdam. Atau sebaliknya,pembangunan Amsterdam diilhami oleh sistem tatakota Banten? 

Dengan penemuan itu, sebenarnya beberapa kelompok masyarakat Banten sebelum jauh sebelum era kesultanan telah melakukan kontak intensif dengan masyarakat di luar budayanya. Jika budaya luar dianggap sebagai unsur dominan bagi modernisasi Banten, sesungguhnya Banten telah lama, bahkan berkali-kali mengalami era ‘globalisasi’. Berbagai bukti sejarah telah membuktikan bahwa orang Banten telah memiliki resistensi sendiri, bahkan mampu menunjukkan taraf adaptasi yang proaktif melalui inovasi dalam aspek-aspek kehidupan tertentu.

Oleh karena itu, mempelajari sejarah menjadi penting bagi kita, bukan hanya karena korelasinya yang kuat dengan etnisitas Banten, tetapi yang lebih penting adalah karena sejarah Banten mengandung nilai-nilai kearifan; tempat kita menemukan kembali jatidiri dalam kerangka membangun self-conscience. Kepentingannya terletak pada proposisi bahwa jauh sebelum modernisasi Barat menapak di bumi Banten sejak awal abad XIX, orang Banten telah mengalami dan sekaligus melewati berbagai perubahan global dalam tradisi budaya sendiri.

Dengan demikian, mau tidak mau, belajar pada sejarah harus dianggap sebagai kewajiban ketika kita harus menghadapi gempuran modernisasi dengan segala fragmatisme politik dan ekonomi; yang konon membawa nilai-nilai universal, tetapi sesungguhnya universalisme itu hanya ‘pembaratan’ masyarakat tradisional. Maka, mengungkapkan elemen modernitas dari budaya lokal sesungguhnya kita mencoba bercermin apakah kita telah melakukan pembaharuan sendiri pada setiap periode sejarah, Lalu mempertanyakan apakah cermin sejarah itu memantulkan berbagai gagasan dan perilaku masyarakat Banten yang bernilai positif bagi pengembangan etos kerja generasi sekarang dan nanti (Moh. Ali Fadillah).


Aucun commentaire:

Enregistrer un commentaire